Cek Kesehatan Gratis, Program Spontanitas yang Bisa Dibatalin Gegara Sepi Peminat, Emangnya Jual Tiket Konser Musik | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Cek Kesehatan Gratis, Program Spontanitas yang Bisa Dibatalin Gegara Sepi Peminat, Emangnya Jual Tiket Konser Musik

Ceknricek.com--Sebagai kepanjangan tangan negara, tugas pokok kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah merealisasikan pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 yaitu “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin…….serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selanjutnya, pada pasal 34 ayat 3 dinyatakan “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Sebagaimana tugas Kemendikbud-Ristek untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan, tugas kemenkes ini merupakan kewajiban konstitusi dan sekaligus hak dari rakyat yang harus dipenuhi atas biaya negara.

Kemenkes bukanlah satu-satunya pihak yang merasa paling tahu urusan Kesehatan Rakyat, oleh karena itu diperlukan kolaborasi, alias duduk bersama dengan seuma pihak terkait sebagai stakeholder dalam urusan kesehatan. Ada Kementerian Dalam Negeri, ada Pemda, dan banyak Organisasi Profesi Tenaga Kesehatan (Nakes) dan Tenaga Medis (Named), yang semuanya punya peran penting masing-masing yang tidak bisa dinegasikan begitu saja.

Sebagaimana kita ketahui secara luas, ada sebuah program yang digaungkan langsung oleh menkes di awal tahun ini, yaitu Cek Kesehatan Gratis (CKG) bagi seluruh warga masyarakat Indonesia yang berulang tahun. Bahkan dijelaskan lebih lanjut program ini terdiri atas beberapa paket yang berbeda mengikuti siklus kehidupan, ada paket Bayi Baru Lahir, paket Balita, paket Remaja, Dewasa, sampai Lansia. Masyarakat yang berulang tahun didorong untuk mendaftarkan melalui Aplikasi Satu Sehat. Sebagai sebuah program Pencitraan, tentu harus dimulai secara Gegap Gempita, dan tepuk-tangan yang riuh dari para buzzer.

Soal keberlanjutan dari program ini jangan dipertanyakan, yang penting teriak duluan, toh di negeri Konoha ini semua tergantung pada penguasa, soal manfaatnya bagi rakyat banyak jangan tanya sekarang. Program Check-Up untuk yang berulang tahun, artinya setiap tahun ada lebih dari 270 juta penduduk yang punya hak. Tidak terbayangkan bila program ini berjalan, karena setiap hari akan ada lebih dari 1 juta orang yang berulang tahun.

Sebagai sebuah  program yang melibatkan banyak pihak termasuk Faskes Primer, dan beban kerja tambahan bagi nakes di Puskesmas, dan tentunya terkait anggaran yang tidak sedikit, apakah pernah ada debat publik tentang program ini, setidaknya dengan Profesi Nakes dan Named ? Jawabnya tegas dan jelas (Loud and Clear) Tidak Pernah, karena menkes tidak memerlukan Kolaborasi dengan pihak lain. Menkes dan para pejabat kemenkes menganggap dirinya Super Body yang menguasai dan mengatur segala urusan tata kelola Nakes dan Named bak karyawan BUMN kesehatan.

Sebagai Pejabat Publik, menkes Boleh Bodoh, tapi Tidak Boleh Bohong

Urusan distribusi Nakes dan Named yang amburadul adalah contoh nyata dari tidak adanya kolaborasi yang setara antara menkes, Organisasi Profesi, dan Pemda. Di satu sisi kehadiran Nakes dan Named dibutuhkan untuk mengisi Faskes di daerah pedalaman dan daerah terpencil, tapi di saat yang sama terjadi pengabaian atas hak-hak kemanusiaan para Nakes dan Named tersebut di berbagai daerah. Padahal yang diinginkan para Nakes tersebut adalah kenaikan gaji agar setara upah Minimum Kabupaten, atau Tambahan penghasilan Pegawai (TPP) yang tidak dibayarkan selama berbulan-bulan, atau yang tidak sesuai dengan Pergub.

Yang paling menyedihkan bukan abainya negara terhadap hak-hak kemanusiaan Nakes dan Named tersebut, melainkan komentar dari menkes lewat jubir nya: “Ini merupakan kewenangan daerah terkait pengangkatan nakes karena tergantung kebutuhan, prioritas, dan ketersediaan anggaran,“ demikian kata kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7289630/ratusan-nakes-di-ntt-dipecat-usai-demo-kemenkes-buka-suara).

Dengan otonomi daerah, Kesehatan termasuk bidang yang diotonomikan, tapi faktanya menkes tidak pernah sekalipun melibatkan Pemda dan bahkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam penyusunan, pembahasan, bahkan sampai pengesahan UU 17/2023 (kesaksian dari Melki Laka Lena, wakil Ketua Komisi IX, dalam sidang Uji Formil UU 17/2023 di Mahkamah Konstitusi, 11/1/2024).

Dalam forum Meridian, Forum Alumni FKKMK UGM Desember ’22, dihadapan para akademisi dan pejabat teras UGM (https://youtube.com/watch?v=NFc--9dgWQ0&feature=share), menkes berjanji akan bisa memaksa pemda (dengan mengunci DAU) untuk menggaji dokter spesialis setidaknya 25 juta/ bulan, bahkan sampai 50 juta/ bulan untuk daerah terpencil. Ucapan seorang pejabat publik di depan para Akademisi ini adalah sebuah janji. Artinya, menkes harus bertanggung-jawab terkait nasib, kesejahteraan, dan jenjang karir Dokter dan Nakes di daerah. Dan pernyataan dari Kabiro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes tersebut di atas merupakan bukti bahwa pernyataan menkes di hadapan para Akademisi dan Pejabat Teras UGM pada Forum Meridian tersebut di atas adalah sebuah Kebohongan Publik.

Pemeriksaan Kesehatan Gratis, Program Spontanitas berbasis Trial and Error, Tidak Berbasis Kebutuhan dan Urgensi Pencegahan Penyakit

Baru saja berjalan kurang dari 2 bulan, tiba-tiba sang Juragan buat pernyataan (Kompas.com 6 Maret 2025): “Kalau ternyata memang peminatnya nggak banyak ya sudah, jadi kita enggak perlu kasih anggaran. Kalau misalnya ternyata minatnya banyak, saya yakin pasti Menteri keuangan akan kasih kok” ( https://www.instagram.com/p/DG2Oig2PjuO/?igsh=ZTNpazZIOWN-od3B1).  Jadi persis seperti buat rencana konser musik yang kemudian dibatalin gegara sepi peminat. Sekali lagi, ini adalah soal tugas konstitusi kemenkes mengelola kesehatan rakyat yang harus berbasis kebutuhan dan urgensi pencegahan penyakit. Pernyataan menkes adalah bukti tidak adanya kebijakan yang proaktif berlandaskan perencanaan yang matang. Yang dipamerkan oleh sang Juragan adalah sebuah kebijakan kesehatan yang reaktif dan spontanitas, bak program promo yang tergantung pada jumlah peminat. Betapa berbahayanya bagi masa depan kesehatan rakyat banyak, yang saat ini keadaannya tidak baik-baik saja, bila kemenkes dibiarkan terus dikelola pejabat dengan model kebijakan kesehatan berbasis Trial and Error seperti itu.

Bahkan sebuah UMKM-pun akan melakukan Studi Pasar secara obyektif lebih dahulu sebelum mulai memproduksi barang yang akan dipasarkan. Jangan-jangan semua program lain seperti bagi-bagi 10.000 unit USG yang sudah selesai, dan Pengadaan 419 Unit Cath Lab dengan nilai lebih dari 30 T, dari Total 60T pinjaman dari Bank Dunia yang sedang berjalan juga merupakan program spontanitas, tanpa studi yang mendalam terkait demand masyarakat, dan kesiapan infrastruktur dan SDM yang dibutuhkan, sehingga berpotensi untuk mangkrak dan jelas akan merugikan keuangan negara. 

Beberapa hari sebelumnya, tanggal 4/3/2025, ada pernyataan dari Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Siti Nadia Tarmizi, bahwa mulai 1 Maret 2025, program Cek kesehatan Gratis (CKG) tidak lagi terbatas pada hari ulang tahun, dapat dilakukan kapan saja satu kali setahun. Masyarakat bahkan dapat langsung datang ke Faskes tanpa perlu mendaftar di aplikasi satu sehat (https://www.instagram.com/p/DG1yD7fSfES/?igsh=d2dmb3Rxemtjdz-Z3).

Sudah bisa diduga bahwa dalam pelaksanaannya program CKG ini pasti akan mengalami banyak kendala, perubahan, dan penyesuaian sebagaimana pernyataan menkes di Kompas.com tersebut di atas. Karena memang program CKG ini tidak dibuat berbasis kebutuhan dan urgensi pencegahan penyakit, melainkan sebuah program spontanitas demi pencitraan semata. Terlalu banyak masalah kesehatan masyarakat yang lebih dibutuhkan dan perlu diprioritaskan terlebih dahulu daripada CKG yang menyasar orang sehat (setidaknya orang yang merasa sehat) ini.

Ribuan orang sakit peserta BPJS yang menunggu antrian rawat inap di RS Kemenkes, bahkan sebagian telah mengantri lebih dari setahun jelas harus lebih dulu diselesaikan. Mereka terpaksa rela mengantri panggilan rawat inap sehingga penyakitnya semakin berat (tumor yang semakin menyebar ke organ lain, batu ginjal yang makin menimbulkan kerusakan ginjal, pasien nyeri pinggang yang tidak tertahankan sehingga timbul keinginan bunuh diri) karena miskin dan tidak punya akses ke pelayanan kesehatan berbayar di RS Swasta. Jadi tampak jelas adanya ketidaksetaraan alias kesenjangan akses layanan kesehatan preventif (mencegah cacat dan kematian), Kuratif, dan Rehabilitatif (Kualitas Hidup yang lebih baik) di RS kemenkes.  Membiarkan persoalan ini terus berlarut, apalagi dengan program komersialisasi RS Kemenkes yang terjadi akhir-akhir ini, adalah sebuah Kejahatan Kemanusiaan dan Pelanggaran Konstitusi.

Anggapan bahwa CKG ini adalah Program Pencitraan, semakin terungkap dengan kehadiran menkes di CNN pada acara Big Idea Forum pada Jumat Petang 21/3/2025, dengan didampingi oleh seorang mantan dokter yang tidak lagi berprofesi sebagai dokter. Disitu terpampang secara kasat mata betapa sang Juragan ini Anti-Kolaborasi dengan IDI, sebuah organisasi profesi yang menghimpun lebih dari 200 ribu dokter dan ratusan Guru Besar Bidang Ilmu, termasuk Bidang Kesehatan Masyarakat (dalam 2 tahun terakhir ini, terlalu banyak narasi ‘negative dan prejudice‘ menkes terkait dokter dan ilmu kedokteran).

Yang amat disayangkan dan bisa jadi kontroversi adalah hadirnya menkes  dalam ‘sosialisasi’ sebuah Program Kesehatan Nasional yang seharusnya berbasis Sains dan Evidence Based Medicine (EBM), tetapi secara amat mencolok disponsori oleh distributor/promosi sebuah alat kesehatan/ pengobatan yang cenderung tampil berbasis testimoni (Testimoni Based Medicine), bukan berbasis Sains/ EBM. Hal ini bisa disamakan apabila menkes tampil dalam sebuah acara sosialisasi Hidup Sehat atau Pencegahan Kanker, tapi disponsori oleh Pabrik Rokok.

Kehadiran pejabat publik setingkat menteri sudah pasti bisa berdampak positif (dianggap mendukung) terkait promosi produk alat kesehatan yang diiklankan. Dengan relasi kuasa yang dimiliki sebagai menteri, mestinya hal ini bisa dicegah, dihindari, bahkan ditolak. Bagi publik, ini adalah contoh buruk dari seorang pejabat publik bidang kesehatan yang membiarkan diri dan jabatannya dimanfaatkan untuk promosi alat kesehatan yang berbasis sains dan EBM nya diragukan.

Ada praduga, karena bukan seorang dokter, sang pejabat tidak tahu beda antara Evidence Based Medicine dengan Testimony Based Medicine, atau antara Sains dengan Pseudosains. Disadari maupun tidak disadari, terkait soal sponsor acara tersebut, bagi seorang pejabat publik setingkat menteri, apa yang terjadi pada acara CNN Big Idea Forum tersebut adalah sebuah KEBODOHAN.

#Zainal Muttaqin, Pengamat Kebijakan Kesehatan, Guru Besar Universitas Diponegoro

 


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait