Ceknricek.com - Sebelum istilah intimidasi marak belakangan ini menjadi perbincangan di media sosial, ada istilah persekusi yang muncul sebelumnya. Persekusi merupakan gambaran sebuah praktik kekerasan dari sekelompok orang terhadap orang lain.
Namun sebagai sebuah serangan dalam medan perang wacana di media sosial, istilah persekusi tersebut tidak bertahan lama, karena rupanya menyerang balik pembuatnya. Saat ini, istilah intimidasi kembali muncul dalam medan wacana percakapan di media sosial.
Tidak lebih tidak kurang, munculnya istilah intimidasi di media sosial ini juga merupakan bentuk serangan dalam medan perang wacana di media sosial. Serangan dari satu kelompok netizen terhadap kelompok netizen lainnya.
(baca : 2019 Ganti Kaus)
Istilah intimidasi yang marak tersebut berawal dari peristiwa aksi kaos dengan tulisan #2019GantiPresiden pada hari Minggu (29 April) saat CFD (Car Free Day) di kawasan jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta. Dalam video yang tersebar luas, terekam seorang perempuan yang membawa seorang anak marah pada sekelompok orang yang mengerumuninya.
Mengapa dikerumuni? Karena perempuan tersebut mengenakan kaos bertuliskan #DiaSibukKerja. Suatu tulisan yang memberi makna semiotis sebagai antitesis tulisan #2019GantiPresiden. Bagaimana publik seharusnya membaca tontonan ini?
Tulisan ini tidak hendak membedah kebenaran peristiwa tersebut. Sebagai sebuah teks dalam bentuk peristiwa, tentu para pihak yang berada di sekitar peristiwa tersebut yang lebih memahami. Namun sebagai sebuah aksi kontra wacana, tentu praktik ini harus dibaca dengan menariknya dalam konteks yang lebih luas dan leluasa.
Kontra Wacana
“Kalau saya menjadi Ibu itu, saya juga akan marah dan melakukan hal serupa”. Demikian ungkap seorang netizen di media sosial, menanggapi rekaman video tersebut. Bagi saya ini hanya contoh yang dapat merepresentasikan betapa mudahnya emosi orang awam tergerus karena efek dramatis sebuah adegan.
Artinya, efek dramatis ini dapat meluas menjadi simpati publik. Meraih simpati publik secara luas, menjadi sasaran mengapa peristiwa ini harus terus dihidupkan dengan lebih apik. Peristiwa ini dapat dijadikan sebagai jangkar untuk menahan laju sebuah mahawacana dibalik tulisan #2019GantiPresiden dalam sehelai kaos.
Praktik politik produksi kontra-wacana untuk menghadang laju mahawacana ini biasa dipraktikkan dalam kekuasaan politik yang berada diambang krisis. Biasanya disusul dengan berbagai atraksi lain seperti aksi simpati, aksi dukungan, dan aksi lain yang bersifat cepat, masif dan meluas.
(baca : Goodbye Pak Jokowi)
Aksi-aksi tersebut seperti batu yang sedang disusun menjadi tembok untuk menghadang laju mahawacana yang sedang bergulir seperti bola salju. Ada semacam kekhawatiran aksi kaos dengan tulisan #2019GantiPresiden akan meluas seperti bola salju yang menggelinding.
Karena itu perlu dihadang dengan cara ‘diserang’ dengan wacana tandingan yang dapat memunculkan kesan negatif.
Dalam konteks perang wacana, strategi produksi wacana ini lebih terbuka (cenderung kasar) dibanding strategi lainnya, seperti spin doctor atau political spin misalnya.
Bila pada spin doctor atau political spin juru bicara tampil menyajikan informasi yang seolah dibuat sangat ‘penting’ untuk mengalihkan perhatian publik yang terfokus pada satu isu tertentu.
Sebaliknya pada produksi kontra wacana ini, tidak ada pengalihan isu atau wacana. Wacana yang bergerak dibiarkan bergulir tetapi dicari kelemahan atau kesalahannya, kemudian diproduksi sebagai serangan balik dan disebar secara cepat dan masif.
Seperti Sepak Bola
Dalam sepak bola, model serangan ini biasa disebut sebagai counter attack (serangan balik). Strategi ini biasanya dipilih dan disiapkan oleh pelatih klub kecil yang tidak diperkirakan menang saat berlaga melawan klub besar. Efek kejutnya bisa membuat kesebelasan besar kaget, tidak siap dan kehilangan konsentrasi untuk memenangkan pertandingan.
Padahal, kemenangan angka (score) bukan hal yang dituju oleh klub kecil yang menggunakan strategi ini. Sebab, bagi klub kecil saat berhadapan dengan klub besar, bermain imbang saja sudah suatu kemenangan.
Agar strategi counter attack dalam sepak bola berhasil, hal pertama yang dibentuk oleh seorang pelatih terhadap pemain adalah militansi, bermain ngotot.
Kalah atau menang itu soal hasil, yang penting para pemain harus diyakinkan mereka berada pada pihak yang benar, sehingga tidak perlu takut menghadapi klub yang besar. Kedua, soliditas antar pemain harus kompak. Lakukan serangan dengan cepat dan bersama-sama.
Karena mengandalkan kecepatan, maka hal ketiga yang menjadi fokus pelatih adalah ketahanan fisik. Agar fisik pemain kuat untuk melakukan serangan balik, soal asupan gizi dan stamina pemain juga menjadi perhatian pelatih.
Bila empat hal tersebut dipenuhi oleh klub kecil saat berlaga menghadapi klub besar, hal yang paling menentukan kemudian adalah posisi wasit dan penonton.
Bila wasit pada posisi kebatinan tidak berpihak pada klub besar, itu pertanda baik agar strategi counter attack dipraktikkan. Selanjutnya, biarkan penonton menikmati pertandingan dengan penuh ketakjuban dan kepuasan. Penonton netral yang takjub akan berpihak pada klub kecil yang bermain ngotot dan penuh simpati.
Sementara penonton yang berpihak pada klub besar, akan tercengang dengan tontonan yang tidak mereka duga sebelumnya. Dalam konteks politik domestik yang terpolarisasi di Indonesia saat ini, tontonan adegan counter attack ini sebenarnya sudah cukup sering ditampilkan.
Sebelumnya, publik dipertontonkan adegan aksi merusak taman dalam kasus Aksi Bela Islam pada tanggal 14 Oktober 2016. Saat itu, satu kelompok menggelar aksi menyampaikan aspirasi. Tapi wacana yang kemudian berkembang bukan soal tuntutan aspirasinya. Perbincangan di media sosial dan liputan media justru menyoroti taman yang rusak oleh aksi massa tersebut.
Wacana publik yang berkembang disederhanakan menjadi "Aksi Bela Islam Rusak Taman Kota". Inilah bentuk seni berperang wacana dan perang opini di era meluapnya informasi. Era dimana siapa saja dapat menjadi produsen dan sekaligus distributor informasi dan mengkristal menjadi wacana.
Ada skenario, ada aktor, ada buzzer ditambah sedikit drama, jadilah wacana yang mengalir bak air bah yang menyapu bersih wacana sampingan di sekitarnya. Oleh sebab itu pula, publik perlu melihat ini sebagai tontonan dengan menggunakan kacamata kritis.
Misalnya, dengan mengandaikan, apa yang terjadi jika ada seorang Ibu memakai kaos #2019GantiPresiden pada acara berbagai sembako tanggal 28 April, di Monas sehari sebelum FCD berlangsung? Pertanyaan ini sama halnya dengan mengandaikan pertanyaan, Apa yang terjadi jika seorang penonton mengenakan jersey MU di tribun fans Liverpool saat laga panas antara Liverpool dan MU berlangsung di Anfield, markas Liverpool? Yang lebih menarik mengajukan pertanyaan, mengapa ada umpatan “Muslim macam apa kalian?" Mengapa mesti menyematkan identitas muslim?
Seperti sebuah tontonan, publik perlu cermat dan kritis menyaksikan demokrasi yang dijalankan dengan cukup tegang akhir-akhir ini. Sementara soal wacana intimidasi, kita semua harus sepakat: Apapun bentuknya, siapapun pelakunya, kapanpun dan dimanapun intimidasi adalah musuh bagi demokrasi dan kemanusiaan. Termasuk intimidasi terhadap ulama dan Novel Baswedan.
[caption id="attachment_1529" align="alignnone" width="300"]
Iswandi Syahputra Dosen Ilmu Komunikasi
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Foto : twitter iswandisyah)[/caption]