Oleh Redaksi Ceknricek.com
10/25/2019, 10:27 WIB
Ceknricek.com -- Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Watim MUI) Din Syamsuddin mengatakan terdapat persoalan historis yang terabaikan dalam penunjukkan Menteri Agama (Menag) serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Mengutip hasil rapat pleno Watim MUI ke-44 sebagaimana siaran pers yang diterima redaksi, Jumat (25/10), Din menambahkan sejarah posisi Menag erat terkait dengan kompromi politik di awal kemerdekaan untuk akomodasi aspirasi golongan Islam. Kementerian Agama (Kemenag) juga berperan sentral untuk memfungsikan agama sebagai faktor pendorong pembangunan bangsa.
Sedangkan Kemendikbud terikat erat dengan amanat konstitusi "mencerdaskan kehidupan bangsa" yang berhubungan dengan pembentukan watak bangsa.
Sumber: Kompas
Setidaknya ada 7 poin yang mengemuka dari Rapat Pleno Watim MUI ke-44. Berikut pernyataan lengkapnya.
Bismillahirrahmanirrahim
Sehubungan dengan pro-kontra terhadap Kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin disampaikan pikiran-pikiran (dari Rapat Pleno Dewan Pertimbangan MUI Ke-44, 23 Oktober 2019) sebagai berikut:
1. Rakyat harus memahami bahwa pengangkatan menteri adalah hak prerogatif Presiden, namun Presiden juga harus memahami bahwa rakyat memiliki hak untuk menilai karena merekalahstake holdersriil dari bangsa dan negara, serta pemegang kedaulatan sejati.
2. Penilaian terhadap kabinet tentu sebaiknya tidak diarahkan kepada pribadi seseorang menteri, tapi pada proses, dan faktor-faktor kenegarawanan yang seyogyanya dipertimbangkan oleh pemilik hak prerogatif.
3. Di antara faktor-faktor kenegarawan tersebut adalah pertimbangan kesesuaian penempatan seseorang (the right person in the right place), derajat akomodasi kemajemukan bangsa atas dasar agama dan etnik, akomodasi kekuatan aspiran riil dalam masyarakat seperti organisasi masyarakat madani yang punya peran kebangsaan, dan tentu arah kebijakan sesuai dengan visi strategis bangsa dalam konstitusi.
Dalam kaitan ini, memang dapat ditengarai rendahnya derajat kenegarawanan, lebih mengedepankan rasa superior/ketakabburan, pendekatan “keluar kotak” semu, dan cenderung jalan sendiri (kurang akomodatif terhadap elemen pendukung dan pendamping).
Baca Juga: Dua Menko Kader NU dan Muhammadiyah
4. Terkait dengan itu, ada persoalan historis dan psikologis yang diabaikan yakni penempatan menteri pada kementerian yang memiliki dimensi historis kuat seperti bidang agama dan pendidikan.
Kementerian pertama (agama--red) erat terkait dengan kompromi politik di awal kemerdekaan untuk akomodasi aspirasi golongan Islam dan berperan sentral untuk memfungsikan agama sebagai faktor pendorong pembangunan bangsa, sedangkan kementerian kedua (pendidikan dan kebudayaan--red) terikat erat dengan amanat konstitusi “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang berhubungan dengan pembentukan watak bangsa (nation and character building).
Sumber: Istimewa
Agaknya, keputusan yang ada bersifat ahistoris dan asosiologis.
5. Di atas semua itu, orientasi pemerintahan lima tahun ke depan seperti dapat dipahami dari arahan Presiden kepada para menteri, patut dicermati. Penekanan pada pembangunan infrastruktur lfisik dari pada non fisik adalah berbahaya dan akan menimbulkan ketimpangan budaya (bandingkan dengan slogan Order Baru “pembangunan manusia Indonesia seutuhnya). Pengabaian pentingnya pembangunan moralitas atau akhlak akan menciptakan generasi yang tidak bermoral (bandingkan dengan wawasan Presiden Habibie “integrasi Imtak dan Iptek”).
6. Secara khusus, arahan Presiden kepada Menteri Agama untuk mengatasi radikalisme adalah sangat tendensius. Radikalisme, yang memang harus kita tolak terutama pada bentuk tindakan nyata ingin memotong akar (radix) dari NKRI yang berdasarkan Pancasila. Di sini, Presiden dan pemerintah tidak bersikap adil dan bijaksana. Radikalisme, yang ingin mengubah akar kehidupan kebangsaan (Pancasila) tidak hanya bermotif keagamaan, tapi juga bersifat politik dan ekonomi. Sistem dan praktek politik yang ada nyata bertentangan dengan Sila Keempat Pancasila, begitu pula sistem dan praktek ekonomi nasional dewasa ini jelas menyimpang dari Sila Kelima Pancasila.
Mengapa itu tidak dipandang sebagai bentuk radikalisme nyata (yang tidak lagi bersifat pikiran tapi sudah perbuataan menyimpang) terhadap Pancasila. Bahkan ada sikap dan tindakan radikal terhadap Negara Pancasila seperti komunisme (yang pernah dua kali memberontak) atau separatisme yang ingin memisahkan diri dari NKRI tapi tidak dipandang sebagai musuh Negara Pancasila.
Hidayatullah. Sumber: Istimewa
Jika Presiden dan Pemerintah hanya mengarahkan tuduhan dan tindakan anti radikalisme terhadap kalangan Islam, maka itu tidak akan berhasil dan hanya akan mengembangkan radikalisme yang bermotif keagamaan. Umat Islam yang sejatinya tidak radikal bahkan berwawasan moderat sekalipun akan tergerak membela mereka yang dianggap radikal jika diperlakukan tidak adil. Kebijakan dan tindakan anti radikalisme demikian akan gagal dan akan dilawan karena dianggap sebagai bentuk radikalisme itu sendiri dan diyakini sebagai bentuk ketidakadilan atau kezaliman.
7. Walaupun demikian, sebagai warga negara yang baik, sebaiknya kita semua memberi kesempatan kepada Pemerintah Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin untuk bekerja mengemban amanat dan merealisasikan janji-janjinya. Sebagai rakyat yang baik pula, kita berhak dan berkewajiban untuk mengingatkan bahwa kekuasaan itu amanat dan amanat itu akan dimintai pertanggungjawaban.
Wallahul musta’an.
BACA JUGA: Cek AKTIVITAS PRESIDEN, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Farid R Iskandar