Kekejaman Belanda Mungkin Pembawaan Lahir? | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Kekejaman Belanda Mungkin Pembawaan Lahir?

Ceknricek.com--Dalam hidup ini ada hal-hal yang tidak bisa diperlakukan sesuai petuah “yang sudah sudahlah”, karena bisa-bisa “yang akan datang bikin lagi”. Sebagaimana suka diingatkan “barangsiapa melupakan sejarah niscaya akan mengulanginya” (George Santayan).

Presiden Pertama NKRI Bung Karno sendiri pernah mengingatkan dalam pidato terakhirnya pada Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan R.I. 17 Agustus 1966 agar bangsa Indonesia “Jangan sekali-kali Melupakan Sejarah” yang kemudian dikenal dengan kependekan “Jas Merah”. (Pernah salah seorang Putera Almarhum dilaporkan mengingatkan bahwa Jas Merah adalah kependekan dari “Jangan Meninggalkan Sejarah”?).

Apapun sejarah adalah sejarah dan tidak selamanya sejarah ditulis oleh yang menang.

Yang menjadi mangsa atau korban perbuatan “bersejarah” yang pernah dilakukan oleh pihak yang lebih kuat, (dalam hal ini penjajah Belanda di detik-detik terakhir keberadaannya di Indonesia 5 Januari 1949) ternyata masih mengingat segala kebengisan, kezaliman, kebuasan, kebiadaban (papakerma) serdadu Belanda yang sayangnya waktu itu masih ada juga di kalangan sesama saudara kita sebangsa dan setanah air yang bersedia membantunya.

Ternyata seorang wartawati Belanda yang sempat kuliah jurusan sejarah di Universitas Amsterdam, Belanda, Anne-Lot Hoek, sempat menukilkan peristiwa pembantaian di Rengat (Sumatera Tengah) pada tanggal 5 Januari 1949 itu. Dan uraiannya memang pantas sangat memilukan hati siapa saja yang berperikemanusiaan.

Sebenarnya dengan kejadian-kejadian belakangan ini khusus di Timur Tengah sejak lebih dari setahun silam, boleh-jadi dapat disimpulkan bahwa ada “bangsa” di kalangan umat manusia yang sama sekali tidak mengenal apa yang disebut perikemanusiaan atau kasih sayang antara sesama manusia.

Dalam Tahun 1511, seorang pemikir dan humanis Belanda, Desiderius Erasmus Roterodamus, lebih dikenal dengan nama tengahnya Erasmus, pernah mencela habis-habisan sikap masyarakat waktu itu yang ditudingnya “telah dibimbing oleh anutan keyakinan yang didasarkan atas darah….” (The Lessons of Terror oleh Caleb Carr, halaman 65).

Kita juga masih ingat bahwa kebijakan “apartheid” yang diterapkan keturunan Belanda di Afrika Selatan sejak tahun 1948, juga didasarkan atas “anutan keyakinan berlandaskan darah”, karena dianggap sangat tidak manusiawi, sebab harkat dan martabat seorang manusia dinilai sesuai dengan warna kulitnya – yang putih laksana malaikat, yang hitam atau bahkan kurang putih laksana hamba sahaya.

Syukur akhirnya Nelson Rolihlahla Mandela dengan bantuan masyarakat mancanegara berhasil  mengakhiri kebijakan yang sangat nista itu.

Rengat, Sumatera Tengah, 5 Januari 1949.

Pada hari Rabu tanggal 5 Januari 1949 pesawat-pesawat tempur-pembom jenis Mustang P-51 Belanda terdengar menderu di atas Rengat. Pesawat-pesawat tersebut menghujani jejalanan, rumah-rumah penduduk sipil dan pasar Rengat dengan bom dalam operasi yang diberi nama sandi Operasi Lumpur (Operatie Modder).

Banyak penduduk Rengat yang bersaksi bahwa “pesawat-pesawat tempur Belanda itu bahkan menembaki para pelalu Lalang, dan rumah-rumah penduduk sipil".

Dalam arsip yang tersimpan (mungkin sampai kini) di Lembaga Sejarah Militer Belanda (Nederlands Instituut voor Militaire Historie) disebutkan pada hari itu juga Pasukan Khusus Belanda disiapkan untuk diberangkatkan dari Tjililitan (Jakarta) dengan pesawat Dakota, dan kemudian diterjunkan dengan payung di Jambi dalam apa yang disebut Operasi Gagak.

Catatan-catatan yang ada menjelaskan tentang “sambutan” sengit dan penuh semangat oleh laskar rakyat atas kedatangan pasukan Belanda itu. Dan menurut laporan dari pihak Belanda, dalam tembak-menembak itu 80 orang laskar rakyat serta warga sipil gugur.

Laporan lain menyebutkan sejumlah warga sipil, termasuk personal kepolisian, pegawai negeri, sipir penjara – semuanya warga Indonesia - sempat disejajarkan di sebuah lapangan dan dieksekusi, dan mayat-mayat mereka kemudian dicampakkan ke dalam Sungai.

Termasuk Bupati Toeloes bin Haji Manan – ayah kandung pujangga “Binatang Jalang” Chairil Anwar. Ada laporan yang menyebutkan “karena sang Bupati terkesan begitu tenang dan gagah dalam menghadapi pasukan Belanda, mereka menembaknya dari belakang”.

Singkat cerita, waktu itu Sungai Rengat sempat tumpat, dan masyarakat di sekitarnya selama beberapa waktu yang cukup lama tidak mau memakan ikan yang ditangkap di sungai, apalagi setelah pernah ditemukan jari manusia dalam perut seekor ikan yang sempat tertangkap. Belanda mengaku “hanya” 80 orang yang terbantai, sementara kenyataannya adalah puluhan kali dari itu yang dihabisi Belanda.

Belanda menyebut segala kejadian itu “kebetulan” (accindental), sementara menurut beberapa pengamat itu adalah perbuatan “terstruktur’. Dikatakan, tentara Belanda yang dikerahkan, di antaranya ada yang sudah kelelahan karena terus dikerahkan untuk beroperasi ke berbagai tempat di Indonesia, dan sebagian dari mereka, sebelum ditugaskan dan dikerahkan ke Rengat telah dicekoki tablet Benzedrine, “obat” yang dalam Perang Dunia II banyak digunakan untuk “melawan kelelahan”. Ketika Amerika bercokol di Vietnam melawan Viet Cong, obat ini juga banyak digunakan.

Wartawati Anne-Lot Hoek mengatakan bahwa “budaya pasukan khusus Belanda itu punya kemiripan dengan sikap penjahat perang Raymond Turk Westerling, yang membangga-banggakan pembantaian itu sebagai suatu prestasi besar. Dalam memoir yang diterbitkan dalam Tahun 1952 di Belanda, Westerling melukiskan dirinya sebagai “Ratu/Raja Adil”, sebagai “Robin Hood” dari Timur, dan misi yang dilancarkannya dihiasi “aura keagamaan”, yang didasarkan keyakinan bahwa “bangsa Indonesia akan dibebaskan melalui kekerasan massa yang membenturkan mereka dengan mereka”.

Meski pembantaian di Rengat itu termaktub dalam berbagai arsip yang tersimpan di sejumlah perpustakaan, seperti Universitas Leiden, namun seakan tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk membongkar pembantaian itu secara tuntas. Makanya timbul pertanyaan di sementara kalangan: Kenapa baik Belanda maupun Indonesia seakan tidak bernafsu atau berminat untuk menyelipkan peristiwa jahat ini dalam buku-buku sejarah kedua negara?

Kalau Belanda memang seolah ingin menutupi kejadian ini demi nama baiknya, maka itu masuk akal. Tetapi Indonesia sebagai korban? Pernah seorang mahasiswa S3 asal Swiss yang menemukan arsip “Pembantaian Rengat” dalam perpustakaan sebuah perguruan tinggi di Belanda, bertanya “Kenapa Indonesia berdiam diri?”

Dalam tahun 1980-an  ketika Orde Baru masih berkuasa pernah ada “sentilan pedas” dari berbagai pihak di Belanda tentang “Riwayat Hak Asasi Manusia”  di Indonesia di bawah Presiden Suharto. Indonesia memilih “meneng-meneng wae”.

Kenapa, ya?

Pada hemat saya Orde Baru waktu itu tidak ingin seakan membenarkan perbuatannya yang dicela itu (semisal Peristiwa Tanjung Priok?), dengan mengungkit kembali perbuatan tercela yang serupa bahkan mungkin juga sama yang pernah dilakukan Belanda ketika menjajah Indonesia.

Sesabar itukah kita seharusnya?

Ada sentilan: “Menghilangkan satu nyawa anda akan dituduh pembunuh, namun kalau anda menghilangkan sejuta nyawa maka anda akan disebut penakluk dan kalau anda membunuh seluruh umat manusia anda adalah Tuhan.” (Jean Rostand). Wallahu a’lam.

 

 


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait