Catatan untuk Pemerintah #2
Ceknricek.com--Selasa malam tanggal 22 Desember 2020 itu, selanjutnya kami meninggalkan RS Puri Cinere. Menuju RS Mayapada Lebak Bulus.
Seperti saat datang, saya duduk di bangku kiri belakang dengan kaca jendela yang sengaja dibiarkan terbuka. Tentu sambil tetap mengenakan masker. Juga membasuh tangan dengan sanitizer ketika kembali memasuki kendaraan. Anak yang mengemudikan di bangku depan, juga melakukan langkah yang sama. Bahkan mengenakan 'faceshield'.
Seandainya pemerintah sudah memiliki sistem pengelolaan informasi dan penanganan data yang lebih baik -- sehingga bisa mengorkestrasikan segenap sumberdaya yang ada agar bahu-membahu dan bergandeng tangan -- saya tentu bisa langsung pulang ke rumah. Sebab proses swab untuk mengambil sampel cairan di hidung dan tenggorokan, mestinya cukup dilakukan petugas IGD Puri Cinere. Bahkan mereka dapat menginformasikan rumah sakit mana yang bisa saya datangi saat itu. Jika menganggapnya perlu. Atau menyarankan agar langsung saja melakukan isolasi mandiri di rumah. Sambil menunggu hasil proses tes PCR atas swab yang sudah dilakukan.
Sebagaimana layanan homecare yang tersedia (saya baru mengetahui kemudian hari), mereka memang menambahkan biaya sebesar Rp 150 ribu. Untuk mobilisasi tenaga medis yang mengunjungi. Termasuk biaya pengganti APD.
Biaya pengganti seperti itu, sangatlah layak, andai RS Puri Cinere ingin mengenakannya kepada pasien seperti saya malam itu. Kami tentu tak keberatan. Dibanding harus berkendara lagi ke RS Mayapada yang berjarak 4 kilometer dari sana. Untuk sekedar menemui keadaan yang pada akhirnya hampir serupa. Walau sedikit lebih baik.
+++
Kami tiba di Mayapada sekitar jam 9 malam. Saya diturunkan tepat di depan IGD. Sementara anak memarkirkan kendaraan, tak jauh dari sana.
Setelah mendengar keluhan saya, petugas IGD langsung meminta kami ke gedung lain di sisi utara. Katanya di sana, unit khusus untuk menangani yang bergejala infeksi saluran pernafasan (ISPA). Ciri-ciri umum yang tertular virus corona.
Di ruang tunggu gedung yang terletak lebih ke utara dibanding yang sebelumnya itu, anak saya mendampingi di bangku yang tersedia. Tak berapa lama, seorang dokter yang mengenakan APD lengkap datang mendekat. Beliau langsung bertanya,
"Bapak sekarang demam?"
"Tidak dok. Tadi sempat hangat sedikit tapi sudah reda setelah minum panadol."
"Sesak?"
"Tidak, dokter."
"Gejala lain?"
"Tadi pagi mencret."
"Sejak kapan?"
"Kemarin sekali. Tadi dua kali."
"Kalau gitu sebaiknya pulang dulu saja. Minum yang banyak. Besok ke sini lagi. Untuk swab di sana (menunjuk ke arah gedung yang semula saya datangi). Sebab di sini penuh dengan pasien covid. Bapak sendiri belum pasti kena kan?” lanjutnya kemudian.
"Jam berapa tes swabnya buka, dok?"
"Datang jam 9 saja. Biasanya jam 8 sudah buka. Tapi mereka bersiap-siap dulu."
"Saya aman di rumah, ya dok?"
"Ga sesak kan? Minum panadolnya jika demam lagi. Kalau mendesak bisa balik ke sini. Tinggalnya ga jauh kan?"
+++
Dokter di RS Mayapada itu, memberi layanan yang mestinya mudah saya peroleh di RS Puri Cinere. Toh mereka pun tak bisa melayani tes PCR malam itu juga. Entah memang kamar perawatannya penuh, atau mungkin melihat kondisi saya yang tak mengkhawatirkan, dia langsung menyarankan isolasi di rumah. Lalu datang lagi besok pagi untuk tes swab.
Sekali lagi, ketidak-mampuan bangsa kita membangun aplikasi sederhana untuk menangani informasi dan pendataan dasar dalam menangani pandemi ini, menyebabkan saya harus bergerak sia-sia ke sana ke mari.
Itu tak seberapa.
Hal yang mengenaskan adalah resiko yang tak sengaja saya tebar kepada orang lain. Mulai dari satpam penjaga pintu dan petugas yang menerima di IGD Mayapada (mereka tak mengenakan APD lengkap seperti dokter yang kemudian saya temui di gedung lainnya). Pasien lain yang kebetulan berpapasan saat masuk IGD. Lalu mereka yang berada di selasar saat saya melintas menuju gedung yang diminta.
Saya berdoa resiko itu tak terjadi karena tetap mengenakan masker.
+++
Esoknya, Rabu 23 Desember 2020, saya kembali ke sana dengan mengemudikan kendaraan sendiri. Karena kebetulan yang lain sedang memiliki kesibukan. Tubuh saya sebetulnya masih terasa bugar. Tadi malam pun tak ada demam.
Ketika masih di Medan dan akan berangkat ke Kualanamu kemarin, ibu memegang tangan saya yang hangat. Kemudian memberi sebutir panadol. Adik saya yang saat itu ada di sana dan mendengarnya, langsung mengambil sekotak 'Lianhua Qingwen Jiaonang'.
"Minum aja ini, 4 butir sekarang. Bagus buat flu juga kok. Nanti teruskan saja. 3 kali sehari. Selama 3 hari."
Dia memang baru dapat beberapa kotak dari teman sekolahnya dulu. Kami berdua sama-sama melakukan swab antigen sehari sebelumnya. Karena dia pun akan kembali ke Jakarta keesokan harinya.
Hasil pemeriksaan antigen kami berdua memang negatif. Mungkin karena itu, tak satupun yang menduga apa yang saya alami sebagai pertanda tertular.
Herbal buatan Cina itu memang terus saya minum. Di bandara Kualanamu saat menunggu jadwal masuk pesawat. Malam hari setelah kembali dari rumah sakit. Dan pagi ini sebelum berangkat melakukan tes swab.
+++
Tiba di RS Mayapada, setelah memarkirkan kendaraan di halaman depan. Lalu melakukan proses pendaftaran dan menunggu giliran untuk proses swab
Saya memilih paket dengan biaya Rp 1,2 juta yang menjanjikan hasil keesokan harinya. Sebetulnya ada 4 pilihan. Rp 900 ribu untuk hasil yang diketahui setelah 2 hari. Lalu Rp 1,9 juta dan Rp 2,5 juta masing-masing menjanjikan 6 dan 12 jam setelah swab.
Saya mempertimbangkan. Jika menggunakan paket 6 atau 12 jam, hasilnya baru diketahui malam. Bahkan tengah malam jika giliran saya diswab lewat tengah hari. Sebab, saat dapat giliran mendaftarkan diri, waktu menujukkan jam 11 siang. Meski saya hadir di sana sejak jam 8:30. Sementara di luar antrian yang menunggu giliran swab masih panjang. Pengalaman kemarin, saya memperkirakan baru bertemu dokter keesokan harinya. Maka saya putuskan menggunakan paket sehari saja.
Keleluasaan itu tentu tak dimiliki mereka yang melakukan swab PCR menggunakan fasilitas cuma-cuma dari pemerintah. Seperti pengalaman mertua ipar saya yang sempat terpapar virus corona beberapa bulan lalu, di Bandung. Hasil swabnya baru diterima 5 hari kemudian. Dengan Ct value 40 sehingga diperkenankan isolasi mandiri.
Sekitar jam 13:30 proses swab saya selesai lalu kembali berkendara pulang ke rumah.
Malam harinya, makanan yang disajikan di depan pintu kamar, saya lahap habis. Selera makan saya mulai pulih.
+++
Tanggal 24 Desember 2020 sekitar jam 8 pagi, saya menerima sms yang berisi tautan hasil swab PCR. Menyatakan saya positif tertular. Selanjutnya, seperti yang pernah sampaikan tempo hari, ananda mengantar saya berkonsultasi ke dokter spesialis paru di Mayapada.
Setelah menanti giliran selama 2 jam, dokter yang mengenakan APD lengkap itu melakukan pemeriksaan dengan menanyakan gejala-gejala seperti dokter jaga yang saya temui di sana 2 malam lalu. Kemudian menggunakan stetoskopnya memeriksa punggung dan dada saya. Lalu menuliskan resep.
Anak saya kemudian meminta dilakukan CT Scan Torax yang disetujui dokter itu. Setelah mendengar pesannya untuk minum air yang banyak, makan, dan istirahat cukup di rumah, kami kemudian meninggalkan ruang prakteknya menuju farmasi dan administrasi.
Suster kemudian mengantar saya ke ruang CT Scan. Melalui jembatan penyeberangan khusus ke gedung lama sebelumnya. Saya menunggu di lorong yang menghubungkan ke unit NICU, ruang perawatan intensif untuk anak-anak, yang dibatasi troli obat-obatan dan penyekat kain yang biasa terdapat di ruang praktek.
Ketika menunggu, petugas kebersihan yang mengenakan seragam perusahaan outsourcing berlalu lalang antara ruang CT Scan dan NICU. Dia hanya mengenakan masker dan sarung tangan biasa. Dengan kemeja lengan pendek.
+++
Saya meninggalkan rumah sakit bersama ananda, tanpa dibekali protokol bagaimana melakukan isolasi mandiri di rumah. Seperti misalnya, apa dan bagaimana yang perlu saya maupun anggota keluarga di rumah, lakukan.
Di sini kembali saya terheran. Bagaimana mungkin rumah sakit sekelas Mayapada, tak menaruh perhatian terhadap hal-hal penting demikian.
Kita maklumi tak semua yang memahami hal-hal kecil tapi strategis yang perlu dilakukan untuk mencegah penularan rumah tangga.
Saya beruntung karena memiliki perhatian yang cukup tinggi terhadap Covid-19 ini. Sehingga berupaya mempelajarinya dengan seseksama mungkin. Juga memiliki anak yang berprofesi dokter yang secara medis dapat lebih memahami persoalan dibanding saya.
Kembali harus saya tekankan, betapa kusut dan berantakannya instansi pemerintah kita dalam mengembangkan sistem penanganan pandemi ini.
Bukankah pantas dan semestinya, bersama dengan institusi terkait yang berada dibawah kewenangan dan koordinasi Kementerian Kesehatan -- juga satuan-satuan khusus yang dibentuk untuk menangani Covid-19 -- ditegakkan kebijakan dan prosedur yang mengharuskan rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang menjumpai pasien isolasi mandiri seperti saya, menyampaikan bahkan mengedukasi tata cara dan syarat-syarat yang harus kami sekeluarga penuhi, di rumah?
+++
Apalagi ketika fasilitas kesehatan yang tersedia mulai dipenuhi pasien seperti yang banyak terjadi di berbagai kota sekarang. Pemerintah semestinya bahu-membahu mengelola prosedur dan tatacara agar pelaksanaan isolasi mandiri tak menyebabkan penularan bagi anggota keluarga yang sehat. Setidaknya dengan menyiapkan daftar pemenuhan kebutuhan (check list) terhadap 3 hal:
- Memastikan bahwa kediaman yang digunakan untuk melakukan isolasi mandiri, memenuhi syarat.
- Memastikan pasien bersedia mematuhi ketentuan isolasi mandiri yang dibutuhkan.
- Memastikan anggota keluarga lainnya di rumah dapat menerapkan protokol yang ditetapkan. Baik untuk keselamatan diri mereka masing-masing. Maupun lingkungan tempat tinggalnya.
Penegakan kebijakan dan prosedur itu, tentu tak mungkin terlaksana sempurna tanpa kerjasama berbagai pihak. Tapi, pihak rumah sakit seperti Mayapada, semestinya menyediakan dan menyampaikan seluruh petunjuk itu kepada pasien. Bila perlu, dilengkapi dengan penanda-tanganan semacam 'inform concent' yang biasa dilakukan saat melakukan tindakan medis. Hal yang menandakan pihak dokter atau rumah sakit telah menyampaikannya dengan baik. Sementara pihak pasien juga menyatakan sudah memahami dan siap mematuhinya.
+++
Meski demikian, seandainya kebijakan dan prosedur pelaksanaan isolasi mandiri sudah dilengkapi dengan 'inform consent' tadi, pemerintah tetap harus menyiapkan tata cara selanjutnya untuk mengevaluasi / menginspeksi, kemampuan dan kesiapan pasien melakukan isolasi mandiri. Dalam hal inilah sesungguhnya bagian penting dari pembentukan gugus tugas. Hal yang bisa dikembangkan melalui kerjasama hingga lingkungan terkecil masyarakat. Agar dapat membantu memastikan pelaksanaan isolasi mandiri terlaksana dengan baik.
Dari sini, tentu kita mudah membayangkan, betapa penting dan strategisnya sistem informasi dan pendataan 'ikan yang mendatangi bubu' seperti saya, dalam upaya mengelola penanganan pandemi ini. Data saya yang pertama kali semestinya sudah terjaring saat mengunjungi Rumah Sakit Puri Cinere sebelumnya, bisa terperbaharui dan dikuntit oleh instansi yang berkepentingan. Lalu, melakukan langkah-langkah yang perlu dengan tepat dan segera.
Misalnya, ketika hasil tes swab PCR saya yang menyatakan positif sudah keluar. Seketika itu juga sistem dapat melakukan pelacakan kontaknya. Juga memonitor keputusan pelayan medis / rumah sakit yang menangani saya. Termasuk memastikan proses evaluasi kelayakan melakukan isolasi mandiri. Lewat kerjasama jaringan dengan lingkungan warga masyarakat di mana saya berada.
Kini saya mengetahuinya dengan pasti berdasarkan pengalaman pribadi. Hal yang sangat sederhana dan mudah dilakukan itu, nyatanya terlalu rumit dan berlebihan. Jika kita mengharapkan pemerintah paham dan mampu melakukannya.
Padahal, setiap hari mereka terlihat sibuk dan bersungguh-sungguh. Kadang disertai parade untuk memamerkan hal-hal yang dilakukannya di hadapan publik.
+++
Sore tanggal 24 Desember 2020 itu, saya putuskan minta seluruh keluarga melakukan tes swab PCR. Termasuk istri yang baru beberapa hari lalu sudah pernah melakukan dan hasilnya negatif. Saat merasa tak enak badan ketika saya masih di Medan.
Tanggal 26 Desember 2020, ketika hasil tes seluruh anggota keluarga yang menyatakan negatif kami peroleh, saya menemukan ketenangan hati untuk menuliskan catatan harian. Mulai dari minggu sebelum berangkat ke Medan.
Saya putuskan sendiri, untuk mempublikasikan catatan yang berjudul 'Maaf, Saya Telah Tertular' itu. Juga mengirimkan kepada teman dan kerabat yang pernah bertemu sebelumnya. Sebab mereka harus tahu. Tentang resiko yang mungkin saja menimpanya. Berikut perkembangan yang saya alami.
Catatan tersebut juga saya kirim ke pak RT. Agar lingkungan di sekitar kediaman kami, memaklumi musibah yang terjadi. Sekaligus mengetahui semua penanganan yang telah dilakukan. Tentunya agar tetangga kami tak khawatir.
+++
Catatan ini akan saya lanjutkan pada tulisan berikutnya. Disampaikan sebagai bagian dari upaya kita bersama menghadapi pandemi. Setidaknya, kritik sekaligus saran seperti ini yang dapat saya berikan.
Pengalaman ini, memang membuat saya tak mudah percaya, jika persoalan pandemi sekarang, bakal mampu diselesaikan dengan mudah. Sehingga kita bisa segera kembali seperti semula. Meski penggelaran upaya vaksinasi sudah dilakukan lengkap dengan pengawalannya yang terlihat gagah.
Tapi saya yakin virus corona tak memperdulikan pawai itu. Jangan-jangan mereka tersipu.