Catatan :Asro Kamal Rokan
Ceknricek.com - AWALNYA bukan Senayan, melainkan Sunter-Kemayoran. Presiden Sukarno menginginkan Stadion Utama dan pusat penyelenggaraan Asian Games IV/1962 di Sunter. Namun, karena daerah ini rawa, biaya menimbunnya cukup besar, rencana Sunter dibatalkan. Pilihan berikutnya, Dukuh Atas. Dalam rapat yang dihadiri pihak Uni Soviet, arsitek terkemuka saat itu Friedrich Silaban, berpandangan Dukuh Atas tidak tepat karena dibelah jalan raya. Ini akan menimbulkan kemacetan luar biasa.
Dalam buku Biografi Friedrich Silaban, yang ditulis Setiadi Sopandi, Silaban— yang dikenal juga sebagai arsitek Masjid Istiqlal — mengusulkan daerah di luar kota yang terhubung dengan jalan. Rapat pada 1958 itu akhirnya memutuskan perkampungan Senayan sebagai tempat didirikan stadion utama Asian Games.
Asian Games Federation dalam rapat saat Asian Games II/1958 di Jepang, menunjuk Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games IV/1962. Presiden Sukarno menerbitkan Keppres No.113/1959 pembentukan Dewan Asian Games Indonesia (DAGI), yang diketuai Maladi, menteri Muda Penerangan. Selain membangun komplek olah raga di Senayan, DAGI juga membangun jalan baru Gatot Subroto, Hotel Indonesia, jembatan Semanggi, TVRI, dan berbagai fasilitas lain.
Proses pembangunan pun dimulai. Perkampungan Senayan, Kebun Kelapa, dan Bendungan Hilir, harus dikosongkan. Ribuan penduduk, setelah diberi ganti rugi, dipindahkan ke Tebet yang masih rawa. Semua proses berjalan baik, meski ada gangguan pembebasan lahan 360 ha itu.
Pembangunan Gelanggang Olah Raga — yang kini dikenal sebagai Gelora Bung Karno (GBK) dimulai. Uni Soviet memberikan pinjaman senilai USD 12 juta, mengirim arsitek dan teknisi. Bung Karno menginginkan atap stadion ini berbentuk gelang, tanpa tiang penyangga di tengah. Konon, Bung Karno terinspirasi bentuk air mancur di Meksiko. Namun, bentuk stadion ini lebih mirip dengan Stadion Luzhniki Moskow, tempat final Piala Dunia 2018, yang dibangun pada 1956.
Pada 8 Februari 1960, tiang pancang pertama pembangunan Gelora diresmikan Sukarno. Hadir saat itu Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Kruschev dan sejumlah diplomat asing. Jalan menuju Gelora saat itu masih sempit dan belum tertata baik.
Masih dalam proses pembangunan, kebakaran terjadi. Kayu penyangga kerangka besi dan atap, hancur. Peristiwa ini, seperti ditulis wartawan Kompas Julius Pour dalam buku Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno (2004), terjadi setahun sebelum Asian Games, Oktober 1961. Dunia geger. Surat kabar Singapura The Straits Times menulis berita utama berjudul “Lonceng Kematian Asian Games dari Jakarta.”
Di saat situasi ekonomi sulit dan perang dingin Soviet-AS, Stadion Utama berkapasitas 110 ribu orang itu, diresmikan Bung Karno sore 21 Juli 1962. Ini salah satu stadion terbesar dunia, melebihi stadion sepak bola Brazil dan Warsawa.
Asian Games 1962 dikuti 17 negara peserta, memperebutkan 127 emas yang dipertandingkab di 13 cabang olah raga. Indonesia menempati posisi kedua dengan 21 emas, 26 perak, dan 30 perunggu. Ini prestasi terbaik Indonesia sepanjang Asian Games. Juara pertama diraih Jepang dengan 73 emas, 65 perak, dan 23 perunggu.
Dalam buku Cindy Adams — Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat —soal pembangunan Stadion Utama yang megah ini, Bung Karno membantah untuk kepentingan diri dan kekuasaannya. ”Ini bukanlah untuk kejayaanku. Ini demi kejayaan bangsa. Supaya bangsaku dihargai seluruh dunia,” kata Bung Karno.
Presiden pertama RI ini tidak mengklaim sebagai sukses secara personal. Contoh bijak seorang pemimpin setengah abad silam.
Kompleks Senayan terus berkembang. Selepas Bung Karno, pemerintahan selanjutnya mengembangkan kawasan ini menjadi kawasan utama. Berbagai gelanggang olah raga, gedung MPR/DPR, gedung pencakar langit, hotel, pusat perbelanjaan dibangun. Sudah empat kali pesta olah raga Asia Tenggara (1979, 1987, 1997, 2011) dilaksanakan di sini.
Stadion Utama menjadi magnet. Bintang-bintang dunia tampil di sini. Ada Pele dan klub Santos (1972), Mohammad Ali mengalahkan Rudi Lubbers (1973), Manchester United (1975), Johan Cruyff (1984), Ruud Gullit dan PSV Eindhoven (1987), AC Milan (1994), Inter Milan (2012), Chelsea (2013). Konser musik di antaranya Deep Purple (1975), Osibisa (1978), Rolling Stones-Mick Jagger (1988), termasuk Bon Jovi.
Energi of Asia
ERICK THOHIR belum lahir saat Gelora Bung Karno diresmikan dan Asian Games IV diselenggarakan pertama kali di Jakarta. Ketua pelaksana Indonesia Asian Games 2018 Organizing Committee (Inasgoc) ini lahir pada 1970, delapan tahun setelah gegap gempita 1962.
Menteri Penarangan Maladi, yang dipercaya Bung Karno sebagai ketua penitia pelaksana Asian Games IV, membangun Stadion Utama, sejumlah venues, dan sarana.
Kini, setelah 56 tahun — dalam zaman berbeda dan tantangan lebih beragam— Erick merevitalisasi Stadion Utama menjadi lebih megah sesuai dengan zamannya. Tujuannya sama: Kebanggaan bangsa.

Inasgoc melakukan sejumlah renovasi. Kursi-kursi kayu diganti dengan kursi tunggal yang dapat dilipat. Kapasitas penonton yang semula 120 ribu arang, dikurangi menjadi 78 ribu orang, termasuk 200 kursi khusus untuk difabel. Sistem pencahayaan dari 1.200 lux ditingkatkan menjadi 3.500 lux. Terdapat 1.293 panel surya di atas stadion, selain LED lighting system untuk penghematan listrk.
Sistem keamanan juga disesuaikan dengan standar FIFA, pintu otomatis yang memungkinkan dalam tempo sekitar 15 menit, stadion dapat dikosongkan apabila keadaan darurat. Kamera CCTV 7K yang disebarkan di berbagai titik, mampu mengenal wajah lebih detil, termasuk mendeteksi perilaku penoton yang mencurigakan.
Inasgoc juga mempersiapkan acara kolosal pada pembukaan, 18 Agustus. Panggung setinggi 26 meter, panjang 120 meter, dan lebar 30 meter, yang dihiasi gunung dan flora khas Indonesia, menampilkan berbagai pertunjukan spektakuler. Sekitar 6.000 artis dan penari memeriahkan acara pembukaan, yang didesain sebagai paling megah dari yang pernah ada.
“Pembukaan Asian Games ini momen bersejarah bangsa dan akan menjadi pengalaman yang mungkin hanya sekali dalam seumur hidup,” ujar Erick Thohir kepada wartawan di Jakarta, Senin (9/7/2018).
Dewan Olimpiade Asia (OCA) menunjuk Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 2018, menggantikan Vietnam yang mundur karena keuangan. Kepastian ini disampaikan Menpora Roy Suryo usai sidang OCA di Incheon, Korsel, Sabtu (20/9/2014). Menurut menteri Kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu, OCA meminta Indonesia tidak membangun venue baru karena khawatir pelaksanaan AG terlambat. Apalagi Indonesia meminta AG dilaksanakan pada 2018 karena 2019 ada pemilihan umum.
Setelah kepastian tuan rumah itu, seiring waktu berbagai persiapan telah dilakukan, perbaikan venue, teknis, event, sampai rekayasa lalu lintas. Gedung-gedung pun berhias dengan umbul-umbul dan bendera. Jakarta-Palembang telah siap. Atlet-atlet pun terus berlatih dan uji coba.
Target Prestasi.
Indonesia menargetkan 10 besar, minimal meraih 20 medali emas, antara lain dari bulu tangkis, pencak silat, atletik, dan dayung. Target yang tidak mudah di tengah raksasa dunia, China, Korea Selatan, dan Jepang. Pada Asian Games 2014 di Korea, Indonesia di peringkat 17 di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Indonesia meraih empat emas, lima perak, dan sebelas perunggu. China juara, disusul Korea, dan Jepang.
Tiga minggu lagi, gegap gempita Asian Games akan menyita perhatian rakyat Indonesia di tengah situasi politik jelang pemilihan umum dan ekonomi yang melambat. Situasi ini diharapkan tidak menyeret Asian Games ini untuk kepentingan politik. Ini kerja bersama, proses yang panjang, tidak mendadak terjadi, untuk kejayaan Indonesia.
Asian Games 2018 wajah bangsa ini di pentas dunia. Dengan segala daya, Inasgoc berupaya merengkuh dan mengumpulkan energi Asia untuk Indonesia: Energi of Asia — yang dinamis, indah, dan penuh warna.