Ceknricek.com--“Raja adil Raja disembah, Raja lalim Raja disanggah”, begitulah ajaran dan pesan orang tua-tua kita. Pesan dan petuah ini terlintas kembali di benak saya ketika menyaksikan seorang Senator berdarah pribumi Australia, Lidia Thorpe, di layar televisi Australia menjerit dan berteriak “Kamu bukan Raja saya; kamu bukan Raja kami!”.
Raja yang dimaksudkannya adalah Raja Inggris Charles III, yang sekaligus juga adalah “Kepala Negara” Australia yang masih berada dalam Kumpulan Persemakmuran Inggris.
Raja Charles III beserta Permaisuri Camilla baru beberapa hari sebelumnya singgah di Australia dalam perjalanan untuk menghadiri Pertemuan pimpinan Negara-Negara Persemakmuran Inggris yang akan diselenggarakan di Samoa, Pasifik, dari tanggal 25 hingga 26 Oktober. Persinggahan Raja Charles III di Australia itu laksana “sambil menyelam minum air” atau “sekali mengayuh dayung dua-tiga pulau terlampaui”.
Ketika masih remaja, Charles pernah bersekolah di Australia, tepatnya di kota kedua terbesar di Negara Bagian Victoria, setelah ibukota Melbourne, yakni Geelong yang terkenal dengan Perguruan SD-SMP-SMA-nya dikenal dengan nama Geelong Grammar School.
Sekolah di Geelong, yang terletak sekitar 60 km dari ibukota Melbourne, dikenal sebagai lembaga pendidikan yang sudah banyak menghasilkan mantan siswa yang kemudian jaya dalam kehidupan mereka, baik dalam bidang politik, bisnis maupun akademis. Di antara para siswa yang berasal dari luar negeri, juga ada yang datang dari Indonesia, meski dana yang diperlukan untuk dapat menimba ilmu di sekolah swasta ini cukup tinggi.
Untuk kelas satu SD saja, termasuk asrama, makan dan minum, biayanya mencapai sekitar 36-ribu dolar Australia setahun. Dalam rupiah kalikan 36-ribu dolar dengan 10-ribu rupiah. Namun ternyata sekadar biaya yang tinggi itu tidak menghalangi cukup banyak siswa asing yang disekolahkan keluarganya di Geelong, termasuk dari Indonesia.
Ternyata bukan Gibran dan keluarga mantan Presiden JW saja yang diejek . Ketika dilangsungkan jamuan kenegaraan untuk menghormati Raja Charles III dan Permaisuri Camilla di Aula Utama Gedung Parlemen Australia yang dihadiri ratusan undangan, tiba-tiba terdengar lampiasan angkara murka seorang perempuan.
Ternyata suara itu tersembur dari mulut seorang Senator berdarah pribumi Australia, Lidia Thorpe, yang merupakan salah seorang undangan.
“Kamu (maksudnya Raja Charles III) bukan Raja saya. Kamu bukan Raja kami”.
Amukan itu ditujukan kepada Tamu Agung Raja Charles III, setelah Baginda menyampaikan sambutannya.
“Saya tidak menerima bahwa kamu berdaulat (di Australia ini)!”
Tidak cukup sampai di situ, Senator Lidia Thorpe sebelum akhirnya digiring ke luar gedung, juga melampiaskan amarahnya dengan menuduh Raja Charles III (maksudnya tentu para petugas Kerajaan Britania di masa lalu yang “menjajah” Australia) melakukan genosida terhadap penduduk pribumi Australia yang telah bermukim di benua itu selama sekitar 65 ribu tahun.
“Kamu melakukan genosida terhadap bangsa kami; kembalikan kepada kami tanah kami; kembalikan apa yang telah kamu jarah dari kami; tulang belulang kami; tengkorak-tengkorak kami, bayi-bayi kami, rakyat kami; kamu hancur luluhkan tanah kami; beri kami perjanjian, kami menuntut suatu perjanjian.”
Ketika digiring keluar oleh petugas keamanan, Senator Lidia Thorpe sambil berjalan mundur dan terus mengarahkan sorotan matanya ke Raja Charles III, masih sempat mengumandangkan “Ini bukan tanah kamu, kamu bukan raja saya!”.
Umumnya para undangan lainnya tidak sudi melihat kegaduhan seperti itu, meski ada juga yang menganggap bahwa “itu merupakan bagian dari kehebatan demokrasi”.
Sebenarnya bukan sekali ini saja Senator Lidia Thorpe bikin ulah. Bahkan ketika akan diambil sumpahnya sebagai Senator pun dia sudah bikin gara-gara, yaitu dengan kepalan tangan yang diacungkan ke atas, sebagai pertanda “lambang perlawanan Masyarakat kulit hitam (bumiputera) Australia.”
Ketika diambil sumpahnya itu Lidia Thorpe juga tidak bersedia mengikrarkan kesetiaan kepada kepala Kerajaan Inggris waktu itu, yakni Ratu Elizabeth II, bunda kandung Raja Charles III, tanpa menyertakan embel-embel “Penjajah Ratu Elizabeth”.
Pada hal ketika Raja dan Permaisuri tiba di ruang jamuan, mereka sudah disambut secara tradisional bumiputera Australia, diwakili seorang “Bibi” bernama Violet. Umumnya tanggapan berbagai pihak, termasuk bahkan oleh sementara tokoh bumiputera Australia, kurang menghargai perlakuan yang diperagakan Senator Lidia Thorpe itu.
Senator Lidia Thorpe memang laksana seorang “pemberontak”. Awalnya dia terpilih sebagai Senator melalui pengusungan Partai Hijau, namun kemudian ia “pekong” alias pecah kongsi dari partai yang terkenal karena terobosan-terobosannya itu, dan kini hadir dalam majelis perwakilan nasional (federal) Australia sebagai “Independen”, dan partai yang mengusungnya tidak kuasa berbuat sesuatu apa, kecuali hanya bisa gigit jari. Bagaimanapun Senator Lidia Thorpe dipilih oleh rakyat di dapilnya, dan hanya merekalah, rakyat dapil nyalah, yang berhak untuk mencopotnya.
Vox Populi Vox Dei? – Suara rakyat Suara Tuhan? – tepuk dada tanya selera.
Pemimpin Oposisi dalam Majelis Rendah Australia (Parlemen) seorang mantan polisi bernama Peter Dutton, hanya mampu melampiaskan kemarahannya terhadap sang Senator dengan menyentil, “dia (maksudnya Senator Lidia Thorpe) tidak segan-segan mengantongi seperempat juta dolar setahun gaji sebagai Senator, namun bertingkah laku seperti itu dalam kedudukannya sebagai Senator.”
Kisah Menarik Raja Charles I
Ketika masih pangeran dan putra mahkota Charles juga dikenal dengan julukan Pangeran dari Wales – salah satu bagian dari Britania Raya. Disamping England, Irlandia Utara dan Skotlandia – ke-4 wilayah yang membentuk Britania Raya (lebih dikenal di Indonesia dengan nama Inggris). Ketika akhirnya Pangeran Charles naik ke takhta Kerajaan Britania Raya, ia disapa sebagai Raja Charles III.Maksudnya tentu sudah pernah ada Raja Charles I dan Raja Charles II.
Akan halnya Raja Charles I memang hidupnya berakhir dengan tragis. Batang lehernya dipenggal dengan kapak khusus.
Alkisah, Raja Charles I terlibat dalam perseteruan dengan kaum Puritan (suatu mazhab agama Protestan Inggris yang berkembang di abad-abad ke-16 dan ke-17). Mazhab ini dikenal sangat “saleh” alias taat dalam menjalankan ajaran yang mereka anut. Sampai-sampai mereka menolak perayaan Natal karena, kata mereka, perayaan itu dijadikan alasan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak senonoh dan bertentangan dengan anutan mereka.
Dan ketika kaum Puritan pindah ke Amerika di abad ke-17, penguasa yang memerintah waktu itu di jajahan Massachusetts, dalam tahun 1659 melarang Natal dirayakan.
Akan halnya dengan Raja Charles I, sempat terlibat dalam “perang saudara” dengan kaum Puritan pimpinan Oliver Cromwell, yang berlangsung selama 7 tahun, dengan jatuhnya ribuan korban jiwa. Perang saudara itu dapat dikatakan antara “pihak Kerajaan dan pihak Parlementer”, yang berkesudahan dengan hukuman pancung atas diri Raja Charles I.
Pada tanggal 30 Januari 1649 (di tengah-tengah musim dingin yang amat sangat) Raja Charles I harus menjalani hukuman pancung yang dilaksanakan di depan umum.
Ketika akan keluar dari ruang istana ke tempat pemancungan, Raja Charles I meminta kepada pembantunya agar dicarikan mantel yang tebal karena udara yang sangat dingin di luar ruang istana.
Sang pembantu berkata, “Bukankah Tuanku akan dipancung, kenapa harus mikirin pakaian?”
Raja Charles I menjawab, “Di luar sangat dingin. Aku tidak sudi kalau ketika rakyat menyaksikan aku menggigil karena udara yang dingin, mereka menyangka seakan aku menggigil karena takut dipancung!”
Bravo Raja Charles I.
Editor: Ariful Hakim