Ceknricek.com -- Presiden Jokowi mengatakan, rakyat yang tidak setuju Omnibus Law bisa mengajukan gugatan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
MK adalah lembaga berisi sejumlah hakim yang menguji apakah sebuah UU sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Pernyataan Presiden kedengaran bijak dan demokratis. Tapi, itu sebenarnya cuma lips-service. Orang Jawa mengatakan: "lamis".
Presiden sendiri pada Januari lalu sudah merendahkan kredibilitas MK dengan beliau membujuk MK untuk membantunya meloloskan Omnibus Law.
Buat Pak Jokowi sepertinya Omnibus Law ini harus lolos NO MATTER WHAT, apapun caranya, termasuk mendesak DPR mengesahkan di masa pandemi ketika warga negara harus menghadapi wabah dan kesulitan ekonomi.
Dengan pernyataan di atas, Presiden Jokowi sepertinya mau mengatakan: daripada demo di jalanan yang berpotensi ricuh, sebaiknya energi disalurkan dengan cara damai dan legal, yakni lewat MK.
Hakim MK berisi 9 orang: 3 diusulkan presiden, 3 diusulkan DPR, dan 3 lagi diusulkan Mahkamah Agung. Bahkan jika hakim yang diusulkan MA benar-benar independen, penggugat Omnibus Law peluangnya kecil untuk menang: 6 melawan 3.
Apalagi, Presiden dan DPR telah merevisi UU tentang MK pada September lalu, yang dikritik oleh sejumlah pakar hukum potensial melemahkan independensi hakim MK. Revisi UU ini juga dilakukan terburu-buru serta tidak transparan.
Begitulah. Presiden berharap rakyat berlaku damai dengan menempuh jalur hukum. Tapi, jalur itu sudah beliau tutup. Baik DPR (legislatif) maupun MK (yudikatif) praktis sudah ada dalam kantongnya.
Apalagi yang tersisa bagi penggugat Omnibus Law kecuali melakukan tekanan lewat demo turun ke jalan atau pembangkangan sipil (civil disobedience).
Baca juga: Civil Disobedience
Baca juga: LEGACY