Oleh Zainal Muttaqin, MD., Ph.D.,
10/15/2023, 10:40 WIB
Ceknricek.com--Persoalan ketersediaan tenaga kesehatan dan tenaga pendidik/ guru adalah tanggung jawab konstitusional kehadiran negara yang bertujuan untuk memberikan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan seluruh rakyat, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD-45.
Pada Pasal 34 ayat 3 UUD-45 juga dinyatakan bahwa negara bertanggung-jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Selain itu, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) pasal 25 menyatakan: “Setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya”.
Kegagalan pengadaan dan distribusi Nakes, salah siapa?
Saat ini, setelah merdeka selama lebih dari 78 tahun, distribusi dokter dan nakes masih menjadi persoalan krusial yang terus terulang dan tidak pernah terselesaikan. Padahal tidak hadirnya layanan spesialistik di banyak daerah adalah bentuk ketidakadilan sosial, karena semua orang membayar iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), tetapi layanan spesialistik hanya bisa dinikmati oleh masyarakat perkotaan. Saat penyusunan bahkan sampai pembahasan RUU yang sekarang sah sebagai UU 17-2023, salah satu alasan utama yang lantang diteriakkan berulang oleh menkes adalah untuk mengatasi kekurangan dan maldistribusi dokter dan dokter spesialis.
Sekitar tahun 2000 ada program pengadaan 7 dokter spesialis dasar dan penunjang untuk 514 RSUD Kabupaten/Kota. Hingga kini, setelah 23 tahun berjalan, dengan 5 kali pemilu dan 7 Menkes silih berganti, program ini hampir separohnya (40,8%) belum terisi. Yang dilakukan menkes adalah menyalahkan Organisasi Profesi, khususnya IDI.
Kegagalan lain terkait distribusi nakes adalah tidak tercapainya pemenuhan tenaga kesehatan sesuai standar untuk puskesmas yang hanya mencapai 56% dari target sebanyak 83% jumlah puskesmas berdasarkan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 (https://katadata.co.id/yuliawati/berita/647dba44ad349).
Menurut Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dari 10.292 puskesmas, ada 3285 (31,6%) Puskesmas yang tidak punya dokter gigi (https://databoks.katadata.co.id), padahal produksi dokter gigi saat ini mencapai 2500 orang setiap tahun. Terkait distribusi nakes, adanya diskrepansi antar wilayah yang amat menyolok bisa dilihat dari data berikut ini. Di Jakarta, rasio dokter umum 1:680, bandingkan dengan Propinsi Sulbar yang 1:10417. Rasio dokter spesialis di Jakarta 52:100.000 populasi, bandingkan dengan Papua yang hanya 3: 100.000 populasi.
Hanya menkes dan jajarannya yang paling tahu kenapa para dokter gigi tidak mau atau tidak bisa ditempatkan di 3285 Puskesmas tersebut. Bisa jadi salah satu penyebabnya karena mereka mesti mencabut gigi di atas ‘kursi rotan’. Kita bisa berdebat panjang lebar terkait sulitnya distribusi dokter spesialis di banyak daerah. Pastinya, masyarakat yang paling awam-pun tahu bahwa Kemenkes dibawah Budi Gunadi Sadikin adalah kepanjangan tangan Negara yang tentu saja harus paling bertanggung jawab atas semua kegagalan tersebut di atas.
Benarkah UU 17-2023 bisa jadi solusi mengatasi distribusi nakes di daerah ?
Benarkah UU No.17-2023 akan bisa menyelesaikan masalah karut marutnya distribusi nakes? Apakah kehadiran Elon Musk untuk meng-internet-kan seluruh Puskesmas akan membantu menyelesaikan target pemenuhan Nakes sesuai Standar Puskesmas? Menkes harus tahu bahwa secanggih apapun jaringan internetnya, pasien sakit gigi tidak bisa dilakukan cabut gigi via zoom. Jadi menghadirkan dokter gigi di Puskesmas akan jauh lebih bermanfaat bagi pemenuhan hak kesehatan rakyat yang menjadi tanggung jawab menkes, bukan Elon Musk.
Awal Januari tahun ini, RSUD Chasan Boesoirie di Ternate, Maluku Utara tidak bisa memenuhi hak Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) selama 15 bulan untuk 700 Nakes ASN, 200 Nakes Non-ASN, serta 20 dokter kontrak (https://indotimur.com/kesehatan/). Awal Juli 2023 lalu, Dokter Spesialis dan Nakes di RSUD Namlea, Pulau Buru menyatakan mogok kerja karena TPP nya tidak dibayarkan selama 11 bulan (https://trans7/official/redaksi). Tidak berapa lama kemudian menyusul demo para dokter spesialis RSUD Jayapura, RSUD Abepura, dan RSJ Abepura terkait penerimaan TPP yang tidak sesuai dengan Pergub (https://www.kompas.tv/regional/438591).
Dua minggu sebelumnya, demo serupa terjadi di RSUD Sele Be Solu, Kota Sorong, karena insentif yang tidak dibayarkan selama 5 bulan. Mogok kerja para dokter umum, dokter spesialis dan dokter gigi juga terjadi awal September 2023 di RSUD Soe di Kabupaten Timor Tengah Selatan, lagi-lagi karena Tunjangan Kelangkaan Profesi yang tidak dibayarkan selama 6 bulan. Ternyata persoalan serupa juga terjadi di propinsi Aceh, di RSUD Subulussalam awal bulan September ini (https://linear.co.id/sejumlah-dokter-spesialis-di-rsud-subulussalam-mogok-kerja/).
Persoalan tentang nakes yang dipaksa bekerja rodi, dengan hak kesejahteraan yang cenderung diabaikan adalah ‘fenomena gunung es’. Di Kab. Pasaman Barat dilaporkan bahwa sejak tahun 2019 tidak ada lagi TPP maupun insentif kelangkaan profesi. Sedangkan di Kab. Pesisir Selatan besaran TPP untuk dokter umum di Puskesmas cuma sebesar Rp.170 ribu, betapa mengenaskan. Di RSUD Soe, Kab. Timor Tengah Selatan, insentif Covid bulan Januari sampai Juli 2022 tidak pernah dibayarkan, padahal input telah dilakukan sesuai jadwal pada Aplikasi Kemkes. Insentif Covid juga tidak dibayarkan sejak Juni 2021 di Jambi dengan pelbagai alasan. Bahkan di Manokwari, TPP atau insentif untuk Nakes telah ditiadakan samasekali oleh Bupati. Semua informasi dalam alinea ini didapat dari zoom meeting Kang Hadi Conscience (KHC) 4 Sept. 2023 (https://www.youtube.com/live/UOLSpp3CAXc?si=903oCvwiOvO67akB).
Terabaikannya hak-hak kesejahteraan nakes di berbagai daerah ini jelas merupakan insentif negatif untuk adanya perbaikan distribusi dokter spesialis dan sekaligus juga terpenuhinya hak rakyat di daerah untuk mendapatkan keadilan dalam layanan spesialistik sebagaimana rakyat di perkotaan. Terkait dengan seluruh persoalan nakes yang hak-hak kesejahteraannya diabaikan bagai Pekerja Rodi tersebut di atas, semua ‘staf teknis komunikasi menkes’, dalam medsos-nya secara seragam (bagai paduan suara) menyatakan bahwa semua itu bukan tanggung-jawab menkes melainkan pemerintah daerah.
Bila kita tengok pasal-pasal UU 17-2023, memang tidak satupun pasal yang bicara tentang kesejahteraan Nakes, dan tidak satupun ada narasi terkait perubahan otonomi daerah dalam hal karir dan kesejahteraan Nakes. Kalau memang demikian adanya, hendaknya Nakes Indonesia tetap bersabar dan bersatu padu bersama organisasi profesinya (IDI-PDGI-PPNI-IAI-IBI) untuk memperjuangkan dipenuhinya hak-hak tersebut. Serta terus berharap tidak lama lagi akan ada menkes yang bukan cuma pandai membuka pintu masuk bagi nakes WNA dan Industri Rumah Sakit Asing, tapi juga bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak kesejahteraan Nakes WNI di seantero negeri +62 ini.
*Zainal Muttaqin, Praktisi Medis, Gurubesar FK Universitas Diponegoro
Editor: Ariful Hakim