Ceknricek.com -- Bagi wartawan, dasar utama sebuah berita adalah fakta. Dalam melaksanakan prinsip kerja jurnalistik di lapangan, wartawan dibekali parameter jelas untuk menentukan apakah sebuah informasi mengandung fakta sehingga layak diberitakan atau tidak?
Mendengar kabar atau teriakan orang tentang kebakaran misalnya, tidak mungkin langsung ditulis atau diberitakan oleh wartawan. Sebelum menulis, wartawan butuh memeriksa sendiri secara langsung di lapangan atau mengontak sumber yang punya otoritas (maksudnya mengkonfirmasi pihak yang berwenang) soal kejadian kebakaran. Ini demi memastikan kebenaran fakta peristiwa itu. Ini namanya verifikasi. Begitu pula terhadap peristiwa-peristiwa lainnya.
Disiplin verifikasi ini saya kira juga menjadi mahkota dalam prinsip kerja profesional para penegak hukum polisi, jaksa, hakim, pengacara, dokter, dan profesi lainnya. Tidak serta merta polisi menangkap seseorang hanya berdasarkan laporan sepihak dari lain orang. Bahkan, pelaku yang mengaku sendiri telah membunuh seseorang tidak mungkin langsung dipercaya begitu saja oleh pihak berwajib. Harus ada verifikasi kebenaran fakta peristiwa sebelum polisi bertindak.
Sumber: Istimewa
Begitulah pengacara mestinya, kecuali kalau pengacaranya kelas abal-abal. Dalam konstelasi seperti itulah, Selasa (21/11/2018) malam, saya mengikuti program Indonesian Lawyers Club di tvOne. Amat meresahkan mendengar penjelasan pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi yang mengabaikan disiplin verifikasi.Pertanyaannya : Apakah dalam kode etik pengacara tidak ada kewajiban meneliti kebenaran informasi -- dari manapun informasi itu -- sebelum bicara kepada publik? Atau menjadikannya materi dalam pembelaan klien dalam sidang?
Benjol Sebesar Bakpao
Fredrich bicara banyak hal malam itu di ILC. Namun saya membatasi sorotan ini pada penjelasan Fredrich mengenai kejadian kecelakaan lalu lintas yang mengantarkan kliennya Setya Novanto kembali dirawat di rumah sakit.
Sumber: tvone
Sekadar mengingatkan, peristiwa itu mendapat perhatian luas publik karena sekurangnya tiga hal. Pertama, korban kecelakaan adalah Ketua DPR-RI dan Ketua Umum Partai Golkar. Kedua, korban kecelakaan berstatus tersangka dan sudah masuk Daftar Pencarian Orang (DPO). Sehari sebelumnya saat disambangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumahnya, yang bersangkutan menghilang tak tahu rimbanya. Ketiga, korban kecelakaan oleh Fredrich digambarkan menderita luka parah sehingga tak sadarkan diri. Setya Novanto mengalami benturan keras sehingga pingsan dan meninggalkan benjol sebesar bakpao di kepalanya, kata pengacara yang mengaku gemar kemewahan itu. Untuk lebih meyakinkan publik, Fredrich bahkan menggambarkan mobil Fortuner yang dikendarai kliennya hancur cur cur.
Namun, hasil investigasi yang dilakukan wartawan secara hampir serentak tanpa dikomando menemukan fakta yang berbanding terbalik. Mobil Fortuner ternyata hanya penyok di bagian bumper. Setya Novanto tidak menderita luka separah cerita pengacara. Adapun benjol sebesar bakpao tidak pernah terbukti dari sejak awal Setya Novanto dirawat, dipindahkan ke RSCM, dan akhirnya dijebloskan ke tahanan KPK.
Sumber: Istimewa
Publik dapat melihat kondisi sebenarnya Ketua Umum Golkar itu lewat liputan live media televisi. Di dahinya hanya ada bercak merah yang bisa dipastikan itu bukan bekas benjol sebesar bakpao. Fakta-fakta jomplang itulah tak syak menghiasi media sosial kita berhari-hari dalam bentuk berbagai meme yang menggelitik.
Di ILC malam itu untuk pertama kalinya saya melihat wajah Fredrich Yunadi secara jelas. Memperhatikan gestur dan kepiawaian pokrolnya.
Fredrich mengaku kejadian tabrakan malam itu memang tidak dilihatnya langsung. Itu dilaporkan ajudan Setya Novanto kepadanya dari tempat kejadian melalui telepon.
Fredrich lupa menyampaikan informasi tanpa meneliti kebenarannya terlebih dahulu, itu bukanlah fakta. Itu malah adik kandung berita hoax, berita bohong.
Yang lebih kita sesalkan, sejak semula tidak tampak kesadarannya secara profesional untuk melakukan cek dan ricek sebelum menyampaikan pernyataannya kepada wartawan. Padahal, andai memiliki kesadaran profesional sebagai lawyer dia bisa menunda semua informasi kecelakaan dengan mengatakan secara singkat, seperti misalnya : "Maaf, saya tidak di tempat waktu kejadian. Beri saya waktu sedikit untuk mengecek kejadian lebih dulu sebelum bicara kepada Anda, para wartawan".
Di ILC malam itu Fredrich tidak juga menganggap informasi terdahulu kesalahan fatal. Dia terus saja mengklaim informasi benjol sebesar bakpao adalah fakta. Fakta berdasar laporan yang dia terima dari ajudan Setya Novanto.
Sumber: tvone
Bisa saja dalam kode etik pengacara tidak diatur kewajiban meneliti dahulu kebenaran informasi yang hendak disampaikan kepada publik atau yang hendak dimasukkan dalam materi pembelaan. Yang jelas, menjadi tuntutan normatif bagi pihak manapun untuk bicara sesuai fakta peristiwa sebenarnya.
Berdasar pernyataan-pernyataan Fredrich di ILC saya memastikan pengacara tukang berkelahi ini yang setiap trip keluar negeri menghabiskan uang sedikitnya Rp3-4 miliar itu tidak paham kriteria fakta. Tidak tahu fakta itu suci. Bagi wartawan itu malah pelajaran elementer yang disuntikkan di hari pertama ia menggumuli dunia jurnalistik. The Facts are Sacred!
Memang timbul keraguan apakah Fredrich ini pengacara profesional atau hanya, ya sudahlah. Hemat kita seorang pengacara sekurangnya pastilah mengetahui bahwa dalam dunia hukum dikenal istilah error in persona. Hal Itu menuntut profesional di bidang hukum ini harus cermat dan akurat. Bukankah, salah menuliskan alamat atau data diri seseorang itu saja bisa fatal akibatnya. Sidang bisa ditunda lantaran terjadi error in persona.
Sampai Fredrich mengakhiri bicara di ILC yang dipandu Karni Ilyas, wartawan senior sekaligus ahli hukum itu, saya tidak mendengar permohonan maaf terkait kekeliruannya. Karni Ilyas mungkin dari awal sudah geli sendiri tapi dia tak mengekspresikan keadaan itu mengingat statusnya sebagai host harus menghormati semua tamunya.
Setelah memikirkan masak-masak, termasuk siap dipolisikan juga oleh Friedrich, saya memberi judul tulisan ini: "Inilah Pengacara Benjol Segede Bakpao". Setuju?