RNI (Rangkaian Ngobrol Imajiner) bersama Gus Dur:
Cekricek.com--Diri ini tengah asyik menyaksikan ditahannya Sekjen PDIP oleh KPK setelah diperiksa lebih delapan jam, tatkala tiba-tiba Gus Dur hadir dan berkata: ‘’Mas, saya punya tebak-tebakan nih…bila kita berada dalam situasi serba gelap apakah sebaiknya pindah tempat atau menyalakan lilin?’’. Tentu saja saya sangat terkejut dan tercenung oleh pertanyaan beliau yang seakan bercanda namun sungguh dalam dan sesuai konteks kekinian.
"Mas, kalo kita cermati di jagad maya saat ini, diakui atau tidak, ada dua tagar trending yang sukses menggambarkan suasana kebatinan sebagian rakyat Indonesia yakni #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu. Satu tagar menyoroti nuansa kegelapan yang kian menyelimuti negeri ini, bukan sekadar keluhan tentang pemadaman listrik atau kondisi ekonomi yang tak menentu. Tagar #IndonesiaGelap dengan cepat menjadi trending topic di berbagai platform media sosial, analisis oleh Drone Emprit menunjukkan bahwa pada 17 Februari 2025, tagar ini mencapai lebih dari 30.140 mention di media sosial dan 1.192 mention di media online lainnya.
Maraknya tagar ini bisa dimaknai sebagai sebuah simbol ekspresi atas ketidakpastian yang lebih dalam serta kompleks: ketidakpastian hukum, ketimpangan sosial-politik, serta kesenjangan antara mimpi serta janji manis pemerintah dan kenyataan pahit yang mesti dialami rakyatnya. Masalah kebijakan efisiensi anggaran yang memantik beragam kontroversi hanya salah satu hal, masih bejibun permasalahan mengepung bangsa ini sebagaimana disuarakan adik-adik mahasiswa dalam demonya.
Sementara yang lain berawal dari ketidakpuasan masyarakat terhadap berbagai masalah domestik, seperti sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak, biaya pendidikan yang tinggi, serta ketidakpastian hukum dan politik. Kondisi ini mendorong banyak individu, terutama kaum muda, untuk mempertimbangkan opsi mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri ini. Tagar #KaburAjaDulu kemudian menjadi simbol dari aspirasi tersebut, digunakan untuk berbagi informasi seputar lowongan kerja, beasiswa, kursus bahasa, serta pengalaman hidup dan berkarier di negara lain.
Bertolak dari hal tersebut, pertanyaan kritis namun ironis adalah: apakah kita harus menyalakan lilin di tengah kegelapan, ataukah lebih baik melangkah pergi ke tempat yang lebih terang? Dengan gaji UMR yang tak sebanding dengan harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan yang kian mahal, serta birokrasi yang terus berbelit, banyak yang mulai bertanya: apakah lebih baik bertahan dengan harapan perbaikan yang tak kunjung datang, atau memulai kehidupan baru di tempat yang lebih menjanjikan? Jika pemerintah terus-menerus menyuruh rakyatnya "bersabar," mungkin rakyat sudah menemukan solusi mereka sendiri: pergi alias kabur telah menjadi diskursus kolektif.
Pada titik ini, saya kembali teringat pernyataan Jean-Paul Sartre dalam eksistensialisme-nya yang mengajarkan bahwa manusia bertanggung jawab atas nasibnya sendiri. "Kita dikutuk untuk bebas," katanya, dan kebebasan ini mengandung konsekuensi: memilih bertahan dalam keterpurukan atau mencari kebebasan di tempat lain. Ironisnya, pemerintah tampaknya ingin mengekang kebebasan itu dengan propaganda nasionalisme atau eufemisme lainnya, sementara realitasnya tidak menyediakan ruang untuk berkembang.
Pemerintah seyogyanya menyadari bahwa kekuasaan bukan sekadar monopoli kendali, tetapi juga tanggung jawab untuk menjaga rakyat tetap percaya bahwa mencintai pertiwi adalah pilihan yang lebih baik daripada kabur. Tak berlebihan bila dinyatakan bahwa bertahan atau pergi bukan hanya soal mencari kenyamanan, melainkan tentang bagaimana seseorang menentukan makna hidupnya di tengah absurditas realitas’’ pungkas Gus Dur lalu menghilang pergi. Saya sungguh tercengang dan bersiap meluangkan waktu untuk merenungkan apa yang tadi beliau sampaikan: menyalakan terang atau kabur? Bagaimana menurut Anda?
*) Greg Teguh Santoso, pemikir lepas-bebas, doktor di bidang Knowledge Management and Digital Communication.
Editor: Ariful Hakim