Ceknricek.com--Ia berdiri diam di ambang pintu restoran tempat ia mengabdi selama lebih dari sepuluh tahun.
Seragam putih-merah itu masih melekat di tubuhnya, tapi statusnya telah dicopot dari sistem. Tak ada apel pagi. Tak ada cek suhu. Tak ada rekan yang menyapa lewat headset kecil sambil menyiapkan ayam goreng hangat.
Hari itu, yang datang justru sepucuk surat dan satu kalimat tak terbantahkan:
“Maaf, kami harus melepasmu.”
Namanya Rini. Ia bukan manajer, bukan petinggi perusahaan. Ia hanya seorang ibu dari dua anak, kasir yang selalu melipat kantong kertas dengan hati-hati, yang mengenali pelanggan tetap hanya dari suara mereka.
Sehari sebelum ia di-PHK, ia masih menyapa seorang anak kecil yang menangis karena es krimnya jatuh ke lantai.
Ia menggantikan es krim itu dari gajinya sendiri. Menurutnya, anak-anak harus selalu pulang dengan senyuman.
Hari ini, ia berjalan keluar gerai dengan mata merah dan langkah perlahan. Ia pulang membawa dua seragam, satu sertifikat, dan selembar kertas yang tak akan pernah dibingkainya.
Kisah Rini mewakili 2.274 karyawan KFC Indonesia yang harus meninggalkan pekerjaannya. Bukan karena mereka tak bekerja dengan hati, tapi karena sistem bisnis yang tak lagi mendengar bisikan zaman. (1)
-000-
KFC Indonesia mencatat kerugian bersih Rp 796,7 miliar pada tahun 2024. Sebuah pinjaman Rp 875 miliar dari Bank Mandiri pun diajukan. Itu bukan untuk berkembang, melainkan untuk bertahan.
Tapi yang mereka butuhkan bukan hanya talangan dana. Yang lebih genting justru pemahaman bahwa dunia telah berubah.
Ini zaman orang membeli makanan bukan hanya karena rasa, tetapi karena makna. Di era ini, pelanggan mencari bukan sekadar produk, tapi pesan.
Bukan hanya harga, tapi hubungan. Bukan sekadar promosi, tapi posisi eksistensial: di manakah aku sebagai manusia dalam transaksi ini?
Itulah yang disebut meaning economy, atau ekonomi makna. Beberapa ahli menyebutnya dengan The Purpose Economy. (2)
Istilah ini diperkenalkan dan dipopulerkan oleh pemikir dan pelaku industri global seperti Jeremy Heimans, Aaron Hurst. Dan belakangan oleh akademisi seperti John Hagel.
Mereka menyadari bahwa manusia abad ke-21 semakin jenuh dengan konsumsi kosong. Mereka ingin membeli sesuatu yang membuat mereka merasa hidup, merasa punya arti, merasa dilihat.
-000-
Meaning economy lahir dari kelesuan batin di tengah limpahan barang dan layanan. Ia menjawab satu pertanyaan penting: mengapa aku memilih produk ini, dan siapa aku dalam pilihan itu?
Sayangnya, KFC Indonesia gagal membaca arah angin baru ini. Mereka terus menyajikan ayam krispi dengan bangga, tapi lupa bahwa pelanggan tak lagi lapar semata.
Yang dicari kini adalah rasa yang menyentuh, bukan hanya lidah, tapi juga hati.
Sementara restoran lokal menawarkan sambal dengan cerita ibu mereka, KFC tetap hadir dengan saus sachet impor.
Sementara warung kecil menyapa pelanggan dengan nama, KFC masih bergantung pada layar digital tanpa ekspresi.
Di dunia lain, mereka menyesuaikan diri. Di Tiongkok, KFC menjual bubur dan egg tart karena memahami kultur sarapan.
Di India, mereka hadir tanpa daging untuk menghormati spiritualitas. Tapi di Indonesia? Dari Balikpapan hingga Tegal, rasa yang ditawarkan tetap satu: krispi.
Padahal, selera manusia bukan hanya soal rasa lidah. Ia bergerak bersama memori, konteks, dan nilai hidup yang sedang bergeser.
Kegagalan ini bukan tentang kualitas makanan. Bukan tentang kompetitor. Tapi tentang makna yang hilang dari setiap sajian.
KFC berdiri tegak seperti menara. Tapi menara yang tak merunduk mendengar denyut zaman, lambat laun akan runtuh diterpa angin pelan—bukan badai.
-000-
Konsumen kini memilih bukan hanya karena lapar, tapi karena ingin merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar, lebih lembut, lebih bermakna.
Ayam goreng yang dulu menjadi hadiah ulang tahun kini terasa hambar, bukan karena bumbunya berubah, tapi karena emosinya hilang.
Kita memasuki masa ketika waralaba besar bisa dikalahkan oleh kios kecil, karena yang kecil tahu bagaimana mendekap pelanggan.
Mereka menawarkan bukan sekadar produk, tapi alasan untuk percaya, dan alasan untuk kembali.
Rini, yang di-PHK itu, kini membuka usaha kecil bernama Ayam Bahagia. Ia tak punya modal besar. Tapi ia punya waktu untuk mendengar.
Ia tak punya aplikasi, tapi ia tahu nama anak pelanggan dan apa sambal favorit mereka.
Dan mungkin, dari gerai kecil itulah, meaning economy benar-benar hidup.
Bukan sebagai teori, tapi sebagai praktik harian: satu senyum, satu nasi hangat, satu dialog ringan yang membuat makan siang terasa bukan sekadar isi perut, tapi peristiwa batin.
-000-
Jika KFC ingin kembali hidup di Indonesia, ia harus belajar bukan hanya dari buku akuntansi. Ia harus membaca zaman, mendengar bisik konsumen, dan mengubah cara ia hadir.
Ia harus menjawab ulang pertanyaan paling mendasar:
“Apa arti kehadiran kami bagi Anda?”
Karena di akhir zaman, rasa yang bertahan bukan rasa krispi.
Tapi rasa yang menyentuh hati.
Dan dalam era meaning economy, hanya rasa itulah yang tak bisa dikopi oleh algoritma mana pun.*
Jakarta, 29 Juni 2025
Referensi:
1.PHK Massal di KFC Indonesia: Dampak Rugi KFC Indonesia, 47 Gerai Tutup dan 2.274 Karyawan Kena PHK Sepanjang 2024 | tempo.co
2.Era Meaning Economy dalam Inovasi Bisnis :“The Rise of the Meaning Economy”. Beberapa ahli menyebutnya The Purpose Economy. Welcome To The Purpose Economy - Fast Company
Editor: Ariful Hakim