Ceknricek.com - YANG dicapai baru kesepakatan.Tapi rencana divestasi sekitar 40 % saham Freeport McMoran di PT Freeport Indonesia (FI) detik itu juga sudah disongsong berbagai komentar sumbang. Berbanding terbalik dengan kesan heroik seperti yang dimaui para pembantu presiden yang menangani urusan itu. “ Freeport berhasil direbut kembali” kira-kira begitu jargonnya.
“Hari ini kita mencapai suatu langkah maju dan strategis. Penandatangan Pokok-Pokok Kesepakatan Divestasi Saham PT Freeport Indonesia. Antara PT Inalum dengan McMoran Inc,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani usai menyaksikan Dirut PT Inalum Budi Gunadi Sadikin dan CEO Freeport McMoran Richard Adkerson menandatangani HoA (head of agreement) divestasi saham Freeport McMoran di PT Freeport Indonesia (PT FI) Kamis (12/7/18) di Kementerian Keuangan, Jakarta.
57 T rupiah
Angka dan besaran dana diseputar jual-beli saham korporasi tambang emas itu memang bikin mata terbelalak. Dana yang diperlukan untuk bisa menjadi pemegang saham mayoritas itu sekitar USD 3,85 milyar atau berkisar Rp 57 triliun.
Jika jadi direalisasikan nanti—lewat PT Inalum (Persero Indonesia Asahan Aluminium) —pemerintah RI akan menjadi pemegang saham mayoritas (51%) di PT Freeport Indonesia.
Sebelumnya pemerintah Indonesia cuma memiliki 9,36% saham di PT FI.
Ketika Menkeu memaparkan telah ditandatanganinya HoA dia didampini koleganya: Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri ESDM Ignatius Jonan dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Wajah mereka cerah ketika bertatap muka dengan para awak media. Bisa jadi, itu pertanda kelegaan mereka. Atas tercapainya kesepakatan yang kelak bakal mengubah pola kerjasama bisnis dengan perusahaan besar Amerika itu.
Salah satu yang berubah selain saham adalah kontrak FI. Tidak lagi Kontrak Karya (KK). Tapi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). “Perubahan itu menyebabkan, penerimaan negara nanti secara total harus lebih besar daripada penerimaan dengan KK,” tambah Sri Mulyani.
Kesan optimistik dan puas atas dicapainya kesepakatan tersebut memantul dari wajah para menteri yang hadir di acara penandatangan HOA itu. Selain para menteri, Presiden Jokowi juga termasuk yang paling gembira atas hasil kesepakatan itu “Saya sudah mendapat laporan dicapainya kesepakatan itu. Saham kita bisa ditingkatkan menjadi 51%. Dari sebelumnya hanya 9,36 %. Alhamdulilah,” katanya kepada wartawan di ICE BSD City, Tangerang Selatan.
Jokowi menambahkan kesepakatan itu tidak dicapai dengan mudah. Sebab, Freeport, katanya, sudah 50 tahun mengelola tambang dan menguasai mayoritas saham.
“Tiga setengah tahun kita usahakan. Sangat alot. Jangan dipikir mudah. Ini menyangkut negosiasi yang tidak mudah,” tukasnya, agak berbangga diri.
Ada nada puas dan bangga. Begitulah reaksi yang bermunculan di jagat media setelah berita penandatangan itu beredar. Para pendukung Presiden Jokowi tak putus berkomentar di pelbagai media sosial. Mengelu-elukan keberhasilan dengan pelbagai pujian bombastis, sindiran dan ledekan terhadap para pemimpin sebelumnya. Cuitan dan status di Facebook dengan gagah menyebut Freeport sudah direbut. “Hanya terjadi di era presiden yang katanya planga-plongo. Terima kasih, Pak Jokowi,” tulis pendukung Jokowi di sebuah grup WA.
Payung
Reaksi kegembiraan yang agak meluap-luap itu mendapat respon sebaliknya. “HoA itu perlu disambut baik. Namun tidak perlu dianggap sebagai kemenangan bagi Indonesia. Terlebih lagi sampai memunculkan eforia di masyarakat,” kata Prof DR Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI, Jakarta.
Sebab, katanya, dari perspektif hukum, HoA bukanlah perjanjian jual beli saham. Ia baru payung untuk perjanjian sehingga hanya mengatur hal-hal prinsip saja. “HoA akan ditindaklanjuti dengan sejumlah perjanjian,” kata Hikmahanto.
Ekonom PAN DR Drajat Wibowo juga menyayangkan respon pencitraan dan pembodohan yang dilakukan para pejabat setelah penandatangan HoA. “Apakah Freeport sudah direbut? Belum. Transaksi masih jauh dari tuntas,” katanya.
Dia lalu mengutip pernyataan pihak FCX dan Rio Tinto kepada media asing Bloomberg usai acara penekenan HoA. “Masih ada isu-isu besar yang belum disepakati. Belum ada kepastian bahwa transaksi akan tuntas,” ujar Drajad mengutip pendapat pihak FCX dan Rio Tinto.
Terlalu mahal
Apa masalah yang belum tuntas dan mengganjal? Dari dunia bisnis, Tito Sulistio mempertanyakan harga beli saham Rio Tinto. Dulu seingat dia harga 9,36% saham dibeli sekitar USD 400 juta. “Kalau harga 9,36 %, USD 400 juta, maka analogi 40 % itu maksimal USD 1,7 milyar,” katanya.
Ekonom Ichsanudin Nursy menghitung, jika merujuk harga 15 tahun lalu, harga saham Tinto hanya sekitar USD 2,18 milyar. “Ditambah bunga bank selama 15 tahun maka harga optimal saham itu adalah USD 2,996 milyar, “ katanya.
Drajad Wibowo mengatakan sudah lama Rio Tinto mematok harga jual saham partisipasinya USD 3,85 milyar. “Mereka tidak mau nego. Indonesia akhirnya menyerah, terima harga itu.” Plus USD 350 juta saham PT Indo Copper yang ada pada FCX.
Inalum yang harus mengeluarkan dana mencapai sekitar Rp 57 triliun dinilai terlalu berani. Apalagi, setelah itu akan ada investasi tambahan untuk memperkuat produksi. Misalnya, untuk tambang di bawah tanah. Diperkirakan perlu tambahan berkisar USD 10 milyar. Selain juga harus ikut membangun smelter, biayanya sekitar USD 1 milyar. Untuk bisa memenuhi pembelian saham, Inalum, menurut Dirut Budi Gunadi Sadikin masih harus meminjam uang dari bank. Belum disebut berapa tambahan utang itu.
Tapi, sebagai sebagai pemegang saham mayoritas, Inalum mestilah harus ikut mengupayakan tambahan dana investasi. “Harus tanggung jawab untuk fund raising,” kata seorang ekonom dan pengusaha.
Bagaimana kalkuasi keuntungannya? Ini juga pertanyaan penting. Laporan FI tahun 2017 mencantumkan laba konsolidasi meningkat tajam sekitar 128 % dibandingkan tahun sebelumnya. Berkisar USD 1,02 milyar. Jika dividen harus dibagi dua dengan FCX, maka bisa diperoleh dana sekitar USD 500 juta. Kalau tidak ada tambahan investasi, dan laba tetap bisa dipertahankan sebesar itu, maka dana pembelian saham Inalum
bisa dikembali sekitar delapan tahun. Tapi, seorang pengamat pertambangan mengatakan tak mungkin setelah adanya pemegang saham baru, FI beroperasi tanpa tambahan investasi baru.
Masih ada teka-teki prospek masuk ke FI buat Inalum. Bagaimana FCX? Hampir semua ekonom yang dihubungi ceknricek.com menilai justru korporasi Amerika sangat tertolong dan diuntungkan oleh kesepakatan baru itu. Pertama, mereka dapat cash USD 3,85 milyar. Bisa buat investasi baru. Di Grasberg atau di tempat lain. Kedua, kontrak pengoperasian tambang sudah dapat jaminan sampai 2041.
Ketiga, ada mitra baru untuk bangun smelter dan investasi baru. Keempat, tetap memegang kontrol dan kendali operasional perusahaan. Kelima, beban uang keamanan kepada sekitar 7.000 prajurit militer di sama nanti bisa lebih ringan setelah masuknya Inalum.
Apa boleh buat, dalam hitungan sementara, jika kerjasama baru berjalan nanti, FCX tampaknya lebih berprospek mendapat keuntungan lebih besar dan lebih cepat. Selain FCX, mitra baru Pemrov Papua dan Kabupaten Timika juga bakal mendapat dividen 10%.
Lumayan untuk mengobati hati setelah selama ini tambang emas terbesar di dunia itu tidak memberi apa-apa pada mereka.
Beroperasi di ujung timur negeri ini, FI tetap harus diakui sebagai pionir investasi asing di Indonesia. Dia juga tonggak bagi hubungan kerjasama pemerintah Indonesia-Amerika.
FI adalah korporasi patungan unit usaha swasta yang didukung pemerintah dengan Freeport McMoran Inc (FCX) dari Amerika. Hampir setengah abad, perusahaan pengolah hasil pertambangan biji emas, tembaga dan perak ini beroperasi ini di Papua. Sejak menggarap tambang tembaga di Irian Jaya tahun 1967, FI bergerak di dengan pola Kontrak Karya selama 30 tahun, dimulai dengan konsesi awal sekitar 11.000 hektare.
Lompatan besar usaha ini terjadi pada tahun 1988 ketika menemukan cadangan emas yang luar biasa besar di Grasberg, tak begitu jauh dari tambang sebelumnya di Eastberg. Sejak itu masa panen gemilang buat perusahaan besar Amerika itu.
Sebaliknya bagi masyarakat Papua yang semestinya kecipratan rezeki, tapi nyaris tak mendapat apa-apa.
Realitas itu bertahun-tahun memunculkan gerakan dan aksi protes-sosial dan politis mempersoalkan ketimpangan mencolok itu.
Suara atau tuntutan divestasi pun makin nyaring terdengar. Terutama setelah reformasi terjadi. Isu berkaitan dengan eksistensi PT FI bahkan sempat jadi isu yang dibicarakan. Antar pemerintah Indonesia dan pemerintah Amerika.
Di masa pemerintahan Presiden Jokowi, isu mengenai perpanjangan kontrak operasional FI lebih gencar mencuat. Itu gara-gara skandal Papa Minta Saham yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto. Mantan ketua umum Golkar itu pada sekitar November 2017 dilaporkan Menteri ESDM Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan karena dinilai melakukan pelanggaran etik serius. Setnov terekam dalam pembicaraan yang direkam Dirut FI Mar’oef Syamsudin seperti meminta kesediaan Manajemen FI agar memberikan saham kepada Presiden Jokowi dan pihak lain. Maro’ef waktu itu sedang mendapat tugas untuk mengikhtiarkan perpanjangan kontrak FI. Dalam kaitan untuk memperlancar perpanjangan kontrak FI itu, ia menemui beberapa pejabat Indonesia termasuk di antaranya Ketua DPR Setya Novanto. Gara-gara kasus itu Setnov dipaksa mundur sebagai ketua DPR.
Sejak itu pula sorotan atas eksistensi FI makin gencar. Banyak desakan agar pemerintah tidak lagi memperpanjang kontrak FI yang sudah diperpanjang Presiden SBY sampai 2041 di akhir masa tugasnya. Padahal kalau tidak, kontrak FI berakhir pada 2021. Memang, dalam butir setelah perpanjangan kontrak baru tadi ada diatur ketentuan renegosiasi berkaitan dengan divestasi saham sampai 30 %. Antara lain, untuk memenuhi aspirasi warga atau masyarakat Papua khususnya yang berada dekat dengan usaha pertambangan itu.
Rangkaian perundingan berlangsung selama setahun terakhir ini. Melibatkan pemerintah daerah Papua juga Badan Usaha Milik Negara. Para pihak itu akan dilibatkan untuk masuk sebagai pemegang saham FI dalam program divestasi saham perusahaan tambang raksasa itu.
Langkah untuk merealisasikan divestasi saham FI melalui tangan BUMN dilaksanakan Menteri BUMN Rini Soemarno. Yakni dengan membentuk dulu holding BUMN tambang. PT Inalum ditunjuk menjadi induknya. Lalu, tiga BUMN tambang: PT Bukit Asam, PT Aneka Tambang dan PT Timah bersama-sama bergabung ke dalam PT Inalum. Aset ketiga persero itu dialihkan menjadi milik PT Inalum. Akta pengalihan hak saham itu dilakukan 27 November 2017. Dengan penggabungan persero pertambangan itu aset PT Inalum meningkat menjadi sekitar Rp 83 triliun.
Setelah BUMN siap, awal tahun ini, menurut Menkeu Sri Mulyani dicapai pula kesepakatan antara pemerintah dengan pemerintah Provinsi Papua dan pemerintah Kabupaten Mimika yang secara bersama akan mendapat hak kepemilikan saham 10% di FI.
Begitulah, harus diakui, ada upaya serius memang untuk menangkap peluang divestasi saham FI. Bahkan rencana itu digodok cukup lama. Peluang makin terbuka ketika patner investasi FCX, Rio Tinto berminat melepas haknya sebagai pemilik 40% produk olahan FI hingga tahun 2021 dan 2012. Rio meminta harga USD 3,5 milyar untuk haknya itu yang disetarakan sama dengan 40% saham di FI. Inilah kemudian ditawarkan FCX kepada pemerintah Indonesia.
Tawaran itu sudah diterima. Kesepakatan pun sudah diteken. Sekilas secara politis langkah ini poin bagus buat Presiden Jokowi. Meski secara ekonomis, tetap masih banyak pertanyaan: apakah langkah itu akan menguntungkan. Atau sebaliknya. Gara-gara nafsu memburu pencitraan politik, jadi salah kalkulasi dan menimbulkan kerugian berkepanjangan.