Bandara Kertajati: Monumen Ambisi Politik yang Salah Arah | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Bandara Kertajati: Monumen Ambisi Politik yang Salah Arah

Ceknricek.com--Pembangunan infrastruktur adalah salah satu bentuk nyata dari kemauan politik (political will) dalam membangun negeri. Namun, ketika infrastruktur dibangun tanpa kajian akademik yang matang, tanpa perencanaan strategis yang holistik, dan terlebih lagi disetir oleh ambisi politik jangka pendek, maka hasilnya bisa menjadi bumerang. Salah satu contoh nyata dari kegagalan pembangunan yang mencolok adalah Bandara Internasional Kertajati di Majalengka, Jawa Barat. Proyek ini menjadi simbol dari sebuah megaproyek yang gagal dalam implementasi, tidak terintegrasi dengan sistem transportasi nasional, dan terjebak dalam kerangka berpikir populis yang dangkal.

Sejarah Singkat dan Latar Belakang

Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati mulai dibangun pada tahun 2015 dan diresmikan pada Mei 2018. Bandara ini digagas dengan ambisi besar: menjadi bandara kedua terbesar di Indonesia setelah Soekarno-Hatta, menggantikan Bandara Husein Sastranegara di Bandung untuk layanan penerbangan komersial. Luasnya mencapai lebih dari 1.800 hektar, dengan landasan pacu sepanjang 3.000 meter yang mampu melayani pesawat berbadan lebar seperti Boeing 777. Akan tetapi, sejak awal muncul tanda tanya besar: mengapa bandara sebesar ini dibangun di tengah-tengah lahan pertanian yang jauh dari pusat populasi? Tidak ada kajian akademik yang menjelaskan logika demografis, ekonomis, dan operasional di balik pemilihan lokasi ini. Seolah-olah, proyek ini muncul dari kehendak sepihak, bukan dari studi kelayakan yang berbasis pada data dan kebutuhan riil masyarakat.

Cerobohnya Perencanaan, Absennya Nalar Akademik

Seharusnya, pembangunan infrastruktur transportasi seperti bandara mengikuti prinsip dasar: lokasi yang strategis, konektivitas yang baik, dan didasarkan pada proyeksi pertumbuhan penumpang yang realistis. Dalam kasus Kertajati, semua prinsip ini diabaikan. Bandara ini dibangun tanpa dukungan transportasi darat yang memadai—baik dari segi jalan tol, kereta api, maupun layanan shuttle bus yang terintegrasi. Akibatnya, dari awal operasionalnya, bandara ini kesulitan menarik minat maskapai dan penumpang.

Sebuah infrastruktur vital seperti bandara semestinya dirancang sebagai bagian dari sistem, bukan berdiri sendiri seperti menara gading. Di sini terlihat jelas bahwa tidak ada ekosistem perencanaan yang menyeluruh. Tidak ada studi akademik yang bisa menjelaskan proyeksi arus penumpang, potensi pasar, serta dampak sosial dan lingkungan dari megaproyek ini. Dalam dunia akademik dan kebijakan publik, hal ini bisa disebut sebagai “policy without knowledge”—kebijakan tanpa pengetahuan.

Politik Elektoral di Balik Pembangunan

Tidak bisa dipungkiri bahwa proyek Kertajati sejak awal diselimuti oleh aroma politik elektoral. Pembangunan bandara ini dipercepat menjelang Pilkada Jawa Barat dan kontestasi politik nasional, seolah-olah keberadaan bandara bisa dijadikan etalase keberhasilan untuk mengangkat citra politik pihak tertentu. Ini adalah bentuk dari apa yang disebut sebagai "pembangunan kosmetik", yakni pembangunan yang tujuannya bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, melainkan untuk memenangkan pemilu. Dalam kerangka demokrasi prosedural, memang tidak sedikit proyek-proyek besar yang dijadikan alat kampanye. Namun ketika ambisi politik menutup mata terhadap realitas lapangan dan mengorbankan uang rakyat dalam jumlah triliunan, maka itu bukan sekadar pemborosan—melainkan pengkhianatan terhadap akal sehat publik.

Dampak dan Masalah Operasional

Sejak dibuka, Bandara Kertajati tidak mampu menarik penumpang dalam jumlah signifikan. Maskapai pun enggan membuka rute dari dan ke bandara ini karena minimnya permintaan dan jauhnya lokasi dari pusat kota seperti Bandung dan Cirebon. Pemindahan seluruh penerbangan komersial dari Bandara Husein ke Kertajati sempat dilakukan, namun justru menimbulkan protes besar-besaran dari penumpang dan pelaku industri penerbangan. Akibatnya, rute-rute pun ditutup kembali, dan bandara ini kembali sepi. Pada satu titik, Kertajati nyaris menjadi “bandara hantu” yang hanya melayani segelintir penerbangan haji dan umrah. Bahkan pernah muncul wacana menjual sebagian aset bandara karena beban keuangan yang terlalu besar.

Upaya Pemulihan dan Gagasan Alternatif

Kini, berbagai upaya tengah dilakukan untuk menyelamatkan investasi besar ini. Pemerintah berupaya menjadikan Kertajati sebagai pusat logistik udara (air cargo hub) dan pusat perawatan pesawat (MRO – Maintenance, Repair, Overhaul). Gagasan ini tentu layak diapresiasi, karena setidaknya menggeser orientasi dari komersial murni ke arah industri aviasi. Beberapa perusahaan seperti GMF AeroAsia dan PT Dirgantara Indonesia telah menunjukkan minat terhadap kawasan ini, namun realisasinya masih jauh dari harapan. Dibutuhkan insentif konkret, kemudahan regulasi, dan dukungan ekosistem yang lebih luas agar bandara ini bisa benar-benar berfungsi sebagai simpul industri dirgantara nasional. Namun tetap saja, pertanyaan dasarnya belum terjawab: mengapa bandara ini dibangun tanpa konsep dasar dan masterplan nasional yang terintegrasi?

Refleksi dan Pelajaran Strategis

Kertajati menjadi pelajaran mahal bagi kita semua: bahwa pembangunan infrastruktur tidak boleh hanya berorientasi pada pencitraan atau kepentingan sesaat. Ia harus didasarkan pada perencanaan yang matang, kajian akademik yang mendalam, dan strategi jangka panjang yang terukur. Infrastruktur adalah tulang punggung negara—bukan alat kampanye politik. Sebagaimana yang sering saya sampaikan: Indonesia bukan kekurangan ide, melainkan kekurangan konsistensi dan keberanian untuk melaksanakan ide itu dengan benar. Kertajati bisa jadi “bangkit kembali” jika kita mampu menjadikannya sebagai bagian dari ekosistem nasional transportasi udara yang terintegrasi dengan pelabuhan, jalur logistik, dan pusat pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat dan sekitarnya.

Demikianlah, Bandara Internasional Kertajati adalah monumen kegagalan perencanaan, namun ia juga bisa menjadi simbol kebangkitan jika kita mampu belajar dari kesalahan. Perencanaan berbasis data, kolaborasi antarsektor, dan kemauan politik yang jujur adalah kunci. Kalau tidak, Kertajati akan tinggal nama: proyek mewah yang dibangun untuk kekuasaan, bukan untuk rakyat.

Jakarta 4 Juli 2025

Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait