Bawang Putih: Belajarlah ke Negeri China | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Republika

Bawang Putih: Belajarlah ke Negeri China

Ceknricek.com -- Pepatah Arab “belajarlah walau sampai ke Negeri China” makin relevan saja. Realitas yang terjadi sekarang adalah: barang-barang China membanjiri pasar Indonesia. Warga China pun berdatangan ke sini. China dapat menjual produk industrinya dengan harga murah meriah. Hasil pertaniannya pun melimpah ruah.

Soal hasil pertanian, bawang putih adalah contoh paling dekat. Indonesia adalah penikmat bawang putih asal Negeri Panda itu. Lebih dari dua dekade negeri ini dibanjiri bawang putih impor dari China. 

Bawang Putih
Sumber: Antara

Kebutuhan bawang putih Indonesia sekitar 550.000 ton hingga 600.000 ton per tahun. Hampir semua kebutuhan tersebut dipenuhi dari China. Lantaran itu pula Indonesia mendapat predikat importir bawang putih terbesar dunia. Market share Indonesia sekitar 17,6% dari total pasar impor dunia (2016). Devisa yang dikeluarkan sekitar US$674 juta atau setara Rp9,5 triliun.

Peringkat kedua impor global dipegang oleh Brazil dengan pangsa sebesar 9%, senilai US$344 juta. Sedangkan negara tetangga kita sesama ASEAN --Vietnam dan Malaysia-- juga melakukan impor cukup besar, masing-masing 6,3% dan 6,1%, dengan nilai impor US$241,5 juta dan US$235,5 juta. 

Total produksi bawang putih dunia pada 2016 mencapai 26,6 juta ton. China menguasai 79,8%, dengan total produksi 21,2 juta ton. Sedangkan nilai ekspor dunia pada 2016 mencapai US3,84 miliar, dan China menguasai 71,5% dengan total nilai ekspor US$2,74 miliar.

Swasembada

Pada tahun 90an, warga Ibu Kota yang berkesempatan jalan-jalan ke Pontianak seringkali pulangnya membawa oleh-oleh bawang putih. Bumbu dapur ini menjadi oleh-oleh istimewa selain dodol durian, karena di Pontianak, Kalimantan Barat, harga bawang putih sangat murah. Konon bisa seperlima dari harga bawang putih di Jakarta. Bawang putih yang beredar di Pontianak datang dari Malaysia. Konon diselundupkan lewat perbatasan Entikong. 

Kala itu, selain di Pontianak, harga bawang putih menjadi mahal karena tak ada bawang putih impor. Semua bawang yang beredar produksi dalam negeri. Bawang produk lokal kecil-kecil tapi aroma dan rasanya sangat tajam. Berbeda dengan bawang putih asal Pontianak yang besar-besar.

Bawang Putih
Sumber: Gesuri

Baca Juga: Kartel Masih Asyik Memainkan Si Putih?

Pada waktu itu impor bawang putih tak sebebas sekarang. Petani benar-benar dilindungi. Petani mendapatkan harga yang baik sehingga memilih bertani bawang putih. Kini, harga si putih amat murah sehingga petani beralih ke komoditas yang lebih menguntungkan. 

Pada era 1986 – 1997, Indonesia pernah tercatat dalam sejarah mampu memenuhi kebutuhan bawang putih dari produksi dalam negeri. Puncaknya tahun 1995, produksi nasional mencapai 152 ribu ton dengan luas panen waktu itu 21.896 hektare. 

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilansir Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementerian Pertanian menyebut angka konsumsi perkapita masyarakat terhadap bawang putih lokal periode 1993 – 1996 sebesar 0,38 kg/kapita/tahun hingga 0,5 kg/kapita/tahun. 

Dengan jumlah penduduk tahun 1995 sekitar 194,755 juta jiwa dan konsumsi per kapita 0,381 kg/kapita/tahun maka hanya diperlukan bawang putih lokal sebanyak 74.124 ton. Bahkan jika memakai perhitungan maksimal 0,5 kg/kapita/tahun, Indonesia hanya butuh sekitar 98 ribu ton. 

Bawang Putih
Sumber: Kementan

Saat ini angka konsumsi per kapita bawang putih melejit mencapai 1,72 kg/kapita/tahun. Angka itu, hampir 4 kali lipat dibanding angka konsumsi bawang putih lokal. Peningkatan konsumsi ini boleh jadi lantaran harga bawang putih impor yang murah. 

Hanya saja, Direktur Jenderal Hortikultura, Kementan, Prihasto Setyanto, menduga bahwa bawang putih lokal terbukti punya potensi keunggulan aroma dan rasa 3-4 kali lebih kuat dibandingkan dengan bawang impor. “Bagaimana ceritanya dulu kita hanya cukup dengan 0,5 kg/kapita/tahun, kenapa sekarang harus makan 1,72 kg/kapita/tahun?” katanya. 

Bukan Mustahil

Kembali ke masalah impor bawang putih. Ketergantungan impor jelas sangat berbahaya bagi Indonesia. Itu sebabnya, pada tahun 2017, pemerintah menargetkan swasembada bawang putih dapat dicapai pada 2019, dimajukan dari target sebelumnya tahun 2033. Karena tidak  tercapai maka kemudian direvisi kembali menjadi 2021. Dengan melihat waktu yang semakin dekat, banyak pihak pesimistis swasembada si putih dapat tercapai dua tahun lagi. 

Berdasarkan data BPS, luas tanam bawang putih tahun 2017 mencapai 3.274 hektare, dan tahun 2018 meningkat 147% menjadi 8.073 hektare. Demikian pula produksi naik dari 19.510 ton menjadi 39.300 ton.

Bawang Putih
Sumber: MediaIndonesia

Baca Juga: Si Putih Pengganggu Elektabilitas

Menurut Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), untuk bisa mencapai swasembada bawang putih, syarat utama adalah harus kompetitif. Indonesia harus bisa bersaing dengan negara produsen bawang putih lainnya. Artinya, Indonesia harus bisa produksi bawang putih dengan biaya yang lebih rendah dari pesaing. Khususnya dengan China. 

Biaya produksi bawang putih di China rata-rata sekitar US$520 per ton, atau sekitar Rp7.500 per kg. Biaya produksi ini amat rendah bahkan lebih rendah dibandingkan dengan Amerika Serikat sekalipun. AS perlu mengeluarkan US$1.600 untuk bawang putih satu ton, atau lebih dari Rp22.000 per kg. Maknanya biaya produksi bawang putih China hanya sepertiga dari biaya produksi bawang putih AS. 

Sedangkan Indonesia perlu merogoh Rp18.000 hingga Rp24.000 untuk sekilo bawang putih. Sebagai ilustrasi, biaya tanam bawang putih di Indonesia paling rendah sekitar Rp65 juta per hektar, dengan hasil panen sekitar 6 ton bawang putih basah (termasuk daun), atau sekitar 3 ton bawang putih kering (tanpa daun). Dengan demikian, maka biaya produksi bawang putih kering (tanpa daun) menjadi Rp21.667 per kg. Dan, tentu saja tidak kompetitif. 

Bawang Putih
Sumber: Citraindonesia

Biaya tanam menjadi tinggi karena biaya benih sangat mahal. Komponen biaya benih bisa lebih dari 35% dari total biaya tanam. Oleh karena itu, harga benih harus bisa ditekan lebih murah, bahkan menjadi setengah dari harga sekarang.

Anthony menambahkan benih bawang putih yang ditanam di Indonesia umumnya berukuran mini dan ringan. Hanya sekitar 1 hingga 1,2 gram per benih (siung). Akibatnya, hasil panen, atau produktivitas, menjadi rendah. Berat hasil panen bawang putih pada dasarnya akan mengikuti berat benih yang ditanam. Oleh karena itu, benih yang dipilih untuk tanam harus lebih besar, dan lebih berat, dari yang sekarang. Kalau berat benih ditingkatkan menjadi rata-rata 2 kali dari berat benih yang umumnya ditanam sekarang, maka hasil panen per hektare diperkirakan juga akan meningkat menjadi dua kali lipat. Yaitu dari 3 ton per hektar menjadi 6 ton. Biaya produksi pun akan turun menjadi Rp10.833 per kg.

Meski begitu, produktivitas 6 ton bawang putih kering per hektar juga masih sangat rendah. Soalnya, China bisa menghasilkan 25 ton per hektar. Sedangkan AS mencapai 20 ton per hektar.

Bawang Putih
Sumber: Citraindonesia

Produktivitas bawang putih China amat tinggi karena umbi bawang putih China, dan juga AS, jauh lebih besar dari umbi bawang putih Indonesia. Hal yang perlu menjadi ikhtiar Indonesia adalah memperbesar umbi. Jika itu dilakukan produktivitas bawang putih Indonesia bisa mencapai 15 ton per ha. Dengan begitu biaya produksi dapat ditekan secara signifikan. Bila ini tercapai, maka swasembada bawang putih akan terwujud, bahkan ekspor bukan hal mustahil.

Seperti yang disebutkan tadi, bawang putih Indonesia memang kecil. Namun biar kecil, aroma dan rasanya lumayan nendang. Nah, yang perlu dilakukan adalah bagaimana membuat produktivitas bawang putih kita itu ditingkatkan. Jadi itulah pentingnya belajar soal bawang putih ke China. Lewat cara ini pada suatu ketika duit yang digunakan impor bawang putih itu nantinya bisa dinikmati petani kita.

BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini



Berita Terkait