Ceknricek.com -- Nama Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta memang sulit terpisahkan saat ditulis dari buku-buku sejarah, khususnya yang dibaca oleh anak sekolah. Keduanya bahkan disebut sebagai dwitunggal, khususnya setelah berhasil memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus tahun 1945.
Namun mungkin tak banyak buku sejarah untuk anak sekolah yang menulis tentang proses “perceraian” Dwitunggal Soekarno-Hatta, yang terjadi pada 1 Desember 1956 atau tepat 53 tahun lalu. Dengan kebesaran hatinya, Bung Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden Indonesia dan memutuskan untuk menjadi rakyat biasa. Keputusan ini mengakhiri era Dwitunggal setelah 11 tahun berjalan.
Merasa Tak Diperlukan Lagi
Berakhirnya era Dwitunggal terjadi setelah Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum pertama sejak merdeka, tepatnya di tahun 1955. Pemilu ini lahir atas prakarsa Bung Hatta, yang menganggapnya sebagai instrumen paling demokratis untuk melakukan pembaharuan pemerintahan.
Menurut sosok yang juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia itu, dengan selesainya pemilihan umum maka pejabat-pejabat negara juga harus diganti. Dengan demikian, tugasnya sebagai Wapres pun selesai dan tidak lagi dibutuhkan.
Hatta menilai posisi wakil presiden nyaris sebagai simbol belaka, sementara kekuasaan presiden menjadi sedemikian besar. Hatta juga berbeda pandangan dalam menyikapi revolusi, dimana Bung Karno bersikukuh bahwa revolusi jalan terus, sedangkan Hatta berpikir sebaliknya.
Sumber: Arsip Nasional
Bagi Hatta, sudah saatnya bangsa Indonesia memikirkan nasib bangsa, nasib rakyat yang lama menderita akibat peperangan. Akhirnya, sepucuk surat pun dikirim Hatta ke DPR di tahun 1955.
“Sejarah Dwitunggal dalam politik Indonesia tamat, setelah UUD 1950 menetapkan sistem Kabinet Parlementer,” tulis Hatta. Surat ini dipertegas kembali setahun berikutnya, yang dibuat pada 20 Juli 1956 dan dikirimkan untuk Ketua DPR, Mr. Raden Mas Sartono.
“Merdeka, dengan ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi,” tulis Hatta dalam sepucuk surat kepada Ketua DPR Sartono, 20 Juli 1956.
Sumber: Arsip Nasional
Baca Juga: Lukisan Saksi Bisu Pembacaan Teks Proklamasi
DPR awalnya menolak memenuhi permintaan Hatta secara halus, dengan tidak langsung menanggapi atau membalas surat tersebut. DPR meyakini tak ada manfaatnya jika Dwitunggal Soekarno-Hatta pecah di tengah jalan, karena keduanya juga sudah dianggap sebagai founding fathers dari Republik Indonesia.
Hatta tetap teguh pada pendiriannya. Menurut Hatta, bila Parlemen dan Konstituante pilihan rakyat sudah terbentuk dan menggunakan Kabinet Parlementer, maka Presiden hanya bertugas sebagai kepala negara. Kepala negara pun hanya berfungsi sebagai simbol, sehingga wapres tidak diperlukan lagi.
Hatta akhirnya kembali mengirimkan surat untuk menanyakan kelanjutan dari proses pengunduran dirinya, Jumat, 23 November 1956. Akhirnya DPR menanggapi surat Hatta dengan melakukan rapat pada Rabu, 28 November 1956, dilanjutkan sehari berikutnya.
Keputusan akhirnya dibuat pada 30 November 1956. Dalam sidang yang diikuti 14 Menteri Kabinet Ali Sastroamidjojo itu, DPR memenuhi permintaan Hatta. Terhitung sejak Sabtu, 1 Desember 1956, Mohammad Hatta menanggalkan jabatan Wapres RI yang diembannya selama 11 tahun.
Memilih Menjadi Rakyat
Setelah berada di luar pemerintahan, Hatta menyatakan dirinya terjun ke masyarakat, menjadi orang biasa. Pernyataan yang menunjukkan sikap kenegarawanan Hatta, sebagai sosok yang tidak haus kekuasaan.
Sayangnya, setelah ketiadaan Hatta, Bung Karno makin memperlihatkan perilaku yang melanggar Undang-Undang Dasar 1945 dalam menyelenggarakan sistem kenegaraan. Wakil partai yang duduk di pemerintahan juga tak ayal hanya orang partai, yang lebih memilih mementingkan politik dan aspirasi partai ketimbang memikirkan nasib bangsa dan negara.
Sumber: Arsip Nasional
Baca Juga: Kisah-kisah Menarik Seputar Bung Hatta
Setelah menjadi rakyat biasa, Bung Hatta masih berperan sebagai oposisi melalui karya-karya tulisnya. Sayang, pemerintah saat itu mulai menutup diri, bahkan menghambat sikap kritis rakyat. Buku Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita yang terbit pada tahun 1960 dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung, lantaran isinya dianggap banyak mengkritik Bung Karno.
Dalam bukunya, Hatta memberi ketegasan secara terang mengapa ia memilih mundur dari pemerintahan. Hatta ingin agar sahabat karibnya, Bung Karno membuktikan sendiri benar-salahnya konsepsi yang dirumuskannya.
"Bagi saya yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Sukarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan,” tulis Hatta.
Sumber: Arsip Nasional
Sikap kritis Hatta membuat statusnya sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dicabut. Setelah dilarang mengajar, ruang gerak Bung Hatta juga dibatasi.
Hatta akhirnya hidup dalam kesederhanaan. Ia menolak jabatan komisaris dari berbagai perusahaan, lantaran merasa menerima tawaran itu sama dengan masuk ke dalam sangkar. Dirinya ingin menjadi orang bebas.
Dengan hanya uang pensiun sebesar Rp3.000, ditambah honor menulis yang juga tak terlalu cukup, Hatta kesulitan membayar tagihan listrik, air hingga pajak rumahnya. Gubernur DKI Jakarta waktu itu Ali Sadikin melobi DPRD DKI agar Bung Hatta ditetapkan sebagai warga kota utama Jakarta yang terbebas dari kewajiban membayar air, listrik, maupun PBB.
Orde lama sendiri berakhir tak lama setelah peristiwa berdarah 1965. Soekarno lengser dan digantikan oleh Presiden Soeharto setahun berikutnya. Hatta sendiri sempat mengunjungi sahabatnya, Soekarno yang terbaring sakit di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat pada 19 Juni 1970. Dua hari kemudian, Putra Sang Fajar meninggal.
BACA JUGA: Cek Berita AKTIVITAS PRESIDEN, Informasi Terkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Farid R Iskandar