Blue Economy dan Intelijen Perikanan (2) | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Blue Economy dan Intelijen Perikanan (2)

Paparan Letjen Doni Monardo di hadapan siswa PPRA Lemhanas

Ceknricek.com--Bukan itu saja. Seminar tadi juga mengingatkan kepada seluruh pemimpin dunia, bahwa ikan di laut luas bukan milik satu negara, tetapi juga milik seluruh negara yang memiliki teritori laut. Sebab, ikan itu bermigrasi, berbeda dengan ikan yang ada di danau atau sungai.

Karena itu, aspek pemeliharaan lingkungan juga menjadi hal penting. Jangan sampai, pencemaran di daerat kemudian mencemari laut yang bisa mencemari ikan. Contoh, logam berbahaya seperti mercuri. Jika itu terjadi, cepat atau lambat akan ketahuan, dan ini bisa berdampak jatuhnya sanksi.

Terlebih, Indonesia telah meratifikasi Undang-undang (UU) No 11 tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention On Mercury (Konvensi Minamata Mengenai Merkuri). Pengalaman bertugas di Paspampres, Doni menjadi paham, bahwa banyak ikan dari perairan Indonesia yang tercemar mercuri.

“Semua penggunaan merkuri harus menjadi perhatian pemerintah untuk ditindak. Di Kabupaten Mandailing Natal, sejumlah bayi lahir tidak normal. Ada yang kepalanya besar, bagian dalam perut ada di luar, dan banyak kisah tragis lain. Itu karena ibu-ibunya banyak bekerja di pertambangan illegal yang mengandung mercuri serta mengonsumsi makanan dan minuman yang tercemar mercuri,” kata Doni Monardo.

Kita tidak bisa bicara blue economi kalau tidak dibarengi penataan lingkungan. Termasuk Doni menyebut kerang yang ditangkap di Teluk Jakarta sebagai kerang yang tidak baik untuk dikonsumsi, karena sudah tercemar limbah berat.

Lebih jauh, Doni juga menyinggung sekilas mengenai Program Citarum Harum, bagaimana ia memulihkan kondisi Sungai Citarum dari status sungai terkotor di dunia menjadi tercemar ringan, serta tercemar sedang di beberapa bagian.

Sementara Citarum mengaliri tiga waduk, Saguling, Jatiluhur, dan Cirata. Selain itu, ia juga mengalir ke Kalimalang, yang sebagian besar menjadi bahan baku PDAM. “Jadi PDAM itu tidak pernah berani men-declare airnya bisa diminum. Karena itu, saya pernah bergurau, PDAM bukan perusahaan daerah air minum, tapi perusahaan daerah air mandi,” kata Doni sambil tertawa.

Sukses Emas Biru

Sebelum melanjutkan paparannya di depan para siswa PPRA 62 baik yang hadir di markas PPAD maupun hadir secara daring, Doni Monardo menampilkan kisah sukses Emas Biru yang iagulirkan di Maluku, saat menjadi Pangdam di sana. Dua narasumber diundang, dan diminta berbicara.

Yang pertama diminta berbicara adalah tokoh emas biru budidaya ikan laut, Jefri Slampta. Ia adalah seorang PNS di Kodam XVI/Pattimura. Doni mengatakan, berkat budidaya emas biru, Jefri bisa menyekolahkan anak sampai kuliah di fakultas kedokteran di Unpati, sebentar lagi bakal jadi dokter. Ia juga memiliki usaha kontrakan. Ekonomi keluarga jauh membaik.

“Saya masih pertahankan emas biru warisan bapak jenderal Doni Monardo. Sudah selama ini banyak melatih dan mendidik kawan-kawan nelayan budidaya di Maluku dan Maluku Utara,” katanya.

Jefri bukanlah contoh sukses instan. Ia mengawali tahun 2009 melalui perjuangan ekstra keras. Dimulai dari memulung botol-botol plastik yang ada di teluk Ambon. Selama empat bulan ia berhasil mengumpulkan 32.000 botol air kemasan. Botol-botol itulah yang ia jadikan keramba jaring apung.

Dalam perkembangannya, ia bisa meningkatkan kondisi keramba dengan membeli keramba bekas. Dan saat ini, ia sudah bisa memperluas keramba miliknya dengan jaringan keramba yang baru. Bukti bahwa usaha budidaya emas biru-nya berhasil. “Restoran apung ini juga semakin viral dan mendatangkan penghasilan tambahan,” katanya senang.

Resto apung di keramba itu dibangun tanggal 28 Maret 2021. Belakangan, makin viral setelah seseorang menayangkan di youtube. Mereka secara khusus datang ke kerambanya dan membuat konten yang viral. Belum lagi para pengunjung resto apung yang lain. “Mereka ada yang datang dari Jakarta, Bandung, bahkan Surabaya,” kata Jefri bangga.

Mereka secara khusus datang ke Teluk Ambon untuk bisa makan di resto apung keramba milik Jefri karena aneka ikan seperti ikan kerapu, kakap, bobara, udang, cumi, kepiting, lobster yang segar. “Makan seafood di sini sangat segar, karena langsung kami ambilkan dari keramba, bukan seafood yang disimpan di freezer berminggu-minggu,” katanya.

Untuk memberi suasana lain, Jefri yang mengikuti pertemuan melalui zoom, diminta Doni menunjukkan keramba dengan kamera HP-nya. Jefri juga diminta memperlihatkan ikan-ikan yang ada di kerambanya, serta koleksi lobster yang ada. “Siapa tahu nanti para peserta PPRA 62 ke Ambon, bisa mampir dan makan di keramba jaring apung milik Jefri,” kata Doni sambil tertawa.

Sosok lain yang diminta Doni berbicara di hadapan para siswa Lemhannas adalah Achmad Jais, Kepala Sekolah Usaha Perikanan Menengah, Waiheru, Ambon. “Hingga hari ini, kampus kami tetaplah bernama kampus emas biru. Sebab, sejak Pak Doni datang, teluk Ambon menjadi ujung tombak emas biru. SUPM ini adalah sekolah gratis yang sudah secara nyata meningkatkan perekonomian masyarakat,” katanya.

Jais bangga, sebab SUPM pernah didatangi Presiden, Wakil Presiden dan sedikitnya 17 orang menteri. Itu semua karena program “emas biru”. Ada aktivitas budidaya keramba jaring apung, pembibitan yang disumbang kementerian KKP untuk diteruskan kepada masyarakat, serta aktivitas pemberdayaan masyarakat. “Sungguh contoh yang baik tentang kolaborasi antara institusi pendidikan dengan instansi pemerintah daerah dan pemerintah pusat,” katanya.

Jais menambahkan, saat Presiden Joko Widodo datang, ia mengatakan, “Tentara sekarang sistemnya bukan senjata yang bisa membunuh, tapi senjata sosial, atau senjata kesejahteraan. Pak Doni adalah warga kehormatan kota Ambon. Pak Doni adalah warga kebanggaan Ambon. Program beliau emas hijau, emas biru lalu emas putih perdamaian, sungguh tidak akan pernah dilupakan oleh masyarakat Maluku,” kata Achmad Jais, khidmat.

Jais berjanji dan bertekad akan melanjutkan semua program Doni Monardo. “Ijin Pak Doni, jembatan warisan bapak yang menghubungkan kampus ke keramba sampai sekarang masih ada. Itu kenangan yang tidak boleh hilang. Emas biru yang bapak gulirkan sudah melahirkan banyak Jefry yang lain. Jefry-jefry di Seram, di Buru, dan lain-lain,” papar Jais.

Berkas emas biru pula masyarakat meningkat ekonominya sehingga bisa menyekolahkan anak. Ada yang sudah menjadi sarjana, ada yang sudah bekerja di Korea, Jepang, Spanyol, semua terjadi berkat emas biru.

Atas dua testimoni tadi, Doni Monardo mengucapkan terima kasih. Tak lupa ia menyampaikan rasa kagumnya, saat baru-baru ini mengunjungi Ambon. Kondisinya jauh lebih meriah dibanding saat ia bertugas di sana. Saat ini sangat banyak resto seafood yang ikan-ikannya disuplai oleh para nelayan tambak. “Sungguh, ikan yang segar tidak perlu bumbu yang macam-macam, sudah sangat enak,” katanya.

Doni menyebutkan, salah satu kunjungan Presiden Joko Widodo ke Ambon. Salah satunya adalah menebar 1.000 ekor ikan barramundi. Ikan yang kualitasnya tidak kalah dengan salmon. “Seribu ekor ditebar, kesemuanya hidup. Ini ikan mahal. Baramundi itu kakap putih. Di Maluku, kakap putih sangat banyak,” kata Doni.

Tidak berhenti di situ, Doni bahkan menguak potensi kepiting bakau dikaitkan dengan potensi hutan bakau yang ada di seluruh pesisir Nusantara. Indonesia memiliki 3 juta hektare mangrove, dari sebelumnya 4 juta. “Yang sejuta hektare hilang untuk pembangunan atau perambahan. Saya sering dapat laporan, bakau dirambah untuk dijadikan arang, dan diekspor ke luar negeri,” kata Doni.

Doni tidak ingin luas bakau terus menyusut. Ia mendukung tekad Presiden Joko Widodo yang mencanangkan pengembalian fungsi pesisir dengan penanaman kembali mangrove. “Meski praktiknya masih banyak pencuri mangrove, seperti yang terjdi di Segara Anakan, Cilacap,” ujar Doni.

Doni menceritakan tekadnya memulihkan hutan bakau, serta budidaya kepiting bakau. Selain di Aru (Maluku), Doni baru pulang dari Puau Enggano, Bengkulu. Di sana, selain bakaunya masih sangat terjaga, Doni juga sedia mengembangkan buidaya kepiting. “Mereka sangat hebat menjaga bakau. Dan itu sangat bagus, karena letak pulau itu termasuk di wilayah yang rawan gempa dan tsunami, seperti Aceh,” tambah Doni.

Doni juga memberi gambaran tentang budidaya udang oleh PT Parigi Aquakultur Prima di Desa Desa Sejoli, Kec Moutong, Kabupaten Parigi, Sulawesi Tengah. Perusahaan ini juga telah melibatkan masyarakat dalam mengelola budidaya udang vaname. Ekonomi masyarakat di sekitar tambak udang, berkembang pesat.

Terakhir, Doni menyebut ikan nemo, si ikan pintar. Ia adalah salah satu jenis ikan hias yang mahal harganya. “Ikan hias dari perairan laut kita jauh lebih bagus dibanding ikan koi. Kenapa kita harus impor ikan luar, sementara laut kita punya banyak sekali ikan hias yang indah,” kata Doni.

Masih ada lagi gagasan Doni Monardo terkait blue economy. Ia menyebut arus deras yang ada di antara dua pulau. Potensi arus deras tadi bisa dimanfaatkan sebagai pengungkit tenaga listrik. Jika itu dilakukan, maka akan menghasilkan energi. Dari energi tadi, bisa digunakan untuk menghidupi cold storage. “Dengan cold storage, nelayan kita di pedalaman tidak harus jual murah hasil tangkapannya,” ujar Doni.

Usai paparan, Sekjen PPAD Mayjen TNI Purn Komaruddin Simanjuntak yang memoderatori acara mengakhiri seminar dengan kelakar, “Perlu para siswa ketahui, Pak Doni Monardo juga alumnus PPSA XVIII,” kata Komar, disambut tepuk tangan hadirin.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait