(Kami hargai banyaknya apresiasi terhadap komik Garuda Hitam yang baru kami terbitkan Cover dan teasernya. Banyaknya permintaan di media sosial kami untuk mengeluarkan teaser lanjutan, kami setujui dengan mngeluarkan Chapter I dari 18 dalam bentuk artikel di bawah ini. Selamat Membaca!)
Pertama,
Sebelum memulai membaca, anda bisa memilih dua keyakinan dalam menyimak novel ini:
- Setelah kematian ada kehidupan yang dimulai, pertanggung jawaban atas perbuatan kita selama di dunia.
- Pernyataan pertama adalah omong kosong. Kehidupan selesai setelah kita mati. Tidak ada hari pertanggung jawaban dan tidak ada Tuhan.
Pilihan yang anda pilih akan berpengaruh kepada siapa anda berpihak dalam cerita ini.
Kedua,
Cerita ini berakhir tetap tidak mengenakkan bagi siapapun yang lebih banyak berbuat keburukan selama hidupnya di Indonesia. Terlepas ia memilih keyakinan nomor 1 atau nomor 2.
CHAPTER I
BERLAYAR MENUJU JAKARTA
Ombak besar hampir membalikkan kapal feri yang ditumpangi Haru Anshari beserta ayahnya, Abdullah Anshari tahun 1991 silam, dalam perjalanan ke Jakarta. Pelukan Abdullah, pesan dan nasihatnya selama 20 hari di kapal tentang bagaimana mempersiapkan diri di Jakarta diingatnya teguh. Hidup benar, baik, jujur, dan jangan pernah takut membela yang benar. “Getteng, Lempu, Ada Tonggeng“
terpatri dan menjadi tato di hatinya.
(Filosofi dari Bahasa Bugis, yang berarti: Hidup Benar, baik dan Jujur)
“Haru kenapa kau gelisah nak?”
“Harusnya aku tak ikut, harusnya aku di kampung saja temani emak”
“Kau dilanda keraguan nak. Waktu sebelum berangkat, bapak Tanya tiga kali tentang perantauan ini, dan tiga- tiganya kau jawab dengan yakin. Kini kau ragu. Sekarang, kau tenang, tarik nafasmu dalam- dalam dan lihat mata bapak! Pegang teguh pesan ini, sebuah kalimat yang bapak pernah baca di buku yang sampai sekarang bapak letakan di dasar pikiran, jiwa, dan sukma bapak, terlepas bapak lupa siapa penulis kalimat ini;
“Keraguan adalah Pengkhianat, yang akan membuat kita kehilangan peluang untuk sering menang dalam banyak laga!
Yang berawal dari takut mencoba.”
(William Shakespeare, dalam buku ‘Measure for measure’ 1623)
Bias sinar pada retina Haru pun berubah, sekejap mata yang tadinya basah diselimuti sisa air mata menjadi kering dan tajam memandang Abdullah.
“Bapak, Bapak tak pernah gagal menasihati aku! Sekarang untuk yang ke empat kalinya aku bilang aku yakin Bapak!”
“Sekarang naik ke pundak Bapak, lihat kearah sana, daratan Pulau Jawa sudah terlihat.”
Abdullah mengajak anak satu satunya terlebih dahulu yang berumur 7 tahun menginjak Jakarta, dengan uang pesangon yang diperolehnya, tanpa punya rencana sama sekali. Namun dengan tekad seluas jagad raya, mencari peluang lebih baik. Ibunya masih di Sengkang, Pulau Sulawesi menunggu kabar baik sambil berdoa yang tidak pernah putus dan mensujudkan kening di setiap malam.
Alasan Abdullah mengajak Haru, agar sedini mungkin ia menjadi perpustakaan apa yang dunia tawarkan kepada kehidupan seseorang; Susah, senang, syukur, pedih, perasaan keberhasilan, jatuh bangun, moral, etos kerja dan menyaksikan kebesaran tuhan bahwa apabila seseorang bersungguh- sungguh untuk mengubah nasib, maka berubahlah nasib seseorang tersebut.
Ketika menjadi petani Kakao, Haru yang mulai bisa membaca sejak umur 4 tahun, selalu menemani ayahnya berkebun dengan membawa segala bahan bacaan yang dapat diperolehnya, baik koran, maupun buku- buku bekas yang ia dapatkan dari banyak sumber; Sumbangan, buku- buku di kantor kepala desa yang bisa dipinjam, serta warisan koleksi buku ayahnya.
Kebiasaan ini, yang membuat Abdullah bercita- cita dalam hati untuk suatu hari akan mengajaknya ke Jakarta apabila sudah punya cukup sangu, untuk memenuhi minatnya membaca buku, serta haus terhadap pengetahuan. Abdullah membayangkan, apabila Haru dibawanya ke Jakarta, maka sumber- sumber buku dan pengetahuan yang haru dapatkan akan sangat berbeda, dengan buku dan pengetahuan lawas yang selama ini menjadi bahan bacaan Haru. Di Jakarta ia akan mendapatkan buku- buku terbaru, pengetahuan dari hasil penelitian mutakhir ditambah impian Abdullah agar Haru bersekolah tinggi Di Jakarta.
Walau tak terpikirkan cita- cita tersebut terwujud hanya dalam selang beberapa waktu namun dengan alasan yang terbalik (Pemutusan Hubungan Kerja) & Sangu yang tidak sesuai perencanaan.
Feri merapat di Merak, 2 Lelaki;
1 Dewasa, 1 anak kecil yang bergenggam kuat bergandeng tangan, dengan modal tabungan hidup uang 35 ribu rupiah, mengharap pada Ibu Kota; Jakarta, pintu Bus tertutup. Kini ia menuju tempat tidur untuk sementara.
(Pada Tahun 1991 Upah minimum rata- rata di Indonesia adalah
Rp. 18.000)
Abdullah bersama adiknya Andi sebelumnya adalah petani Kakao, Tanaman penghasil cokelat untuk merk- merk dunia, yang memang sejak dahulu kala menguasai ladang di sulawesi selatan. ‘Snickers, Mars, dan Toblerone’ Adalah merk-merk yang menjadikan ladang tanaman kakao di Sulawesi Selatan sebagai tulang punggung dalam komposisi utama produknya.
Dengan upah harian, Abdullah diberhentikan ketika mengalami kecelakaan kerja yang mengakibatkan kehilangan 2 Jari tangan kirinya. Perusahaan besar yang menggajinya merasa mempekerjakan Abdullah membuat produktivitas menurun dan Abdullah masuk dalam status daftar karyawan yang “bekerja tidak Maksimal”.
Sampailah mereka di tempat yang satu- satunya Abdullah kenal dulu, Taman Ismail Marzuki.
Di masa lampau, Abdullah pernah satu kali ke Jakarta, waktu itu ia menerima pekerjaan serabutan sebagai kru penjaga properti dalam pementasan teater karya sastra 'Sureg La Galigo'. Membuat ilustrasi dalam kepalanya tentang Jakarta hanyalah radius Kelurahan Cikini yang tidak lebih meliputi: Taman Ismail Marzuki, Kalipasir, Menteng dan paling jauh Patung Tani.
(La Galigo adalah Karya Sastra sepanjang 6000 Halaman dengan 300.000 baris teks. Berasal dari Sastrawan Bugis yang menceritakan kisah asal usul manusia, dan berisi almanak tenantang panduan kehidupan sehari- hari. Karya ini diakui sebagai karya sastra terbesar di Dunia oleh berbagai macam Institusi Literasi dunia)
Pukul 1 Pagi, mereka Tiba di Taman Ismail Marzuki.
"Nak, di dalam komplek ini banyak Ilmu yang bisa kau gali, banyak manusia yang bisa kau teladani, ini pusat sebuah kreativitas yang hasilnya memercik banyak orang hebat di negara kita! Dan banyak buku berikut penulisnya lahir dari sini", Cerita Abdullah pada Haru sambil berjalan menyusuri Gang Tembok persis di samping TIM untuk memburu kontrakan sebagai tempat tinggal mereka.
Sampai Jam 3 Pagi, seluruh pemilik kontrakan di sepanjang Gang Tembok, kawasan Kalipasir tidak ada yang masih terjaga, terlebih menerima penghuni baru.
Di Persimpangan, mereka menatap satu sama lain.
"Sekarang apa bapak?"
"Sekarang hanya sekejap menuju waktu subuh nak, kita tidur di Masjid! Jalan kita masih panjang, naiklah duduk dibelakang pinggang bapak, kita menuju masjid, Istirahat tutup matamu tidurlah, bapak bangunkan begitu waktu Sholat Subuh tiba. Jam 10 kita kembali kesini mencari tempat tinggal kita".
Pukul 12 Siang, tepat matahari terik diatas, Abdullah mendapatkan kontrakan termurah yang ada. 4 Ribu perbulan, berlantai semen dua meter persegi. Mereka berdua sujud syukur.
"Bapak, waktu ajak aku ke Jakarta, bapak bilang untuk dapat hari hari lebih nyaman. Rumah kita di Sengkang lebih nyaman dari pada ini."
"Nak, kenyamanan ada bagaimana kau setel kau punya pikiran, maksud bapak hari hari lebih nyaman adalah masa depan. Disini akan lebih banyak kesempatan tempat bekerja untuk bapak, kesempatan belajar yang beragam untuk kau. Waktu akan mengilhami kedewasaan mu untuk mengerti keadaan yang kini sulit dibendung oleh oleh pikiranmu nak".
"Ba...ik, baik bapak. Aku akan belajar banyak ke tempat semalam yang bapak tunjukan, dan semalam aku perhatikan di halaman tempat tersebut banyak penjual buku, sampai kita punya uang untukku sekolah, aku akan lahap itu semua sebagai sarapan, makan siang dan malamku".