Disampaikan Oleh Chappy Hakim – Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia, pada tanggal 2 Juli 2025 di Kemlu RI pada Forum Duta Besar RI
Ceknricek.com--Sejak zaman dahulu kala, wilayah udara telah menjadi bagian integral dari konsep kedaulatan suatu negara. Bahkan jauh sebelum Wright bersaudara berhasil menerbangkan pesawat bermesin pertama di awal abad ke-20, langit telah dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari teritori suatu negara. Sebuah adagium kuno dari era Romawi berbunyi “Cujus est solum, eius est usque ad coelum et ad inferos”—siapa yang memiliki tanah, maka ia juga memiliki apa yang berada di atas dan di bawahnya. Frasa ini bukan sekadar pepatah hukum, melainkan refleksi dari kesadaran strategis bahwa ruang udara adalah bagian dari kedaulatan yang mutlak. Sudah sejak zaman Romawi Kuno orang sudah menolak konsep Freedom of the Air.
Di abad ke-18, Montgolfier bersaudara yang mencoba menerbangkan balon udara eksperimental di Prancis, langsung ditegur keras oleh kepolisian kerajaan. Penerbangan Balon Montgolfier harus memperoleh izin pihak kepolisian terlebih dahulu sebelum dapat dilaksanakan. Alasannya bukan semata karena persoalan teknis, tetapi karena menyangkut keamanan dan keselamatan warga. Dari sini, terlihat jelas sekali bahwa sejak teknologi penerbangan masih sebatas balon udara pun, otoritas negara telah menunjukkan sikap tegas bahwa udara bukanlah ruang bebas. Ia adalah wilayah yang harus dikendalikan demi kepentingan nasional.
Konvensi Paris dan Konvensi Chicago: Peneguhan Kedaulatan Negara di Udara
Perang Dunia I dan II menjadi pembuka mata dunia atas pentingnya kontrol terhadap wilayah udara. Dari kehancuran kota-kota, kejatuhan pasukan, hingga perubahan peta geopolitik dunia, semuanya terbukti tak lepas dari bagaimana sebuah negara mengelola wilayah udara kedaulatannya. Perang-perang tersebut memunculkan dua tonggak hukum udara internasional, Konvensi Paris tahun 1919 dan Konvensi Chicago tahun 1944. Keduanya menegaskan satu prinsip utama: Sovereignty in the airspace above a state's territory is complete and exclusive.
Konvensi Chicago bahkan menjadi fondasi dari terbentuknya Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), yang berfungsi mengatur keselamatan dan keteraturan lalu lintas udara sipil internasional. Namun tetap saja, prinsip kedaulatan udara nasional berdiri sebagai garis batas yang mutlak.
Pearl Harbor dan Transformasi Strategi Pertahanan Udara Amerika Serikat
Salah satu studi kasus paling dramatis yang menggambarkan pentingnya wilayah udara adalah peristiwa serangan mendadak Jepang ke pangkalan Angkatan Laut AS di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Serangan tersebut tidak hanya menenggelamkan armada kapal perang AS, tetapi juga menenggelamkan cara berpikir para military thinker AS tentang perang. Saat itu AS terlalu percaya diri bahwa ancaman tidak akan datang dari luar, apalagi melalui udara.
Ketiadaan sistem perlindungan udara di Hawaii adalah kesalahan fatal yang membuka mata militer AS. Dari sinilah lahir konsep-konsep strategis baru: pembentukan Air Defense Identification Zone (ADIZ) di luar batas wilayah teritorial, pembangunan sistem peringatan dini (Early Warning System), dan sistem identifikasi kawan atau lawan (Identification Friend or Foe / IFF). Ketiga sistem tersebut kelak menjadi elemen utama dalam doktrin pertahanan udara modern.
Dari Perang Dingin ke 9/11: Perubahan Musuh dan Medan Tempur
Pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat dan Uni Soviet terlibat dalam Perang Dingin yang berlangsung hampir setengah abad. Ketegangan ini bukan hanya berlangsung di darat atau laut, melainkan juga di udara. Misi-misi pengintaian, peluncuran satelit, hingga adu kekuatan pesawat tempur dan rudal antarbenua menjadi ciri khas era ini. AS kemudian memformulasikan doktrin “Global Vigilance – Global Reach – Global Power”, yang bertumpu pada superioritas udara.
Akan tetapi, semua strategi itu diuji kembali dalam peristiwa 9/11 tahun 2001. Kali ini bukan negara yang menyerang, melainkan sekelompok teroris transnasional. Empat pesawat sipil dibajak dan diarahkan ke target strategis di AS. Dunia terguncang. Sekali lagi terbukti bahwa wilayah adalah domain yang sangat rawan dan membutuhkan sistem pengawasan ekstra ketat.
Pasca tragedi tersebut, AS membentuk Department of Homeland Security, Transportation Security Administration (TSA), dan merekonstruksi sistem pengelolaan lalu lintas udara sipil-militer. Terbukalah bab baru dalam debat panjang tentang mana yang harus lebih diutamakan: aviation safety atau aviation security. Peristiwa 9/11 memberi jawaban yang tegas bahwa keduanya tidak boleh dipisahkan. Keamanan adalah syarat mutlak keselamatan.
Air Battle Kashmir, Iran-Israel, dan Domain Perang Abad ke-21
Memasuki abad ke-21, kita menyaksikan bagaimana air battle atau pertempuran udara bukan lagi sekadar adu pesawat jet atau dogfight klasik. Dalam bentrokan udara antara India dan Pakistan di Kashmir, atau yang lebih mutakhir antara Iran dan Israel, teknologi telah mengubah wajah pertempuran. Tidak hanya pesawat tempur generasi kelima dan rudal hipersonik, kini drone otonom, sistem radar berbasis AI, dan perang siber memainkan peran utama.
Konflik udara di Timur Tengah memperlihatkan betapa sistem pertahanan seperti Iron Dome, David’s Sling, dan Arrow 3 milik Israel harus bekerja keras menghadapi rudal-rudal canggih Iran, beberapa di antaranya bahkan memiliki kemampuan manuver luncur akhir (terminal phase maneuvering). Demikian pula sebaliknya, Iran mengembangkan sistem pertahanan udara seperti Bavar-373 dan jaringan radar pasif berbasis AI untuk mendeteksi ancaman tanpa mengaktifkan sinyal radar aktif.
Cyber World: Domain Kelima dalam Konflik Modern
Kini kita memasuki era Cyber World—dimensi kelima setelah darat, laut, udara, dan ruang angkasa. Medan tempur udara tak lagi terbatas pada visual range atau within visual range (WVR). Ia telah berkembang menjadi Beyond Visual Range (BVR), yang mengandalkan sensor canggih, sistem satelit, jaringan komando digital, dan bahkan pengambilan keputusan oleh algoritma.
Drone kini bisa terbang ribuan kilometer tanpa pilot, melakukan pengintaian, atau bahkan meluncurkan rudal presisi dengan akurasi tinggi. Artificial Intelligence memainkan peran dalam menentukan kapan sebuah sasaran perlu dihancurkan, berdasarkan data real-time yang diproses dalam hitungan detik. Semua ini membuat panggung pertempuran udara menjadi sangat kompleks, multidimensional, dan tak kasat mata.
Urgensi Menguasai Wilayah Udara Sendiri
Dari Cujus est solum hingga era drone dan cyber warfare, satu hal tetap tidak berubah: wilayah udara adalah ruang strategis yang mutlak harus dikuasai oleh negara. Ketiadaan kontrol atas wilayah udara sendiri hanya akan mengundang tragedi. Pengalaman dari Pearl Harbor hingga 9/11 membuktikan bahwa kelengahan dalam menjaga wilayah udara dapat berakibat fatal. Kini, lebih dari sebelumnya, penguasaan udara bukan hanya soal memiliki jet tempur tercanggih, tetapi tentang membangun sistem yang terintegrasi antara teknologi, doktrin, sumber daya manusia, dan kecerdasan buatan.
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, harus sadar bahwa wilayah udara di atas Nusantara bukan ruang kosong. Ia adalah bagian dari kedaulatan nasional yang tidak bisa dinegosiasikan. Dalam dunia yang semakin terhubung dan rentan terhadap konflik asimetris, siapa yang menguasai udara. dan kini juga cyber space, adalah mereka yang mampu menjaga kedaulatan, keamanan, dan masa depan bangsanya.
Referensi:
- International Civil Aviation Organization (ICAO). Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention), 1944.
- Kenneth P. Werrell. The Evolution of the Cruise Missile. Air University Press, 1985.
- Commission Report. The 9/11 Commission Report: Final Report of the National Commission on Terrorist Attacks Upon the United States, 2004.
- Chappy Hakim. Menjaga Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa. Kompas Penerbit Buku, 2021.
- Barry R. Schneider & Lawrence E. Grinter (Eds). Battlefield of the Future: 21st Century Warfare Issues. Air University Press, 1998.
Jakarta 20 Juni 2025
Chappy Hakim
Pusat Kajian, Indonesia Center for Air Power Studies.
Editor: Ariful Hakim