Ceknricek.com -- Pada periode awal pemerintahan Orde Baru, kekuatan politik Islam di tingkat nasional memperlihatkan usaha-usaha untuk menata kembali posisi politiknya. Sepanjang 1968 dan 1969, partai-partai Islam mensponsori program-program “Hari Peringatan Piagam Jakarta” yang diselenggarakan tiap 22 Juni.
Aminudin dalam buku Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia, Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto (1999) mengungkap, aktivitas ini memperoleh perhatian yang luas di kalangan masyarakat terutama umat Islam. Suatu hal yang perlu disorot, isu ini kembali merapatkan barisan kekuatan-kekuatan Islam baik NU maupun Parmusi, yang keduanya sering dianggap mewakili sayap Islam tradisional dan modernis yang sebelumnya mengalami keretakan. “Usaha-usaha gigih para pemimpin politik Islam dalam memperjuangkan Piagam Jakarta juga terlihat dalam SU MPRS, Maret 1968.”

Kekuatan Islam. Sumber: deskgram
Para pemimpin politik Islam berusaha keras untuk memasukkan Piagam Jakarta ke dalam agenda keputusan SU MPRS 1968 komisi II. Akan tetapi, usaha itu mendapat tantangan dari kelompok PNI, Kristen, dan wakil ABRI. Perbenturan antara yang menuntut dan yang menolak Piagam Jakarta dalam komisi tersebut membawa persidangan ke jalan buntu.
Menghadapi keadaan ini, menurut Allan Samson, dalam buku Islam Indonesia Sejak Orde Baru (1990), para wakil pemimpin politik Islam mengusulkan diadakan pemungutan suara untuk menentukan keputusan akhir, namun usulan itu ditolak oleh PNI. Akibat tidak adanya konsensus yang dicapai mengenai hal ini, masa persidangan diperpanjang dari jadwal semula, tetapi tetap tidak ada kemajuan berarti. “Akhirnya pimpinan MPRS memutuskan untuk menunda pembicaraan mengenai GBHN,” tulis Allan.
Percaya Diri
Kegagalan memperjuangkan Piagam Jakarta dalam SU MPRS akhir Maret 1968 tak mematahkan harapan para tokoh-tokoh Islam. Mereka berusaha melakukan lobi-lobi.
Nazaruddin Sayamsudin dalam buku PNI dan Kepolitikannya (1984), menceritakan beberapa hari setelah penutupan Sidang Umum MPRS V, wakil-wakil NU, PSII, Parmusi diterima oleh Presiden Soeharto, mereka meminta agar, meskipun Komisi II dan Komisi III dalam MPRS tidak berhasil menyelesaikan tugasnya, mereka mengharapkan pemerintah agar menjadikan aspirasi politik umat Islam direalisasikan sebagai politik resmi negara.

PNI. Sumber: Pustaka Combat
“Namun keinginan ini dikesampingkan Soeharto, yang kemudian dalam Kongres Veteran pada April 1968,” tulis Nazarudin. “Soeharto menyatakan tidak bersedia melaksanakan usul-usul dasar yang tidak ditetapkan resmi oleh MPRS.”
Aminudin menuturkan, semangat umum yang mendasari para pemimpin politik Islam dalam kurun waktu ini untuk melakukan kegiatan politik yang dilandasi demokrasi adalah kejatuhan Orde Lama dan hapusnya Komunis.
Lalu, Affan Gaffar dalam buku Partai Politik, Ellite dan Massa dalam Pembangunan Nasional (1990) menjelaskan peranan penting yang dimainkan umat Islam dalam penumpasan PKI bersama ABRI telah membangkitkan rasa percaya diri yang besar di kalangan umat Islam. Di kalangan kaum Muslimin ketika itu terdapat perasaan kuat bahwa penumpasan Gestapu/PKI sebagai “kemenangan terbesar Islam di Indonesia”.

Sumber: Bukalapak
Rapat-rapat umum yang memobilisasi massa besar-besaran kekuatan politik Islam selama penumpasan PKI telah ikut serta mempengaruhi persepsi para pemimpin Islam dalam memutuskan pilihan strategi politik apa yang hendak ditempuh dalam menghadapi perubahan konstelasi politik dalam masa transisi ke Orde Baru.
Para pemimpin politik Islam memiliki anggapan kuat, bahwa konstelasi politik ketika itu merupakan momentum yang tepat untuk mengartikulasikan kepentingan umat Islam melalui instrumen partai Islam yang mampu bersaing di gelanggang Pemilu yang kompetitif.
Indikasi ini antara lain bisa dilihat dari banyaknya organisasi Islam yang meninggalkan Sekber Golkar yang merupakan mesin Pemilu Orde Baru yang kemudian berusaha mendirikan partai Islam dengan Ormas Islam yang telah ada. Menurut Ali Moertopo dalam buku Strategi Pembangunan Nasional (1982), akibat pengosongan Sekber Golkar oleh sekitar tiga belas organisasi Islam tersebut, Golkar banyak diisi kelompok sekular dan Kristen.
Heru Cahyono menambahkan, formasi pengurus pusat Golkar pada awal Orde Baru kira-kita sepertiga dari pengurus Golkar adalah tokoh-tokoh beragama Kristen hampir keseluruhan dari mereka adalah suku Batak. Kenyataan ini tentu saja menyakitkan hati sebagian kaum santri yang sempat terpikat ke Golkar.
Bila dicermati, konstelasi kepartaian awal paruh dekade 1960-an memang terlihat sekali menaiknya pamor politik Islam akibat lenyapnya PKI di percaturan nasional, apalagi terkepingnya PNI akibat sebagian dari orang-orangnya terlihat gerakan PKI-PNI Asu. Dengan demikian, dari segi perhitungan di atas kertas konfigurasi kepartaian ketika itu bila kekuatan politik Islam berhasil mengonsolidasikan kekuatan partai politik Islamnya, mereka tidak menghadapi lawan partai politik yang berarti dalam suatu medan Pemilu yang partisipatoris.
Sekadar mengingatkan, pada saat Pemilu 1955 menghasilkan distribusi pilihan pemilih ke partai-partai politik PNI memperoleh 22,3%, Masyumi 20,9%, NU 18,4%, PKI 16,4% dan lain-lain 22,0%. PNI dan Masyumi masing-masing memperoleh 57 kursi, NU 45, dan PKI 39.

Sumber: Detik
Wajar saja, jika eks pimpinan Masyumi dan ormas-ormas pendukungnya yang sejak bulan Desember 1965 mencita-citakan terbentuknya suatu wadah politik yang dapat menampung aspirasi politik simpatisan Masyumi ingin menghidupkan kembali Masyumi.
Kongres HMI di Solo
Keinginan merehabilitasi partai politik Islam mulai disampaikan secara terbuka setelah para tokoh Islam yang ditahan selama Demokrasi Terpimpin dibebaskan oleh Soeharto. “Rehabilitasi itu mempunyai taraf yang bertingkat, ibarat pohon yang tumbuh. Di dalam pertumbuhannya ini ada yang membantu, ada pula yang menghalangi,” ujar Prawoto Mangkusasmito, pemimpin Masyumi, dalam tasyakuran pembebasan para pemimpin bekas partai Masyumi, Agustus 1966.
“Yang membantu ternyata tiap hari bertambah banyak. Dari organisasi-organisasi Islam yang tadinya ada 14, jumlah pendukungnya itu sekarang sudah meningkat dengan adanya keputusan HMI. Dulunya HMI tidak menyokong rehabilitasi, tetapi dalam Kongresnya di Solo diputuskan menyokong rehabilitasi. Dan yang terakhir ialah sokongan dari Gasbindo,” lanjutnya.
Aminudin menjelaskan, dalam akhir pidatonya yang lain, Prawoto menyatakan, suatu “rehabilitasi multi kompleks” harus meliputi pemberian kembali alat perjuangan Islam.
Apa yang dikatakan Prawoto tentang dukungan yang luas oleh komponen-komponen kekuatan politik Islam terhadap rehabilitasi Masyumi memang merupakan suatu fakta yang tak terbantahkan.
Dalam tempo tak terlalu lama, Badan Koordinasi Amal Muslimin (BKAM) yang menginginkan rehabilitasi Masyumi telah berhasil memperoleh dukungan 21 ormas Islam. Badan ini dipimpin oleh Letjend Soedirman, dan Jenderal Nasution menjadi salah satu pendirinya, keduanya perwira tinggi AD.
Dukungan terhadap upaya melegalisasi Masyumi sebagai partai politik tidak hanya terbatas pada kalangan para pemimpin organisasi-organisasi Islam. Lembaga-lembaga kajian ilmiah, akademisi, kelompok profesi dan institusi terkait memberikan dukungan terhadap partai Islam yang berjaya pada era Demokrasi Parlementer 1955 itu.
Berbagai seminar yang diselenggarakan Universitas Indonesia, KASI, dan LIPI mendukung langkah rehabilitasi Masyumi. Nada dukungan terhadap pendirian kembali partai “kaum Muslim” modernis juga datang dari hasil kajian seminar AD 11 di Bandung. Bahkan, Persatuan Ahli Hukum Indonesia (Persahi) menegaskan, pembubaran Masyumi dan PSI sebagai keputusan ilegal dan inkonstitusional. Rehabilitasi kedua partai itu justru semakin memperkuat Orde Baru.
Soeharto Menolak
Kenyataan tersebut memperlihatkan betapa besar harapan kebangkitan politik Islam melalui artikulasi politik partai Islam ketika itu. Maraknya keinginan membangun partai politik yang memiliki basis massa Islam yang luas waktu itu muncul karena kondisi psikologis setelah kejatuhan rezim Orde Lama yang penuh dengan luapan harapan dalam memainkan peranan aktif arena politik yang demokratis. Selain juga peran penting yang dimainkan kekuatan politik Islam dalam ikut merontokkan rezim Orde Lama yang berarti melicinkan Orde Baru ke tampuk kekuasaan.

Sumber: Tirto
Abdul Aziz Thaba dalam buku Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (1996) mengungkap keinginan para pemimpin politik Islam itu mulai mengambang setelah Jenderal Soeharto mengirim surat (6 Januari 1967) sebagai jawaban surat keberatan Prawoto (22 Desember 1966) terhadap status pembubaran Masyumi. Dalam surat itu Jenderal Soeharto mengemukakan:
“Pada kesempatan ini saya juga ingin secara berterus-terang menjelaskan kepada saudara, bahwa ABRI sebagai keseluruhan angkatan maupun keluarga prajurit-prajurit, sungguh-sungguh telah memberikan banyak pengorbanan lahir dan batin untuk menumpas pemberontakan itu. Saya berharap Saudara dapat memahami pendirian pemerintah pada umumnya dan ABRI pada khususnya, terhadap bekas partai politik Masyumi. Alasan yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis telah membawa ABRI tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik Masyumi.”
Konsideren surat penolakan rehabilitasi Masyumi di atas memunculkan banyak analisis yang mengaitkan penolakan dengan keterlibatan Masyumi dalam beberapa pemberontakan daerah.
Namun analisis semacam ini agaknya masih bisa diperdebatkan, karena hampir secara bersamaan para tokoh Islam yang sama sekali tidak terlibat dengan berbagai peristiwa pemberontakan juga dilarang pemerintah merehabilitir atau mendirikan partai baru seperti kegagalan Bung Hatta untuk mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) dan kegagalan kalangan Muhammadiyah atas inisiatif Mulyadi Djoyomartono untuk mengaktifkan kembali Partai Islam Indonesia (PII).

Sumber: Elshinta
Perlakuan rezim Orde Baru berbeda sekali terhadap orang-orang eks Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang jelas-jelas terlibat gerakan pemberontakan PRRI/Permesta dan tokoh-tokoh Murba yang pemah dinyatakan sebagai partai terlarang. Tokoh-tokoh PSI dan Murba pada awal Orde Baru segera diberi posisi-posisi politik yang strategis dalam penentuan kebijakan (policy making) oleh rezim Orde Baru.
Jadi, menurut Abdul Aziz Thaba, faktor lain yang bisa menjelaskan latar belakang larangan rezim Orde Baru terhadap berbagai usaha konsolidasi partai politik Islam adalah karena terdapat perasaan antipartai yang meluas di kalangan anggota inti koalisi Orde Baru, terutama perwira AD dan kaum intelektual pembaru.
Selanjutnya, orang-orang di lingkaran Jenderal Soeharto pada kurun 1960-an dan 70-an banyak didominasi tokoh-tokoh yang memiliki pandangan yang tidak simpatik dengan kelompok Islam.