Bamsoet Kagumi Sha Ine Febriyanti Dalam 'Panembahan Reso' | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Nadia/Ceknricek.com

Bamsoet Kagumi Sha Ine Febriyanti Dalam 'Panembahan Reso'

Ceknricek.com -- Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) berdecak kagum atas kekuatan permainan karakter Sha Ine Febriyanti sebagai Ratu Dara yang antagonis, dan Whani Darmawan sebagai Panembahan Reso yang licik serta dialog-dialog yang masih relevan dengan situasi kekinian.

“Menyaksikan Pementasan Kolosal Panembahan Reso karya maestro WS Rendra bagaikan menyaksikan kembali drama kekuasaan yang penuh intrik, kekejaman dan ketamakan. Semuanya masih relevan kendati naskah itu dibuat Rendra 34 tahun lalu saat mengkritik Orde Baru,” tutur Bamsoet usai menyaksikan Pementasan Panembahan Reso, Sabtu malam (25/1) di Ciputra Artpreneur, Jakarta.

Bamsoet terkenang kedekatannya dengan WS Rendra saat masih menjadi wartawan pemula di Harian Prioritas milik Surya Paloh atau Media Indonesia Group. Ia mengenal Mas Willy atau WS Rendra sejak tahun 80an. Tidak saja melalui sajak-sajaknya tapi juga mengenalnya secara langsung, jauh sebelum ia menjadi wartawan, dan Panembahan Reso digelar tahun 86. Ketika itu Bamsoet masih mahasiswa dan merasa tertantang, mengapa WS Rendra dilarang tampil membaca sajak.

Sumber: Istimewa

Menurut Bamsoet, ia akhirnya nekat menampilkan si Burung Merak di acara Panggung Musik Mahasiswa Mapussy di Ancol tahun 85. Akibatnya, ia diperiksa dan ditahan oleh Laksus di Kramat V karena sajak-sajak yang dibacakan WS Rendra ketika itu mengkritik tajam rezim Orde Baru. Di mata Bamsoet, Rendra memang bukan penyair biasa. Ia bagaikan magnet dan selalu mempesona di atas panggung. Seperti burung Merak. Itu juga yang membuat pihak intelijen dan keamanan jaman itu was-was.

Baca Juga: Panembahan Reso, Mahakarya WS Rendra Kembali Dipentaskan di Jakarta

Bamsoet menceritakan, tahun 1986 setelah lulus kuliah dan menjadi wartawan ia ditugaskan untuk menulis tentang Bengkel Teater, dan profil WS Rendra si Burung Merak, meliput pagelaran Panembahan Reso yang sangat spektakuler saat itu. Mulai dari persiapan hingga pementasan termasuk berbagai cerita di balik layar.

“Begitulah perkenalan saya dengan Rendra yang terus berlanjut hingga pagelaran-pagelaran berikutnya bersama Kantata Taqwa dan lain-lain hingga Allah SWT memanggilnya lebih dahulu dari kami keharibaannya,” kenang Bamsoet.

Sumber: Istimewa

Sekarang, setelah 34 tahun, Bamsoet menyaksikan kembali pementasan Panembahan Reso. Ia seperti melihat kembali drama kekuasaan dengan permainan atau intrik yang menyertainya. Kisah ini merupakan karya Rendra yang merefleksikan bagaimana di suatu pemerintahan, perebutan kekuasaan diraih dengan cara-cara licik dan penuh darah. Demi kekuasaan, apapun dikorbankan termasuk rakyat, keluarga dan sahabat.

Panembahan Reso sejatinya merupakan epos yang merefleksikan betapa hasrat membabi buta terhadap kekuasaan selalu menimbulkan aspek-aspek delusional seorang pemimpin dan pengikutnya. Sejumlah pengamat budaya mengatakan, Panembahan Reso mampu membedah secara dalam watak dan psikologi seorang pemimpin yang kehilangan kontrol terhadap akal sehat dan terseret ke ambisi ilusi-ilusi pribadi.

Bamsoet mencoba mendeskripsikan alur cerita Pementasan 34 tahun lalu itu, apakah masih relevan dengan zaman kekinian? Jawabannya, ya!

“Di dalam dialog-dialog di antara para aktor di atas panggung tadi malam, sentilan-sentilan Rendra sangat tajam dan saya nilai masih sangat relevan dengan situasi negara kita saat ini," katanya.

Rendra juga mengatakan lewat Panembahan Reso ini bahwa dalam memilih pemimpin harus yang punya kemampuan kenegaraan dan keikhlasan untuk rakyat. Jangan yang hanya pandai bergincu bermain pencitraan.

BACA JUGA: Cek INTERNASIONAL, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait