(Kualitas Lulusan Pendidikan Dokter Spesialis Tidak Boleh Dikorbankan)
Ceknricek.com--Layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau adalah tanggung-jawab konstitusi negara kepada seluruh rakyatnya. Kemenkes adalah kepanjangan tangan negara yang seharusnya paling bertanggung-jawab atas terpenuhinya tugas konstitusi ini. Fakta yang terjadi di lapangan memperlihatkan bahwa “Kemenkes terancam gagal dalam memenuhi target-target capaian sesuai Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024," demikian ungkap Kepala Bappenas Suharso Monoarfa (Katadata.co.id 5/6/2023).
Beberapa indikator yang gagal dicapai antara lain, imunisasi dasar lengkap pada bayi, jumlah balita tengkes/ stunting, eliminasi beberapa penyakit seperti Kusta, Malaria, TBC, dan Perokok Anak. Kegagalan lainnya adalah terkait Puskesmas yang terakreditasi dan pemenuhan tenaga kesehatan standar untuk Puskesmas yang capaiannya kurang dari 60%. Semua kegagalan ini tentu berpengaruh terhadap pemenuhan layanan kesehatan dasar untuk rakyat.
Sebagai contoh, tidak adanya dokter gigi pada 3285 atau 31,6% dari 10.292 puskesmas, padahal setiap tahun dihasilkan 2500 dokter gigi baru (https://databoks.katadata.co.id). Jelas terlihat masalahnya ada pada distribusi, bukan pada jumlah yang kurang. Menghadirkan dokter gigi ini jauh lebih bermanfaat bagi rakyat daripada program genomik maupun kerjasama dengan Elon Musk untuk menginternetkan puskesmas, karena orang sakit gigi tidak butuh diperiksa genomiknya dan tidak bisa dicabut/ ditambal gigi via zoom atau secara daring.
Disatu sisi banyak program Kemenkes yang gagal alias tidak mencapai target, seperti program pengadaan 7 spesialis dasar dan penunjang untuk 514 RSUD, yang selama lebih dari 20 tahun baru tercapai separohnya. Mana mungkin para spesialis diminta untuk bekerja dan mengabdi di daerah terpencil tapi hak-hak kesejahteraannya diabaikan (https://ceknricek.com/mobile/dari-aceh-sampai-papua-hak-nakes-terabaikan-tanggung-jawab-siapa/35206). Di sisi lain menkes salah fokus dengan mencoba cawe-cawe memasuki urusan pendidikan dokter yang selama ini jadi tanggung-jawab kemendikbudristek, dan bahkan urusan etika profesi dokter yang lazimnya (bahkan di negara otoritarian sekalipun) merupakan urusan internal profesi.
Pendidikan dokter spesialis jelas bukan cuma mendidik ketrampilan psikomotor seperti pendidikan vokasi yang biasa dilakukan di Balai Latihan Kerja atau BLK. Pendidikan dokter spesialis juga bukan sekedar mengajarkan ketrampilan profesi, tapi ada ilmu yang harus dikuasai secara komprehensif (body of knowledge), ada etika keilmuan dan etika serta disiplin profesi yang melekat, serta harus menjaga ‘patient safety’ sesuai dengan prinsip dasar ilmu kedokteran yaitu ‘Do No Harm’ (tidak boleh seorangpun mengalami cedera saat berupaya mencari pertolongan medis).
Apapun sebutannya, hospital based atau college based, pendidikan dokter spesialis yang digagas menkes (http://youtube.com/watch?v=NFc--9dgWQ0&feature=share ) ini bisa diselenggarakan di lebih dari 3000 RS, menerapkan model ‘magang’ sebagaimana yang dilaksanakan di Royal College of London. Alasan yang dikemukakan oleh menkes adalah, Inggris dengan jumlah penduduk seperempat negeri kita bisa menghasilkan 15 ribu dokter spesialis, sedangkan kita cuma menghasilkan 2500 spesialis setiap tahun. Ini adalah model coba-coba yang belum ada contohnya di negeri kita. Inggris adalah sebuah negara maju dengan infrastruktur dan sistem layanan kesehatan yang amat berbeda dengan negeri kita.
Selama ini, semua standar pendidikan dokter spesialis yang mencakup standar kompetensi, standar profesi, dan standar praktek profesi telah disusun secara mandiri (independent) oleh Kolegium Bidang Ilmu dan telah disahkan oleh Konsil Kedokteran. Menurut UU 29-2004 Pasal 1 butir 13, Kolegium adalah badan otonom yang dibentuk oleh Organisasi Profesi (Perhimpunan Spesialis) untuk setiap cabang disiplin ilmu. Mengacu pada UU No. 20-2013 (UU Dik-Dok), Kolegium terdiri atas para Gurubesar Bidang Ilmu, bertugas mengampu pendidikan bidang ilmu tersebut dan menjaga baku mutu pendidikan profesi dokter dan dokter spesialis.
Tubuh manusia tersusun atas berbagai Organ (Paru, Jantung, Ginjal, Otak, dll) dan Sistem (sistem pencernaan, sistem pernafasan, sistem sirkulasi darah, dsb) yang bekerja terintegrasi dan terkoordinasi satu sama lain. Perubahan warna pada selaput luar mata (sklera) bisa menjadi petunjuk adanya gangguan fungsi hati, gangguan pendengaran bisa jadi petunjuk dosis antibiotika yang berlebih, sedangkan sakit perut yang terus berulang bisa jadi suatu bentuk serangan epilepsi lobus temporalis.
Kompleksitas dan luasnya ilmu yang mesti dikuasai serta variasi berbagai macam gejala yang bisa berbeda dari penyakit yang sama, atau sebaliknya gejala yang sama dari penyakit yang berbeda inilah yang membuat setidaknya perlu 6 (enam) tahun untuk pendidikan dokter, dan 4-6 tahun untuk pendidikan dokter spesialis. Keterkaitan dan kompleksitas organ dan sistem tubuh manusia, serta perkembangan ilmu kedokteran yang tidak pernah berhenti inilah yang mengharuskan pengalaman dengan variasi kasus yang cukup, serta pendidikan yang diampu oleh mereka yang keilmuannya setidaknya 2 (dua) tingkat lebih tinggi (calon dokter dididik oleh spesialis dan dokter yang bergelar S2, serta calon spesialis dididik oleh dokter subspesialis/ spesialis konsultan, atau spesialis yang setidaknya bergelar S3).
Semua ketentuan tersebut diatas, selain memiliki landasan UU 12-2012 tentang Dikti dan PP No.4-2014, juga mengacu pada ketentuan dari World Medical Association (WMA). Tiga hal penting terkait pendidikan dokter spesialis adalah tercapainya kompetensi, terpeliharanya etika profesi, dan terjaminnya patient safety. Patient safety tidak boleh dikorbankan atas nama pendidikan untuk pencapaian kompetensi. Semua ketentuan tersebut diatas, selain memiliki landasan UU 12-2012 tentang Dikti dan PP No.4-2014, juga mengacu pada ketentuan dari World Medical Association (WMA).
Dalam model yang digagas menkes, seorang calon spesialis akan diampu hanya oleh seorang spesialis, bukan beberapa subspesialis atau spesialis konsultan (berbeda dengan situasi di Royal College of London yang dijadikan model panutan, dengan pengalaman berpuluh tahun dan penuh dengan dokter subspesialis). Dengan model coba-coba ini, yang akan terjadi adalah seorang lulusan SD yang diminta untuk mengajar SD, bahkan model pendidikan spesialis dibuat seolah bagai Home Schooling (https://m.mediaindonesia.com/opini/628479/pendidikan-dokter-spesialis-bukan-home-schooling). Situasi ini lebih diperburuk oleh perubahan kedudukan dan peran kolegium sebagai lembaga pengampu dan penjaga baku mutu pendidikan spesialis.
Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) UU 17-2023, Pasal 732, 733, dan 734, posisi Kolegium sebagai lembaga otonom yang mandiri yang diisi oleh orang-orang yang terbaik (para Gurubesar) dan paling kompeten dalam setiap bidang spesialisasi ini bakal terdegradasi menjadi sekedar lembaga pembantu menkes yang diisi oleh para petugas menkes. Sedangkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), yang dibentuk sebagai amanat UU 29-2004 tentang Praktek Kedokteran, dalam rangka melindungi masyarakat dalam pelayanan kedokteran dan menjaga mutu pelayanan kedokteran (dalam Bab III, ada 22 Pasal terkait Konsil). KKI yang seharusnya merupakan sebuah Lembaga Negara yang bertanggung-jawab kepada Presiden sebagai Kepala Negara, juga mengalami nasib yang sama, terdegradasi menjadi sekedar Petugas Menkes sebagaimana tersirat dalam RPP UU 17-2023 pasal 725 dan 731).
Hampir semua gurubesar kedokteran spesialis serta pakar pendidikan kedokteran klinik mempertanyakan kapasitas para ‘petugas menkes’ tersebut untuk menyusun standar yang paling dasar dalam sebuah pendidikan, yaitu kurikulum pendidikan spesialis. Hanya karena nafsu untuk secepatnya mencetak lebih banyak spesialis, serta nafsu jahat untuk menegasikan dan mengambil alih peran organisasi profesi, maka kualitas luaran pendidikan spesialis dikorbankan. Model pendidikan dokter spesialis yang digagas menkes dengan UU 17-2023 dikhawatirkan akan berbahaya bagi pencapaian kompetensi, terpeliharanya etika profesi dan perlindungan patient safety, tiga unsur terpenting terkait luaran pendidikan spesialis. Betapa mengerikan akibat dan ancaman yang bakal dialami oleh masyarakat penerima layanan kesehatan nantinya.
Tentang pendidikan spesialis yang selama ini dianggap berbiaya amat mahal adalah akibat dari ketidak-hadiran negara. Janji menkes untuk memberikan gaji bagi peserta program pendidikan spesialis bukan hal baru alias sudah basi. Lebih dari 10 tahun lalu UU No.20-2013, pasal 31 telah mewajibkan negara untuk memberikan gaji/ insentif bagi peserta didik calon dokter spesialis. Insentif ini pernah diberikan oleh Terawan (meski hanya sementara) dikaitkan dengan resiko kematian nakes saat puncak pandemi Covid-19. Secara umum hak atas gaji ini tidak pernah diberikan karena memang negara (baca: Kemenkes) tidak pernah hadir dalam pendidikan dokter spesialis, sebagaimana Kemenkes juga tidak pernah hadir ketika hak-hak kesejahteraan nakes di berbagai daerah terabaikan (semua itu adalah tanggung-jawab Pemda, bukan tanggung-jawab Kemenkes, demikian yang disampaikan via medsos para Staf Khusus Komunikasi Kemenkes). Faktanya UU 17-2023 tidak memuat pasal yang terkait kesejahteraan nakes atau pasal yang mengatur perubahan otonomi daerah tentang jenjang karir dan kesejahteraan nakes di daerah.
#Zainal Muttaqin, Guru Besar, Praktisi dan Pengelola Pendidikan Dokter Spesialis
Editor: Ariful Hakim