Dapat Kiriman Burasa Dari Said Didu | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Dapat Kiriman Burasa Dari Said Didu

Ceknricek.com -- Wartawati senior, Dian Islamiati Fatwa, kembali terinfeksi Covid-19. Bagaimana ceritanya? Berikut penuturan Dian, yang ditulisnya sendiri di laman sosial medianya:

Berita yang saya tunggu-tunggu, hasil swab hari ini saya negatif!

Pweh, akhirnya, perjuangan lahir-batin mengalahkan tirai hitam bayang-bayang kekalahan covid terbayar sudah.

Tidak mudah. Terasa berat sekali mengalahkan keganasan si kupret ini. Perlahan pasti, terasa virus menggerogoti tubuh, tiba-tiba tumbang. Saya tidak ingat lagi apa yang saya lalui ketika nafas sudah tersengal. Pokoke rasene ambyar.

Tapi saya merasa ada kekuatan luar biasa muncul di tubuh saya yang ringkih. Doa dan cinta yang mengalir terus tanpa putus seperti oksigen cinta membuka lebar paru-paru bernafas. Cinta dan doa itu a real honest love, unconditionally!

Terima-kasih kawan.

Di ruang HCU ini saya seperti tidak ingat hari. Kemarin terbangun karena bang Said Didu menelpon mengabarkan kiriman Burasa dan Barongko sedang otw. Rupanya sudah beberapa kali miss called, tapi kantuk luar biasa pengaruh obat, susah kali saya melek.

Begitu mendengar suara bang Said Didu dan kata-kata 'Burasa' dan 'Barongko', mata saya langsung melek. Otak saya tiba-tiba langsung aktif memerintahkan semua organ tubuh agar bisa makan Burasa.

Aih nikmat kali malam itu saya makan Burasa dan Barongko. Daeng Didu memang seng ada lawan, Burasanya gurihnya merasuk di ujung tulang!
Dimasak sendiri oleh Daeng Didu khusus untuk saya dengan rasa sayang dan doa.

Sumber: Istimewa

Saya tertidur dengan lontong Burasa masih di tangan. Mata saya ternyata kalah lelah dengan kekuatan Burasa.

Pagi-pagi Dokter Jason, dokter jaga, menyapa saya.

'Selamat lebaran bu, tetap semangat walaupun lebaran di HCU, segera pulih ya,' ujarnya menyemangati.

Ya allah ternyata sudah lebaran. Ceess, adem banget dengernya ada yang ngucapin lebaran di HCU.

Menandai lebaran, setelah mandi saya kembali menikmati Burasa dan Barongko. Semua makanan kiriman saya gelar di meja, menciptakan suasana lebaran sendiri. Mencoba menghibur diri.

Suara Opung tiba-tiba mengglegar. Ia menyanyi lagu 'Maju Tak Gentar'. Jadwal dia latihan berjalan. Suara semakin keras mendekat. Ia menghampiri saya.

'Ibu Dian, ibu Dian terima-kasih, terima-kasih, terima-kasih,' terbata-bata dia bicara.

Very sweet!

Sebagai orang berkebutuhan khusus, Opung mengalami kesulitan berkomunikasi verbal. Namun tak menghalanginya mengucapkan terima-kasih.

Selama ini memang Opung tidak pernah melihat saya, terhalang oleh tirai. Tadi dia familiar dengan suara saya dari seberang tempat tidur HCU dan selalu mengangguk-angguk ketika saya mengirim makanan. Rupanya Opung mengingatnya.

'Terima-kasih,' kembali ia terbata-bata mengucapkan di depan bed sambil tertawa gembira.

Mata saya berkaca.

Opung, thank you for being you!

Ini adalah hadiah lebaran terindah dalam hidup saya.

Memang tiga hari ini saya mendem. Lelah, lelah sekali. Menurut suster saya tidur lelap lama, sesekali lihat hape, lalu terlihat tertidur lagi.

Seperti terserang tornado, badan ini remuk rasanya, tulang berkeping-keping ambyar.

Saya pernah tidak bisa berjalan selama tiga bulan ketika menjalani perawatan cancer that gave me a lot of grief. Tapi yang ini unbearable!

Badan sudah mulai bengkak-bengkak karena side effect dari steroid Dexametaxon.

Muka jadi bulat seperti kue martabak manis, bunder ser!

Baju yang saya kenakan, entah sudah terbuka kemana-mana. Saya tak peduli.

Setelah selang oksigen dilepas, saya mulai belajar berjalan. Kemarin hanya dua langkah, sekarang sudah 5 langkah. Tapi kok rasa bumi berputar je. Langsung pening.

Tampaknya tubuh masih mogok, belum bisa diajak jalan-jalan.

Ah teringat dulu ketika menjadi turis backpakers di Costarica. Saya berlari-lari mengejar bus untuk bisa melihat laut Atlantik dan Pasifik dalam satu hari.

Sarapan melihat melihat mentari pagi di laut Atlantik dan berlari mengejar sunset di ujung bagian negara Costarica lain melihat Laut Pacific.

Tubuh itu rasanya ringan sekali waktu itu ketika mengejar bus tertinggal. Dan sekarang saya harus berjuang hanya untuk bisa berjalan lima langkah.

Sehat itu mahal kawan. Syukuri nikmat Tuhan. Pandemi sedang mengganas, lindungi diri dan keluarga.

Jujur pandemi menyisakan ketakutan yang cukup dalam baik bagi banyak individu dan masyarakat. Kapan berakhir? Tak ada yang punya jawaban.

Ketika kekhawatiran, ketakutan dan ketidakpastian menggelayut dalam masyarakat, paling gampang mencari kambing hitam. Duh kasihan banget si kambing, dosa apa dia selalu jadi kambing hitam.

Masih ingat keturunan Asia yang jadi korban perundungan di Australia dan di Amerika? Ada kemarahan dan hostility menganggap keturunan Asia adalah biang kerok pandemi Covid.

Lha dosa apa pula bermuka Asia? Kitapun tidak bisa bernegosiasi dengan Tuhan sebelum lahir untuk bermuka yang kita inginkan.

Akankah umat manusia terbelah ketika dunia justru semakin terhubung and too integrated?

Jelas kasus perundungan 'muka Asia' menjadi ujian to our values and humanity.

Saya tetap percaya pandemi covid 19 dapat menyatukan kita dalam kemanusian.

Hanya dengan catatan setiap dari kita menghargai martabat setiap individu dan keragamanan jenis manusia berbangsa walaupun 'bermuka Asia'.

Sambil memandang Burasa yang tinggal sepotong, teringat pesan orang-tua di kampung Bone, think globally and act locally.

Setinggi apapun sekolahmu, pulanglah ikat Buras!



Berita Terkait