Bung Hatta, Buku yang Tak Pernah Habis Dibaca | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Bung  Hatta (Pinterest)

Bung Hatta, Buku yang Tak Pernah Habis Dibaca

Ceknricek.com - Tanggal hari ini, 39 tahun silam, Indonesia kehilangan salah seorang putra terbaiknya : Muhammad Hatta. Sosok yang dikenal jujur dan bijaksana itu mengembuskan nafas terakhir, Jumat 14 Maret 1980. Meski jasadnya telah lama terkubur, namun warisan pemikiran dan cita-citanya untuk negeri ini akan terus menjadi api, menyala dan abadi.

Muhammad Hatta atau dikenal dengan Bung Hatta, lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha,12 Agustus 1902, di desa Aur Tajungkan, Bukittinggi, Sumatera Barat, dengan nama Muhammad Athar. Ia dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama. Kakeknya, Syekh Abdurachman atau Syekh Batu Hampar, seorang ulama yang dihormati di sana.

Sumber : Bung Hatta  (Pinterest)

Hatta masuk sekolah ELS (Europeesche Lagere School), Sekolah Dasar zaman Hindia Belanda pada 1913. Empat tahun kemudian (1917) Ia melanjutkan pendidikannya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), di Kota Padang.

Di sinilah ia bertemu Nazir Datuk Pamoentjak, lulusan HBS dari Jakarta Januari 1918, yang kelak keduanya menjadi wakil Jong Sumateranen Bond. Mereka ditangkap saat berada di Belanda karena aktivitasnya dalam Perhimpunan Indonesia (Organisasi Pelajar dan Mahasiswa di Belanda), atas tuduhan menghasut orang untuk menentang kerajaan Belanda, dan makar.

Hatta, Nazir, Ali Sastroamidjoyo, dan Abdul Madjid Djojodiningrat ditangkap 23 September 1927. Mereka ditahan preventif selama lima bulan setelah menghadiri Kongres Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial di Jenewa pada 10-15 Februari 1927.


Perjumpaan Awal Soekarno-Hatta

Setelah menyelesaikan pendidikan di Belanda dan pulang ke tanah air tahun 1932, Hatta bertemu Soekarno di Bandung. Menurut pengakuan Hatta dalam otobiografinya, "Untuk Negeriku ; Sebuah Otobiografi",  pertemuan mereka terjadi di sebuah hotel di Bandung. Namun, sebelum itu, keduanya sudah saling mengagumi lewat berita, surat, koran, atau kabar dari kawan-kawan pergerakan di luar negeri.

Sukarno dan Hatta; 1949. FOTO/Istimewa. Sumber : Tirto.Id

Mereka bahkan saling membela ketika ditahan pemerintahan Hindia Belanda lewat berbagai penggalangan aksi massa, maupun tulisan artikel yang mengecam tindakan tersebut. Soekarno menggalang aksi dan dukungan terhadap Hatta di Bandung ketika ia ditangkap di Belanda lewat  PNI (Partai Nasional Indonesia). Hatta pun membuat artikel berjudul  “DeVernietigingder PNI” (Penghancuran PNI) pada 2 Januari 1931 ketika Soekarno dipenjara untuk pertama kali di Banceuy tahun 1929.

Tiga Serangkai, Hatta, Sjahrir, Sukarno Sumber : Pinterest

Ketika PNI dibubarkan, dan Soekarno dipenjara di Sukamiskin selama 4 tahun -- dimana sebagian anggota PNI kemudian membentuk Partai Indonesia (Partindo), dan sebagian lagi mendirikan PNI Baru -- Hatta memberi perhatian dengan sikap kritisnya. Ia mencetak kader-kader baru PNI dan melatih mereka menulis, untuk kemudian dimuat dalam surat kabar Daulat Rakyat sepulangnya dari Belanda.


Dwitunggal Bersatu Demi Bangsa

Hubungan dan pemikiran antara Sukarno-Hatta memang sering bertolak belakang. Namun, jurang perbedaan tersebut mereka kubur dalam-dalam, demi mengantar kemerdekaan bangsa Indonesia dalam ikrar Dwitunggal.

Satu dekade setelah kemerdekaan, persatuan tersebut kembali runtuh. Ketika sistem parlemen dibentuk, Hatta merasa sosok kepala negara hanyalah simbol belaka, dengan begitu perannya sebagai wakil presiden tidak dibutuhkan lagi.

Hatta pun menginginkan mundur dari jabatannya yang ia tuangkan dalam surat yang dikirimkan kepada Mr. Sartono selaku ketua DPR, 20 Juli 1956. Namun karena  tidak dibalas, ia kembali mengirimkan surat pada 23 November 1956. Hatta menegaskan bahwa ia akan benar-benar mundur pada 1 Desember 1956. DPR kali ini tak kuasa menolak. Maka, dalam sidang pada 30 November 1956, parlemen memberikan persetujuan atas pengunduran dirinya.

Ternyata bukan karena persoalan parlementer saja yang membuat Hatta merasa tak nyaman menjalankan pemerintahan bersama Soekarno. Ia  memang sudah tidak sepaham lagi dengan sang presiden dalam beberapa hal yang prinsipil terkait pembangunan negara. Situasi tersebut mencapai puncaknya tahun 1956 ketika Soekarno lewat soko guru Demokrasi terpimpin memasukkan unsur Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis).

Seperti dikutip Syamsuddin Haris dalam Demokrasi di Indonesia (1995),  Soekarno selaku presiden mencanangkan sistem Demokrasi Terpimpin, dan berseru : “Marilah sekarang kita kubur semua partai!”. Hatta tentu kecewa. Ia mengecam konsep Demokrasi Terpimpin ala Soekarno sebagai bentuk kediktatoran.

Pada 1959, antara lain atas desakan militer, Soekarno kembali mengeluarkan dekrit presiden untuk membubarkan parlemen yang sudah dibentuk empat tahun sebelumnya. Soekarno juga mengembalikan UUD 1945 - yang kala itu tak hanya sedianya diamandemen tapi bahkan diganti - ke tempatnya semula. Tahun itu menandai dimulainya era kediktatoran, yang belakangan seperti dilestarikan Jenderal Soeharto di era Orde Baru.


Kritik Jitu Bung Hatta

Beberapa tahun sebelum jatuhnya Bung Karno (1965), Hatta telah meramalkan sistem yang dilahirkan Sukarno lewat demokrasi terpimpinnya itu, kelak tidak lebih panjang dari umur Sukarno sendiri. Hal tersebut ia tuliskan dalam buku Demokrasi Kita (1960) yang dimuat dalam majalah Pandji Masjarakat pimpinan Buya Hamka. Di era tersebut buku ini merupakan bacaan terlarang sebagaimana ditulis Buya dalam pengantar buku tersebut tahun 1966.

‘’Panji Masyarakat dilarang terbit dan keluar, pula larangan membaca, menyiarkan, bahkan menyimpan buku itu. Satu pikiran brilian dari salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dilarang keras membaca, dan diancam hukuman barangsiapa yang menyimpannya.” Hamka pun dipenjara 2 tahun 4 bulan -- (27 Januari 1964-26 Mei 1966).


Pernikahan, Masa Tua, dan Akhir hayat

Setelah bersumpah tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka,  Hatta mempersunting Rahmi di sebuah villa di Megamendung, Bogor pada 18 November 1945. Ia menyerahkan maskawin berupa sebuah buku yang ia tulis sendiri berjudul Alam Pikiran Yunani.

Bung Hatta Menikah Sumber : kompas

Dari pernikahan tersebut ia dikaruniai tiga anak perempuan ; Mutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta dan Hallida Nurriah Hatta. Sebelum meninggal mereka tinggal di Jogjakarta.

Bung Hatta bersama anak Sumber : Kemdikbud

Jumat, 14 Maret 1980 pukul 18.56 WIB, Bung Hatta mengembuskan nafas terakhir di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 77 tahun. Almarhum dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, atas permintaanya yang ingin dikuburkan bersama rakyat. 

Bung Hatta memang telah pergi. Namun, ia tetap abadi, bukan hanya sebagai "Bapak Koperasi", sebuah citra sempit yang mengerdilkan keluasan pikirannya. Pemikiran-pemikirannya yang melintas batas menempatkan Bung Hatta seperti buku yang tak pernah tamat untuk dibaca.



Berita Terkait