Ceknricek.com — Majelis taklim belakangan menjadi bahan bergunjingan. Ya, pasca-terbitnya Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim yang ditandatangani Menag, Fachrul Razi. Permen ini mengharuskan majelis taklim mendaftarkan diri dan mendapat sertifikasi, baik pengurus, ustaz, jemaah, tempat serta materi ajar. Tak ada angin tak ada hujan, majelis taklim tiba-tiba menjadi sasaran tembak. Wapres Ma’ruf bilang ini adalah bagian dari perang melawan radikalisme.
Tidak usah kaget. Pemerintah memang sedang gencar menjadikan perang terhadap radikalisme sebagai prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini. Tak dinyana, Kiai Ma’ruf yang justru menjadi pelaksana terdepan dalam menjalankan program ini. Tak dinyana pula, Nahdlatul Ulama atau NU yang bakal diobok-obok. Asal tahu saja, hanya di NU-lah tradisi majelis taklim berkembang pesat.
Lalu, apa sejatinya majelis taklim itu?
Biasanya, orang menyematkan kata majelis taklim pada kumpulan pengajian. Istilah ini hanya ada di Indonesia. Secara etimologi, istilah tersebut terdiri dari dua kata yakni majlis. Asal katanya “jalasa” dalam bahasa Arab yang artinya “duduk”. Majlis adalah bentuk kata tempat ism makan dari kata dasar “duduk” tersebut. Sedangkan kata taklim berasal dari kata ta’lim adalah bentuk masdar yang berarti “pengajaran”. Asal katanya “allama”. Penggabungannya berarti tempat pengajaran.
Dalam tradisi negara lain, istilah majelis taklim dikenal dengan sebutan halaqah. Dalam tradisi tasawuf, ada zawiyah. Semua kata itu menggambarkan kondisi sekelompok muslim yang berkumpul untuk belajar. Mereka mengkaji ilmu keagamaan, baik dari aspek teologi, filsafat, maupun tasawuf.
Majelis taklim adalah salah satu lembaga pendidikan keagamaan nonformal yang bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Proses pembelajaran di dalamnya mengarah kepada pembentukan akhlak mulia bagi jemaahnya, serta mewujudkan rahmat bagi alam semesta.
Baca Juga: Soal Istilah Manipulator Agama, MUI Pertanyakan Radikalisme
Majelis taklim merupakan tempat pangajaran atau pendidikan agama Islam yang paling fleksibel dan tidak terikat oleh waktu. Sifatnya terbuka. Usia berapa pun, profesi apa pun, suku apa pun, dapat bergabung di dalamnya. Waktu penyelenggaraannya pun tidak terikat, bisa pagi, siang, sore, atau malam. Lokasi taklim pun bisa dilakukan di dalam maupun di luar ruangan.
Lembaga ini memiliki dua fungsi utama: dakwah dan pendidikan. Kegiatan yang tidak formal dan tidak mengikat membuat masyarakat yang mengikuti kegiatan ini aktif tanpa ada paksaan.
Majelis taklim menjadi sangat populer pada era 1980-an. Ketika itu, Prof Tutty Alawiyah membentuk Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT). Organisasi ini merupakan gabungan dari majelis taklim yang ada di seluruh Indonesia. Pernah dalam sebuah agenda yang didukung gubernur DKI Jakarta era tersebut, Ali Sadikin, BKMT melibatkan 140 ribu orang.
Kegiatan majelis taklim masih sangat tergantung gagasan dan aktivitas pengurus atau gurunya. BKMT berdiri pada awal Januari 1981 di Jakarta. Organisasi ini lahir dari kesepakatan lebih dari 735 majelis taklim yang ada di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Kini BKMT telah berkembang di seluruh wilayah Indonesia.
Cakupan perkembangan anggotanya mencapai ribuan majelis taklim dengan meliputi jutaan orang jamaah yang tersebar di 33 provinsi. BKMT juga telah mengembangkan beberapa organisasi otonom di bawahnya yang bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi.
BKMT telah melahirkan organisasi perhimpunan usaha wanita (PUSPITA) BKMT dan mempunyai sekitar 400 buah Koperasi Jamaah (KOMAH) BKMT. Koperasi-koperasi ini bernaung di bawah induk Koperasi Jamaah (IKOMAH) BKMT.
Radikal
Nah, belum lama ini Kemenag menerbitkan aturan pendataan majelis taklim lewat Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim. Pasal 6 ayat (1) regulasi itu mengatur majelis taklim harus terdaftar di Kemenag.
Pasal 9 dan Pasal 10 mengatur setiap majelis taklim harus memiliki surat keterangan terdaftar (SKT) yang berlaku lima tahun. Sementara Pasal 19 menyatakan majelis taklim harus melaporkan kegiatan selama satu tahun paling lambat 10 Januari setiap tahunnya.
Permen yang diterbitkan 13 November 2019 ini membuat gaduh karena dianggap kontroversial. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) khawatir aturan baru itu akan mengganggu peran majelis taklim di masyarakat.
Baca Juga: Celana Cingkrang, Berjenggot, dan Kaum Radikal
Lagi pula, UU Keormasan sudah mengatur pendirian organisasi bagi majelis taklim yang hendak mendaftarkan sebagai ormas. “Jadi pemerintah janganlah mempersulit dan merepotkan masyarakat,” ujar Sekretaris Jenderal PBNU, Helmy Faishal Zaini, Senin (2/12).
Helmy menyarankan Kemenag untuk tidak berkutat dengan program yang bukan jadi prioritas. Ia menilai Kemenag sibuk mengurusi kebijakan non-prioritas dan cenderung menimbulkan kontroversi.
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga senada. Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas, menilai Permen majelis taklim sebagai kekerasan politik. Lewat Permen ini, pemerintah tak sekadar melakukan kekerasan dalam mengekang kebebasan pendapat, tapi justru menjadi bentuk kekerasan politik. “Dulu zaman orde baru ada SIM, surat izin mubalig,” kata Busyro kepada wartawan, Senin (2/12). “Sekarang diulang, diulang dengan sertifikasi majelis taklim,” tambahnya.
Baca Juga: Perlukah Kita Takut Pada Radikal?
Busro berpendapat kebijakan seperti itu justru memantik tumbuhnya radikalisme dan juga reaksi dari sebagian besar umat. Dari hal lain, tindakan-tindakan pemerintah pun juga dinilai menguatkan radikalisme sebagai bentuk kekerasan dalam berpolitik. Bahkan, dia juga menilai Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh 12 Kementerian mengenai penanganan radikalisme di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) juga sebagai bentuk yang sesungguhnya memantik radikalisme.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengingatkan kegiatan keagamaan di ranah umat seperti majelis taklim justru dapat menghidupkan spirit keislaman yang tinggi dan sangat positif untuk menanamkan, memahamkan, dan mengamalkan Islam dengan baik dan benar.
Kalaupun ada aktivitas yang menyimpang, kata Haedar, dapat dilakukan pendekatan hukum dan ketertiban sosial yang berlaku, tidak perlu dengan aturan yang terlalu jauh dan bersifat generalisasi.
Haedar mengatakan dalam hal usaha mencegah radikalisme atau ekstremisme sebenarnya ketentuan perundangan yang ada sudah lebih dari cukup, jangan terlalu jauh mengatur aktivitas umat beragama. “Kita sungguh tidak setuju dan menolak segala bentuk radikalisme yang mengarah pada ekstremisme dan membenarkan kekerasan atas nama apapun dan oleh siapapun. Namun semuanya perlu dasar pemikiran, rujukan, cakupan, dan langkah tentang radikalisme yang objektif, komprehensif, serta tidak parsial dan diskriminatif,” kata Haedar.
Menteri Agama, Fachrul Razi, berdalih Permen itu bertujuan agar Kemenag memiliki daftar jumlah majelis taklim sehingga lebih mudah mengatur penyaluran dana. “Selama ini kan majelis taklim ada yang minta bantuan. Ada event besar minta bantuan. Bagaimana kita mau bantu kalau data majelis taklim (tidak tahu) dari mana?,” kata Fachrul usai memberikan sambutan di acara Forum Alumni Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia, Sabtu (30/11).
Lebih jelas apa yang dibilang Wakil Presiden, Ma’ruf Amin. Menurutnya, aturan Menag itu untuk mencegah radikalisme. Menurut Ma’ruf, aturan menag itu bukan pendaftaran melainkan pendataan majelis taklim. Dengan pendataan, pemerintah akan mengetahui ustaz, jemaat, maupun materi yang disampaikan dalam majelis taklim.
Alih-alih memerangi radikalisme, pemerintah justru melahirkan kaum radikal gara-gara kebijakannya yang tidak populis. Tanpa disadari bahwa kebijakan yang tidak populis dan tidak berdasarkan kajian dan riset yang mendalam akan cenderung membuat kegaduhan di masyarakat.
BACA JUGA: Cek Berita AKTIVITAS PRESIDEN, Informasi Terkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.