Ceknricek.com -- Namanya dikenal lewat patung-patung megah di Kota Jakarta yang Sabtu (22/6) genap berusia 492 tahun. Patung-patung itu berdiri gagah tak goyah oleh "tamparan" waktu, semua karena tangan dingin Edhie Sunarso.

Edhi Sunarso (Foto : Tempo)
Edhi lahir di Salatiga, Jawa Tengah, 2 Juli 1932. Ia adalah pematung Indonesia. Edhi mulai belajar dan berlatih membuat patung ketika menjadi tawanan perang KNIL di Bandung antara 1946-1949. Karya yang dihasilkan Edhi Sunarso antara lain, patung "Monumen Selamat Datang" di Bundaran Hotel Indonesia dan "Diorama sejarah Monumen Nasional di Jakarta".
Masa Kecil
Pada masa kecilnya ia diberi nama Sunarso oleh keluarga Holan Atmojo seorang kepala Mantri Ukur Pertanahan Belanda yang mengangkatnya sebagai anak. Dengan jabatannya orang tua angkatnya itu, Soenarso berkesempatan mendapatkan pendidikan. Saat usianya enam tahun, ia masuk Vroobel School atau taman kanak-kanak di Gunungsari, Betawi (kini Gunung Sahari, Jakarta) tahun 1939.

(Sumber : Istimewa)
Kebahagiannya sebagai anak angkat pegawai kantor Belanda tidak berlangsung lama. Tragedi jatuhnya pesawat Belanda di Kemayoran membuat dia terpisah dari keluarganya. Pasalnya jatuhnya pesawat tersebut mengakibatkan kebakaran besar di Betawi. Sunarso yang pada waktu itu berada di sekolah diungsikan oleh Hadiwidjaja yang merupakan guru di Vanlith School.
Setelah beberapa waktu mengungsi, keluarga Holan tidak kunjung menemukan keberadaan Sunarso. Akhirnya, karena alasan keamanan, Sunarso dibawa mengungsi ke Cikampek oleh keluarga Hadiwidjaja. Baru satu minggu di Cikampek, Sunarso dibawa ke Pegaden Baru karena rencana kedatangan Dai Nippon. Di sanalah Sunarso mulai kembali bersekolah dan terus mencari tahu keberadaan orang tuanya. Sayangnya, hingga bertahun-tahun dia tidak kunjung juga bertemu dengan keluarganya.
Menjadi Pejuang Pro Republik
Kondisi ekonomi yang serba susah pada masa pendudukan Jepang membuat keluarga Hadiwidjaja dalam kesulitan. Kondisi semakin tidak menentu ketika Hadiwidjaja meninggal dan Sunarso hanya tinggal dengan istri Hadiwidjaja, Romlah. Namun di tengah kesulitan inilah, Sunarso berkenalan dengan sejumlah pejuang pro republik yang kerap singgah di rumah Hadiwidjaja.

Edhi Sunarso (Foto : Bekraf)
Pertemuannya dengan Komandan Soepriyatna berbuah tugas perjuangan untuk Sunarso. Dia ditugasi untuk mengantarkan surat ke pos-pos penjagaan pro republik dengan menyamar sebagai anak sekolah.
Tugas tersebut tidak terlalu sulit untuk dilakukan Sunarso. Dengan penampilannya sebagai anak sekolah, tentara Belanda tak mengira bahwa dia adalah kurir surat pro republik. Bahkan untuk memperlancar tugasnya, Sunarso kerap menumpang truk-truk Belanda untuk berkeliling ke desa-desa menyampaikan surat ke pos-pos pro republik. Suatu ketika terdengar kabar bahwa Komandan Soepriyatna meninggal di Pamanukan akibat granatnya sendiri. Secara tidak sengaja, ketika hendak mengambil sapu tangan di kantongnya, granat yang biasa dibawanya tersangkut sapu tangan, jatuh lalu meledak.
Namun kematian Soepriyatna ini dirahasiakan supaya pihak Belanda tidak mengetahuinya. Sebagai gantinya, Sunarso yang pada waktu itu masih berusia 14 tahun ditunjuk sebagai pengganti Soepriyatna. Bukan hanya menggantikan tugas, namun Sunarso juga diberi nama Soepriyatna supaya kematian Soepriyatna tetap menjadi rahasia dan musuh tetap mengiranya masih hidup.

Edhi Sunarso (Foto : Medcom)
Setelah kematian Soepriyatna, Sunarso melanjutkan perjuangan ke desa-desa. Dia mempimpin 23 orang lainnya terus melakukan gerakan dan sabotase di daerah-daerah. Saat melakukan pencegatan patroli bersama dengan Mayor Soekirno di Cikuda, salah seorang anggota Mayor Soekirno, Edi tertembak dan tewas di tempat. Edi merupakan salah satu pejuang yang masih muda dan pemberani. Usianya masih 17 tahun, namun dia selalu berdiri di garis terdepan dan melakukan penyerangan terhadap musuh.
Kematian Edi ini membuat Mayor Soekirno terpukul, pasalnya Edi merupakan keponakannya dan salah satu dari anggotanya yang paling ditakuti oleh NICA. Untuk mengenang kematian Edi, Mayor Soekirno lantas memberikan nama Edi pada Soenarso. Sejak saat itulah Sunarso dikenal dengan nama Edhi Sunarso .
Namun nahas, saat melakukan perjalanan pulang dari Cikuda, Edhi Sunarso ditangkap oleh NICA. Dia terpaksa menyerah karena sebagian dari anggotanya tertangkap oleh NICA saat melewati perkampungan yang dibakar oleh NICA. Sejak saat itulah Edhi Sunarso meringkuk di penjara sebagai tahanan NICA.
Belajar Mematung di Penjara
Hidup di dalam penjara tidak membuat Edhi Sunarso patah arang. Justru di dalam penjara inilah dia mulai mempelajari seni. Setelah mengalami penyiksaan panjangan dan beberapa kali pindah penjara, akhirnya Edhi Sunarso dipindahkan di penjara Karangwaru, Bandung.

Edhi Sunarso (Foto : Dewan Kesenian Jakarta)
Kondisi penjara relatif lebih nyaman, tidak ada lagi penyiksaan oleh tentara KNIL dan sel tahanan pun lebih manusiawi dari sebelumnya yang hanya berukuran 2x2 namun diisi oleh 22 orang.
Di Karangwaru dia mulai melukis dan membuat kerajinan tangan bersama dengan 2.400 tahanan lainnya. Semua peralatan menggambar seperti conte, krayon dan kertas bisa dia dapatkan di kantin. Barang-barang tersebut dia beli dengan uang saku bagi para tahanan sebesar 2 gulden yang diberikan setiap hari Sabtu.
Bebas dan Melanjutkan Sekolah
Pada Juli 1949, Edhi mendapat panggilan dari kantor pimpinan L.O.G. Kamp Karangwaru. Dia dinyatakan dibebaskan sebagai tawanan perang. Rasa gembira menyelimuti hati Edhi. Dia mendapat selamat dari kawan-kawannya di tahanan.
Namun, ketika hendak beranjak dari penjara, dia justru bingung karena tidak punya tujuan untuk pulang. Saat itulah Edhi memutuskan untuk ke Yogyakarta bergabung dengan pasukan di sana.
Sesampainya di Yogyakarta Edhi bergabung di KUDP (Kantor Urusan Demobilisasi Pejuang). Setiap harinya Edhi harus ikut melakukan Apel sore di Gedung Agung. Suatu hari dalam perjalanan menuju apel, Edhi melewati kampus ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) yang terletak di Jalan Tanjung. Melihat kegiatan mahasiswa ASRI di depan kampus, naluri seni Edhi kembali muncul. Diam-diam dia menyusup di antara mahasiswa dan ikut melukis.

Edhi Sunarso (Foto : Antara)
Setelah beberapa waktu menjadi mahasiswa gadungan dan mengikuti mahasiswa ASRI melukis, seorang dosen memergoki Edhi yang tengah asik ikut menggambar. Namun karena melihat gambar dan sketsa Edhi lebih bagus dari gambar para mahasiswa, Edhi justru ditawari untuk masuk ke ASRI."Apa bisa, Pak, saya jadi siswa ASRI?," tanya Edhi pada Dosen.
Hendra Gunawan, Dosen yang memergoki Edhi tersebut menjawab bahwa untuk masuk sebagai siswa ASRI harus memiliki ijazah SMP atau SD. Meski Edhi tidak mempunyai ijazah apa pun, kesempatan untuk belajar di ASRI tidak lantas hilang begitu saja. Hendra menawari Edhi untuk menjadi siswa Toehorder atau siswa luar biasa yang hanya boleh mengikuti kegiatan praktik namun tidak boleh mengikuti perkuliahan teori di kampus. Dengan berbekal lukisan hasil karya Edhi, Hendra kemudian mengajukan Edhi sebagai siswa luar biasa ke direktur. Tak berselang lama, Edhi akhirnya resmi diangkat menjadi siswa luar biasa di ASRI.
Bangun Tugu Semarang
Kecintaan Edhi terhadap seni makin menguat. Ia pun diajak oleh Hendra, dosennya untuk bergabung dengan sanggar pelukis rakyat yang didirikannya. Di sanggar pelukis rakyat ini Edhi semakin menggila dengan karyanya. Ia dipercaya Hendra untuk turut serta dalam tim pembangunan Tugu Muda Semarang, dan membuat salah satu relief dalam tugu tersebut.

Tugu Semarang (Foto : Medcom)
Tidak berhenti di situ, pada tahun 1953, dia dan dua orang mahasiswa ASRI lainnya mengikuti kompetisi patung Internasional di London. Namun karena dua mahasiswa lainnya menggunakan tanah liat sebagai bahan patung, karya mereka tidak sampai ke London dalam keadaan utuh karena rusak dalam perjalanan. Sementara itu, karya Edhi yang terbuat dari batu menjadi satu-satunya pantung yang berhasil sampai di London dalam keadaan utuh.
Berkenalan dengan Soekarno
Dalam kompetisi tersebut karya Edhi hanya mendapat peringkat ke-tujuh belas. Namun setelah karya-karya peserta kompetisi dipamerkan secara terbuka, terjadi desakan dari publik untuk melakukan penjurian ulang tanpa mencantumkan nama dan asal negara peserta dalam karya. Dalam penjurian tersebut, karya Edhi yang berjudul "The Unknown Political Prisioner" mendapatkan posisi kedua dari 117 negara yang ikut serta dalam kompetisi.

Soekarno (Sumber : Istimewa)
Edhi sendiri semula tidak mengetahui prestasinya tersebut, sampai akhirnya dia membaca sebuah artikel dalam bulletin Universitas Gadjah Mada yang ditulis oleh Dr Sarjito yang menceritakan prestasinya mendapatkan juara dua dalam kompetisi Internasional. Kabar prestasinya ternyata juga di dengar oleh Bung Karno. Saat meresmikan Tugu Muda Semarang, Edi disalami oleh Bung Karno seraya mengucapkan selamat.
Perkenalannya dengan Bung Karno setelah peresmian Tugu Muda Semarang terus berlanjut hingga dia dipercaya menggarap Tugu Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat, dan Pancoran.
Masa-masa Akhir
Kaki tua Edhi Sunarso sudah tidak lagi mampu menopang tubuhnya. Gerakan tangannya yang dulu luwes dan kokoh memahat patung pun sudah tak lagi lincah. Sudah satu tahun lamanya, pematung kawakan Indonesia ini terkulai lemas akibat penyakit stroke.

Pemakaman Edhi Sunarso (Foto : Tribunnews)
Edhi Soenarso meninggal dunia pada Senin 4 Januari 2016 di usia 84 tahun di Yogyakarta. Edhi meninggalkan empat orang anak dan 11 cucu.
Edhi mendapatkan sejumlah penghargaan di antaranya di tahun 1953, Pemenang ke II Lomba Seni Patung Internasional di Inggris The Unknown Political Prisoner. Di tahun 1957, Medali emas dari Pemerintah India untuk Karya Seni Patung Terbaik. Di tahun 1984, Piagam Seni dari Pemerintah Republik Indonesia. Di tahun 1997, Piagam Seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. 2003, Menerima Bintang Budaya Parama Dharma dari Pemerintah Republik Indonesia.