Film Susi Susanti Love All, Memadukan Tontonan dan Tuntunan | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Twitter @filmsusisusanti

Film Susi Susanti Love All, Memadukan Tontonan dan Tuntunan

Ceknricek.com -- Susi Susanti remaja sedang naik bus dari Tasikmalaya, kota kelahirannya, menuju klub Jaya Raya, Jakarta, calon klub pertama sekaligus klub barunya. Dari luar kaca bus, seorang pedagang asongan menjajakan dagangannya kepada Susi. Dengan sopan Susi menggoyahkan perlahan telapak tangannya, tanda tidak berminat membeli. Tiba-tiba, si pedagang asongan itu melempar salah satu plastik dagangannya ke muka Susi sambil berteriak, “Dasar sipit! Pelit!” Lemparan itu mengenai kaca bus, isinya muncrat, tepat di sisi luar wajah  Susi. Tak ada pilihan lain, Susi diam saja.  Itulah bagian awal-awal adegan film “Susi Susanti Love All.”

Sebagai atlet keturunan etnis Tionghoa, rupanya, sejak awal Susi sudah terbiasa menerima sikap rasialis dari sebagian masyarakat kepadanya, bahkan sampai sesudah dia mempersembahkan medali emas olimpiade pertama untuk  Republik  Indonesia sekalipun, Susi tetap sering menerima perlakuan rasial itu.

Film Susi Susanti Love All, Memadukan Tontonan dan Tuntunan
Sumber: Tempo

Film “Susi Susanti Love All,” karya sutradara Sim F, mengangkat pergumulan batin pemegang medali  emas olimpiade pertama Indonesia itu, bukan hanya dari segi teknis bagaimana perjuangan seorang pemain  bulutangkis mencapai prestasi puncak, tetapi juga menghadirkan benturan rasa nasionalisme yang tinggi dengan realitas sikap sebagai masyarakat dan oknum petugas yang rasialis, disertai sulitnya  menjadi warga negara yang selama ini dibelanya. Untuk menjadi warga negara Indonesia pun, Susi  waktu itu masih diperas oleh petugas dan pejabat yang mengurus soal kewarganegaraannya.

Tak hanya itu, rumahnya di Tasik  ketika kerusuhan 1998 ikut dibakar massa yang sentimen kepada etnis Tionghoa. Untung Sang ayah selamat.  Sebaliknya di luar negeri, Susi yang kala itu mewakili Indonesia, justru sama dihujat karena keindonesiaan dirinya.

Film Susi Susanti Love All, Memadukan Tontonan dan Tuntunan
Sumber: Instagram @Filmsusisusanti

Tatkala Susi dan kawan-kawan membela panji Indonesia di Hongkong, warga Hong Kong malah berang menyerang rombongan Susi dan kawan-kawan lantaran menuduh pemerintah dan rakyat Indonesia telah menganiaya etnis Tionghoa, mayoritas etnis yang ada di Hongkong. Susi dan rombongan mereka nilai sebagai wakil dan duta Indonesia yang diskriminatif.  Susi dan rombongan didemo sampai di depan  stadion tempat pertandingan. 

Bagi seorang atlet keturunan etnis Tionghoa seperti Susi, di dalam negeri digencet, sementara di luar negeri justru disudutkan, tentu bukan perkara mudah. Dalam keadaan serba sulit seperti itu, seorang  reporter televisi asing lantas memprovokasi Susi dengan pertanyaan, apakah dalam keadaan demikian, Susi masih berniat menjadi warga negara Indonesia, padahal yang lain sudah banyak yang  melarikan diri dan memilih kewarganegaraan lain. Susi terhenyak. Dia harus memilih  dan menyatakan sikapnya di depan jutaan penonton televisi internasional. 

Menggebah Makna Nasionalisme 

Film ini berjalan linier, mengisahkan lika-liku perjuangan Susi Susanti, salah satu atlet Indonesia paling berprestasi, memperoleh medali emas olimpiade pertama  untuk Indonesia. Perjuangan Susi menjadi jauh lebih berat bukan karena  keteguhan lawan-lawannya saja, namun karena posisi Susi yang waktu itu belum sepenuhnya warga negara Indonesia.

Permohonannya menjadi warga Indonesia masih selalu ditolak. Pejabat yang mengurus dokumennya hanya bilang ada “jalur cepat,” sekaligus tanpa malu meminta uang sogok. Rasa ketidakadilan digambarkan sudah lebih mendalam dialami maestro bulutangkis ini. 

Film Susi Susanti Love All, Memadukan Tontonan dan Tuntunan
Sumber: Kurio

Di sela-sela perjuangan dan masalah yang dihadapi itu,  diselipkan pula kisah percintaan antara Susi dengan Alan Budikusumah, sampai mereka menjadi “pasangan emas Olimpiade.” Pertarungan olahraga, pergumulan soal kewarganegaraan dan rasialisme, serta romantika percintaan Susi, dapat dijahit dalam satu kesatuan yang padu 

Sejak  awal sampai akhir, film ini mampu memaksa para penontonnya tetap duduk menyimak dan menghayati film.  Hal ini lantaran dari  aspek sinematografis “Susi Susanti Love All”  mengalir lancar, menggebah keharuan serta mengajak kontemplasi apa makna nasionalisme.

Baca Juga: Trailer Film "Susi Susanti - Love All" Resmi Diluncurkan

Penyuguhan  dan pengadegan gambar berlangsung “mulus,” dalam arti komposisi gambar-gambar dan ritme film tidak tersendat-sendat.  Sudut pengambil pun disuguhkan dengan apik. Misalnya, pengambilan gambar berkali-kali wajah Susi yang penuh konsentrasi dengan sudut pandang dari balik net, bukan saja menunjukan keseriusan dan konsentrasi Susi, namun juga sekaligus menggambarkan betapa rumitnya untuk memenangkan pertandingan bagaikan ruwetnya jaringan net. 

Kemenangan pertandingan bukan hanya terletak pada kesiapan faktor tingkat teknikal yang sangat tinggi, namun juga terutama di pikiran atlet sendiri. Sebuah simbolisasi yang mengena, tanpa harus mengganggu jalannya cerita. 

Film Susi Susanti Love All, Memadukan Tontonan dan Tuntunan
Sumber: Instagram @Filmsusisusanti

Acungan jempol dapat kita berikan kepada Laura Basuki sebagai Susi Susanti. Penguasaan permainan bulu tangkisnya, walaupun belum sempurna benar, sudah cukup merepresentasikan pebulutangkis profesional, khusus gaya permainan Susi. 

Gesture dan style sosok Susi, baik sebagai pemain bulutangkis maupun sebagai pribadi, berhasil dihadirkan oleh Laura. Misalnya bagaimana  gaya khas Susi melakukan servis di lapangan dengan memukul bola tinggi ke baseline, diwujudkan dengan baik oleh  Laura. Demikian pula ciri khas split Susi, diperagakan secara sangat baik oleh Laura. Lalu cara lirikan mata Susi pun diadopsinya dengan baik.  Begitu juga akting pemain lain juga menunjukan performance yang baik, memperkuat plot film.

Tidak Harus Superhero 

“Susi Susanti  Love All” menguraikan rumitnya kehidupan seorang “pahlawan bulu tangkis” etnis Tionghoa di Indonesia. Film ini kembali menyadarkan kita, untuk berjuang mengangkat harkat dan martabat negara, tidak harus menjadi superhero yang penuh kekuatan supranatural. Seorang manusia dengan sejumlah problematika pribadi dan keluarga pun tetap dapat mengharumkan bangsa dan negara. Seorang seperti Susi Susanti yang dilanda begitu banyak masalah  pribadi dan keluarga, tetap dapat menorehkan sejarah mulia bagi bangsa dan negaranya di pergaulan internasional, khususnya di bidang olahraga. Dengan segenap sisi kemanusiaannya Susi Susanti mempersembahkan emas  olimpiade pertama untuk Indonesia.

Film Susi Susanti Love All, Memadukan Tontonan dan Tuntunan
Sumber: Instagram @Filmsusisusanti

Kendati demikian, skenario film tidak berpretensi ingin menghadirkan film yang membuat kita mengerutkan dahi dengan dialog-dialog yang “berat” dan dalam skala utopis.  Film dihadirkan dengan atmosfer keseharian, tetapi tidak lantas kehilangan bobot. Demikian juga film tidak menggurui kita, namun memberikan pengajaran yang sangat filosofis.

Film ini membuat kita merenung, apalah  artinya pengabdian kita kepada negara melalui perjuangan yang luar biasa, jika negara tidak memberikan  serta mengakui kita sebagai bagian anak bangsanya? Apakah artinya persembahan penghormatan buat bangsa dan negara, kalau di negeri sendiri justeru dicampakan? Susi yang lahir, besar dan bergaul dengan orang Indonesia, merasa diri berdarah dan berjiwa bangsa  Indonesia,  serta sudah mengangkat derajat Indonesia di mata internasional, kenapa masih tidak dianggap warga negara Indonesia? 

Film Susi Susanti Love All, Memadukan Tontonan dan Tuntunan
Sumber: Tribunnews

“Semua medali  dan piala kamu tidak ada artinya buat kehidupan kita sehari-hari,” kata ibu Susi ketika kewarganegaraan Susi tidak keluar juga, dan kakaknya sempat berpikir untuk berkarier di Malaysia. Disinilah kepahlawanan Susi Susanti patut diteladani. Betapapun berat persoalan yang menimpanya, betapapun kecewa dirinya dengan kenyataan yang ada, betapapun banyak peluang lebih baik di negeri orang, pada awal dan akhirnya Susi tidak pindah hati ke negara lain. Semua perjuangan, pengorban lahir batin hanyalah untuk Indonesia.    

Tontonan dan Tuntunan 

Sebenarnya film ini memiliki kesempatan untuk lebih banyak menyuguhkan latar belakang kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan Jawa Barat, tempat lingkungan Susi lahir dan tumbuh berkembang. Jika peluang ini dimanfaatkan secara optimal, film akan dapat menjadi duta  bangsa Indonesia bukan hanya dari aspek olahraganya dan perkembangan politiknya saja, tapi juga dapat menampilkan dari aspek kebudayaan. 

Film Susi Susanti Love All, Memadukan Tontonan dan Tuntunan
Sumber: Twitter @filmsusisusanti

Hanya saja, rupanya, pintu itu tidak dimanfaatkan secara maksimal. Kecuali pada awal-awal film, yang menunjukan interaksi Susi dengan lingkungannya di rumahnya, selebihnya film hanya memotret sedikit  ruang publik. 

Akhirnya, kita harus membaca, inilah film yang  menghadirkan tontonan dan tuntutan sekaligus. Sebagai tontonan film ini menghibur, sedangkan sebagai tuntunan “Susi Susanti Love All”  mengajak kita untuk menghargai pengorban dan prestasi anak bangsa, dari etnis manapun. Itulah makna pluralisme sejati. 

*Wina Armada Sukardi, Kritikus Film.

BACA JUGA: Cek FILM & MUSIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini


Editor: Farid R Iskandar


Berita Terkait