Ceknricek.com - Budaya riset di Indonesia tertinggal dibandingkan dengan empat negara ASEAN yakni Singapura, Thailand, Malaysia dan Vietnam. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Dr Laksana Tri Handoko yang dilantik menjadi Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 31 Mei 2018 menggantikan pelaksana tugas (Plt) Kepala LIPI Prof Dr Bambang Subiyanto, M.Agr.
Handoko terbilang peneliti berprestasi. Ia memiliki 14 penghargaan ilmiah yang diperoleh 1999 hingga 2014.
Handoko mengenyam pendidikan tinggi di Jepang.
Pria kelahiran Malang tersebut mendapatkan gelar sarjananya di Komamoto University. Selanjutnya, pendidikan pascasarjana (master dan doktoral) ditempuh di Hiroshima University.
Handoko bergabung dengan LIPI sejak 2002. Ia juga menjadi pengajar di Departemen Fisika, Universitas Indonesia (UI) sejak 2002 hingga sekarang.
Handoko telah menyiapkan berbagai program prioritas yang perlu dilakukan selama menjabat sebagai kepala LIPI. Untuk menggali pemikiran dan program Handoko di masa mendatang, berikut wawancara ekslusif dengan tim Ceknricek.com pada Rabu, 6 Juni 2018, di Kantor LIPI, Jakarta.
Ceritakan program apa yang Bapak tawarkan?
Faktor eksternal sudah berkembang cepat. Jadi menurut saya, LIPI juga harus berubah.
LIPI harus kompetitif di kancah global, harus mampu berkompetensi dengan lembaga lain di luar negeri.
Sains itu sifatnya global tidak ada sains yang lokal. Di lain sisi LIPI adalah lembaga negara yang didanai dari masyarakat, sehingga manfaatnya harus dirasakan oleh masyarakat. Kalau ada sebagian yang merasakan LIPI itu di menara gading, itu yang harus kita perbaiki dalam konteks LIPI yang memasyakat tadi.
Problem apa yang dihadapi LIPI?
Kita harus melihat problem real yang dihadapi oleh LIPI sekarang, dan masalah negara ini secara umum. Masalahnya adalah kemampuan dan kapasitas kompetensi riset yang belum memadai, tidak hanya di LIPI tapi secara umum. Tantangan utama LIPI adalah menjadi yang terdepan untuk mengatasi problem itu. Nah, riset itu kompenen utamanya adalah manusia. Kalau bahasa ekstrimnya kita tidak ada uang pun kalau punya orang pintar bisa mendatangkan uang.
Jadi, yang ingin saya lakukan adalah, meningkatkan kapasitas dan kompetensi SDM nya yang menurut saya tidak bisa ditawar. Itu membutuhkan waktu panjang karena mendidik orang itu tidak bisa instan. Itu salah satu sebabnya yang saya sampaikan adalah meningkatkan kompetensi SDM periset, antara lain dengan memanggil diaspora.
Jadi teman-teman kita yang masih berusia 20,30 atau 40 tahun yang sekarang berkarir atau ada di luar negeri tapi belum mendapatkan tempat yang sesuai, itu kita panggil untuk bekerja di LIPI. Karena saya percaya LIPI bisa menjadi tempat untuk mengekspresikan passion yang mereka miliki. Karena tidak banyak lembaga penelitian di Indonesia.
Secara umum memang masih banyak kendala terutama infrastuktur risetnya. Kalau di LIPI, 3 atau 4 tahun terakhir dalam bidang teknik kita sudah secara besar-besaran melakukan investasi untuk infrastruktur riset.
Kualitas riset di Indonesia, seperti apa?
Secara rata-rata, dari data yang ada itu belum memuaskan. Dilihat dari indikator publikasi global masih rendah. Di negara ASEAN, kita paling rendah. Hal itu bisa dilihat dari jumlah paten, kita belum bisa bersaing di antara 4 negara Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Kita belum terbentuk budaya riset. Kita harus mengakui, suka tidak suka dalam berapa puluh tahun ini kita tidak berhasil dalam budaya riset itu. Kita tidak cukup mempunyai tabungan ilmu pengetahuan. Riset itu tidak selalu menjadi sesuatu yang bermanfaat tetapi dia pasti menghasilkan pengetahuan.
Bagaimana meningkatkan budaya riset?
Kita menghadapi lingkaran masalah yang tidak ada putusnya. Seperti anggaran, SDM, dan infrastruktur kurang. Hal pertama kita lakukan investasi infrastruktur besar-besaran. Untuk melengkapi infrastruktur itu kalau perlu mengorbankan anggaran lain termasuk untuk risetnya itu sendiri. Artinya anggaran untuk melakukan riset tidak saya berikan, yang penting beli alatnya dulu.
Diaspora yang pintar-pintar sudah berdatangan, lalu kita fasilitasi dengan infrastruktur yang memadai.
Mereka itu jadi gerbong penariknya. Mereka bisa menarik anggaran dari luar. Itu salah satu yang utama.
Yang kedua, kita membuat semua peralatan itu bisa dipakai oleh semua orang. Sebanyak mungkin siapapun mau akademisi, dosen, dokter, industri besar atau kecil bisa memakai bahkan bisa gratis.
Kalau kolabrasi gratis, lebih baik uangnya kita buat investasi alat. Mereka bisa membuat proposal lebih bagus dan bisa menarik dana dari luar lebih besar.
Infrastruktur apa yang didahulukan?
Kalau di LIPI itu risetnya spektrumnya lebar.
Semua ilmu itu ada di LIPI kecuali kedoteran. Sehingga pada saat melakukan investasi infrastruktur besar-besaran. Kalau harus melakukan prioritasisai itu berbasis pada kesedian orang dalam konteks grup.
Meskipun ada grup riset yang komplet ternyata usianya mendekati usia pensiun yang kita tidak prioritaskan. Jadi banyak indikator yang kita pakai untuk menetapkan itu.
Program prioritas LIPI apa saja?
Kita punya topik-topik penelitian sendiri. Dan pasti sangat relevan dan mengarah problem real. Karena teman-teman ini tidak kita beri dana riset, otomatis mereka akan mencari dana eksternal. Sehingga problem apapun dari ranah kompetensi mereka itu bisa dihandle.
Siapa yang bisa diajak mendanai riset, industri atau pemerintah ?
Banyak, bisa semuanya, itu sebabnya dana infrastruktur kita buka dulu. Sehingga banyak industri bekerja bareng. Kalau kerja bareng dia beri dana itu.
Bagaimana cara mencari dana untuk riset?
Kita paksa mereka untuk mencari dana eksternal, supaya mendapat mitra atau teman. Kalau dana dari internal mereka tidak mau mendengar. Dengan cara itu, mereka bisa tahu apa yang mitra butuhkan tidak mengikuti kemauan si periset itu. Dan itu berjalan bagus. Jadi kita tidak mengeluarkan uang dari APBN.
Model itu sudah biasa diaplikasikan ke luar negeri?
Secara de facto itu yang dilakukan. Itu sebabnya anggaran riset global itu 80% dari eksternal 20 % internal. Kalau di Indonesia itu kebalikannya. Harus kita ubah dan itu dimulai dari LIPI.
Bicara disapora, sejauh mana mereka tertarik kembali ke Indonesia ?
Sebenarnya disapora itu tertarik kembali ke Indonesia. Katakan di LIPI secara finansial tidak terlalu jauh dibandingkan kalau dia misalnya berkarir di akademisi kampus di Malaysia.
Gaji mereka mungkin lebih tinggi 20%. Tapi mereka tidak bisa menjadi permanent position hanya bisa kontrak paling lama 5 tahun. Sehingga saya memberi penawaran kepada diaspora itu kembali ke LIPI dengan tawaran permanent position. Nyatanya banyak yang tertarik untuk kembali ke Indonesia. Di daftar saya 200 orang tertarik dari Malaysia Eropa, dan Rusia.
Apa yang Bapak tawarkan kepada mereka
Kalau saya simple. Menawarkan permanent position bahwa Anda bisa menjadi akademisi karena di luar belum tentu bisa. Karena kompetisinya sangat ketat. Itu dua tawaran yang sangat susah kalau di luar. Tidak bisa didapatkan kurang dari 15 tahun.
Kemudian secara finansial cukuplah tidak berlebihan tapi jelas tidak kekurangan.
Ketiga bisa melakukan riset apa saja yang dia mau. Kalau peneliti beneran pasti tertarik. Saya persilakan untuk membuat grup periset sendiri. Tapi jangan harapkan dana.
Pesan untuk peneliti?
Peneliti itu yang pertama passion. Jadi jaga passion dan kreatifitas. Jadi peneliti itu tidak mudah tapi bukan profesi yang ekslusif. Jadi tidak boleh menuntut yang berbeda. Peneliti itu pilihan profesinya. Jadi tanggung jawab dengan pilihan profesinya apapun halangannya.
Penelitian iti basicnya kompetensi dan kapasitas kompetensi. Jadi bukan dukungan orang sekitar. Kalau kita masih bertanya tentang dukungan orang sekitar berarti kita belum punya kapasitas kompetensi yang memadai. Karena yang benar itu pasti mandiri. Cari dana eksternal. Dan melakukan penelitian sesuai passionya.
Jumlah peneliti di Indonesia berapa ?
Peneliti dalam konteks umum sekitar 260 ribu orang termasuk dosen, peneliti seperti di LIPI, dan lain-lain. Kalau peneliti PNS hanya sekitar tujuh ribu.
Apakah itu ideal untuk sebuah negara yang besar?
Tidak bicara ideal yah. Tapi kalau kita bicara di Korea itu 8 ribu per sejuta penduduk. Kalau di Malaysia itu 1.500 per sejuta penduduk. Tapi kita masih lebih baik dari Thailand. Thailand itu kurang dari seribu tapi dia lebih maju ipteknya.