Ceknricek.com -- Indonesia memaparkan bagaimana sawit berperan penting dalam pencapaian target-target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan industri strategis bagi perekonomian negara, dalam sebuah seminar di Norwegia.
Di tengah gempuran kampanye negatif tentang sawit di Norwegia, pemerintah Indonesia menegaskan bahwa upaya kolektif pemerintah, kalangan bisnis, dan masyarakat dinilai berhasil dalam mempertahankan kelestarian lahan gambut dan sawit di Indonesia.
Mengutip keterangan tertulis Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, Selasa, (2/7) kedua hal tersebut mengemuka dalam seminar bertajuk "Kontribusi Gambut dan Sawit Lestari dalam Mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan" yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Oslo di Gedung Konfederasi Bisnis Norwegia (Næringslivets Hovedorganisasjon/NHO) dalam rangkaian Festival Indonesia Oslo, 28-30 Juni 2019.
Seminar dihadiri oleh sekitar 80 peserta dari kalangan pemerintah, akademisi, bisnis, dan LSM di Norwegia. Festival Indonesia yang pertama kali diadakan di Norwegia ini merupakan permulaan (kick-off) dari peringatan 70 tahun hubungan diplomatik RI-Norwegia yang akan jatuh pada 25 Januari 2020.

Foto: KBRI Oslo
Duta Besar RI untuk Norwegia dan Islandia, Todung Mulya Lubis mengatakan, seminar ini bertujuan untuk memberikan pemahaman terkini kepada publik Norwegia mengenai kontribusi industri kelapa sawit lestari dan gambut pada upaya-upaya pencapaian target-target SDGs di Indonesia.
“Kunjungan Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia ke Papua Barat pada Februari 2019, dapat menyaksikan secara langsung keberhasilan Indonesia dalam menjaga kelestarian lingkungan. Indonesia dapat mengintensifkan produksi sawit lestari tanpa mengurangi luas hutan di Papua Barat," kata dia.
Hadir sebagai pembicara dalam seminar tersebut, Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) Dono Boestami, perwakilan Rainforest Foundation Norway Vemund Olsen, perwakilan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Yanto Santosa, Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Togar Sitanggang, CEO perusahaan energi St1 Norway Kristine Vergli Grant-Carlsen, Manager Corporate Communication Nestlé Norway Axel Heiberg-Andersen, perwakilan John Cabot University Roma Prof. Pietro Paganini, serta moderator Pål Davidsen dari lembaga Rud Pedersen.
Penasihat politik untuk Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia Marit Vea mengatakan, Norwegia dan Indonesia perlu mencari solusi untuk isu sawit.
"Kita telah berhasil mencari kepentingan bersama pada program kerja sama lingkungan hidup REDD+ dan Perjanjian Perdagangan Bebas Indonesia-Eropa (EFTA)," kata Vea.
Sebagaimana diketahui, Parlemen Norwegia pada 2017 menerbitkan resolusi untuk mengurangi penggunaan minyak sawit dalam produk biodiesel yang beredar di Norwegia. Di sisi lain, Indonesia terus mengupayakan kualitas sawit lestari, salah satunya melalui program biodiesel.
“Indonesia tengah mengembangkan teknologi untuk mengkonversi minyak sawit menjadi bio-hydrocarbon fuel untuk memproduksi green diesel, green gasoline, dan green avtur,” ungkap Dirut BPDP-KS Dono Boestami.
Rainforest Foundation Norway, LSM yang kritis terhadap kebijakan lingkungan hidup di Indonesia justru mengapresiasi keberhasilan pelestarian lingkungan hidup di Tanah Air belakangan ini.
“Pencapaian ini perlu diapresiasi, tetapi dibutuhkan pula kebijakan jangka panjang untuk menjaga tren baik di pelestarian lingkungan di Indonesia,” ujar Vemund Olsen.
Foto: KBRI Oslo
Menanggapi hal tersebut, Kepala BRG Nazir Foead membuka rahasia Indonesia berhasil mengurangi titik-titik api (hotspot) kebakaran hutan. “Indonesia membangun teknologi sistem monitoring lahan gambut disebut Peatland Resotration Information and Montoring System (PRIMS), yang terintegrasi, daring, dan terhubung langsung dengan Kantor Presiden RI,” kata Nazir.
Sementara itu, Prof. Yanto Santosa dari IPB memaparkan data statistik dan fakta sejarah, sawit bukan merupakan penyebab langsung dari penggundulan hutan hujan tropis di Indonesia.
Menghilangnya hutan hujan tropis secara drastis disebabkan oleh kebijakan transmigrasi pada 1960-an, penerbitan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) pada 1970an, dan kebakaran hutan yang masif.
“Komoditas transmigrasi pada mulanya bukan sawit, tapi kopi, cokelat, kemiri, lada, dan hasil perkebunan lainnya. Namun orang cenderung membandingkan antara dahulu dan sekarang semata, namun melupakan runtutan sejarahnya. Justru sawit mulai ditanam berkontribusi menghijaukan kembali hutan gundul pada 1980-an,” kata Guru Besar IPB itu.
Lebih lanjut, perusahaan energi ST1 Norway menyatakan sedikitnya 40 persen dari total biofuel digunakan di wilayah Nordik. Sayangnya, deforestasi mengakibatkan minyak sawit mendapatkan penolakan yang cukup serius di Norwegia.
Hal ini dibenarkan oleh Nestle Norway yang menjadi menjadi target kampanye lingkungan hidup Greenpeace pada 2010.
Sejak itu, Nestle menjadi anggota Roundtableon Sustainable Palm Oil (RSPO) dan menargetkan 100 persen memakai produk sawit tersertifikasi pada 2020.
Bicara perihal sertifikasi sawit, Waketum GAPKI Togar Sitanggang menanggapi, sertifikasi sawit harus berasal dari negara asal, karena mewakili kepentingan petani dan industri setempat. Penerbitan sertifikasi sawit Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) terus meningkat pada 2013-2018.
Menurut Prof. Pietro Paganini dari John Cabot University Roma, serangan kampanye negatif merata di seluruh negara di Eropa. Persepsi sawit yang terus memburuk di Eropa dimanfaatkan oleh sejumlah perusahaan sebagai strategi pemasaran.
“Perusahaan-perusahaan itu hanya memanfaatkan kampanye sawit negatif untuk mengejar keuntungan semata, tapi tidak berkontribusi terhadap keanekaragaman hayati dan keberlanjutan," katanya.