Ketika Presiden RI ke-8 Bertutur Bahasa Inggris di Tiongkok | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Ketika Presiden RI ke-8 Bertutur Bahasa Inggris di Tiongkok

Ceknricek.com--Ternyata banyak juga sekarang ini yang masih suka bertanya: “Ketika Marco Polo merantau ke Tiongkok, dia menggunakan bahasa apa?" Begitu juga halnya dengan Ibnu Batutah.

Sebagaimana diketahui Marco Polo berasal dari Venesia (Italia) sementara Ibnu Batutah berasal dari Maroko (Afrika Utara).

Sudah pasti ketika Marco Polo dalam abad ke-13 melakukan lawatan selama bertahun-tahun di Tiongkok, bahasa utamanya adalah Bahasa Italia, sementara Ibnu Batutah dalam kunjungannya ke Tiongkok (dan dalam perjalanan pulang ke Afrika Utara di abad ke-14) dilaporkan sempat singgah di Kerajaan Sriwijaya, menggunakan bahasa Arab.

Begitukah?

Rasanya belum ada catatan sejarah yang mengisahkan bahasa-bahasa yang digunakan oleh Marco Polo dan Ibnu Batutah ketika mereka melanglang buana ke Tiongkok.

Namun kita kini mengetahui bahasa apa yang digunakan Presiden R.I. ke-8 Prabowo Subianto ketika beliau melakukan kunjungan resmi pertamanya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia ke Tiongkok – Bahasa Inggris.

Dan ternyata banyak warga Indonesia, terutama mereka yang berada dalam kelompok diaspora, di antaranya di Australia, yang ternyata kurang begitu gembira ketika mendengar Presiden Prabowo Subianto, membalas sambutan selamat datang dari Presiden X Jin Ping, sebagai tuan rumah, menggunakan Bahasa Inggris.

Mungkin mereka yang kecewa itu sempat merasa sangat bangga dan penuh harapan ketika terbetik berita bahwa “Bahasa Indonesia akan dikumandangkan ke seluruh jagat raya” alias menjadi salah satu bahasa dunia.

Akan halnya Presiden Prabowo Subianto, ternyata juga kurang menyadari tentang “anjuran” agar pejabat-pejabat tinggi dari Indonesia kalau berkunjung ke luar negeri sebaiknya menggunakan Bahasa Indonesia dalam upacara dan acara resmi.

Sebagaimana disebut dalam Peraturan Presiden (Republik Indonesia) yang berlaku selama ini: “Perpres ini menyebutkan, penyampaian pidato resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam pada forum yang diselenggarakan di luar negeri dilakukan dengan menggunakan Bahasa Indonesia.

Pidato resmi sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, disampaikan dalam forum resmi yang diselenggarakan oleh: a. Perserikatan Bangsa-Bangsa; b. organisasi internasional; atau c. negara penerima.

“Penyampaian pidato resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dapat disertai dengan atau didampingi oleh penerjemah,”.

Tidak ada yang menyangsikan bahwa memang Presiden Prabowo Subianto fasih bukan saja berbahasa Inggris melainkan juga bahasa-bahasa asing lainnya.

Cuma, nah ada cuma-nya, ketentuan yang berlaku mewajibkannya menggunakan Bahasa Indonesia dalam acara atau upacara resmi, seperti pertemuannya dengan pemimpin-pemimpin asing.

Lalu dalam keadaan seperti ini siapa yang berkewenangan untuk menegur Presiden dan Kepala Negara dan Panglima Tertinggi Republik Indonesia itu? Apalagi dalam budaya seperti budaya kita yang begitu kental “ewuh pakewuh”-nya?

Kalau dibiarkan saja, maka nanti bakalan terulang, dan tentu saja bakalan ada yang mohon bertanya “untuk apa dibuat ketentuan kalau bisa mudah dilanggar tanpa hukuman atau sekadar teguran?”

Memang kita menyadari bahwa Bahasa Inggris sudah men jagat raya, sampai-sampai ada yang berani menyimpulkan bahwa mungkin tiap-tiap satu dari lima orang di dunia ini dapat berbahasa Inggris.

Pernah seorang Konsul Jenderal Republik Indonesia yang ditugaskan di Melbourne, memerlukan mendatangi Radio Australia (waktu itu) sekadar untuk menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada badan siaran luar negeri Australian Broadcasting Corporation (ABC) itu.

“Ketika masih bersekolah orang tua saya tidak mampu untuk membiayai saya mengikuti kursus Bahasa Inggris. Berkat adanya acara Pelajaran Bahasa Inggris dari Radio Australia, saya berhasil memperlancar kemampuan Bahasa Inggris saya hingga akhirnya saya diterima berkarir di Kementerian Luar Negeri R.I.,” katanya kepada pimpinan Radio Australia waktu itu.

Tujuan “Internasionalisasi Bahasa Indonesia”, antara lain, adalah demi peningkatan Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Internasional (yang) bertujuan untuk menunjukkan jati diri dan meningkatkan daya saing bangsa (Indonesia)”.

Kita, meski waktu itu  (28 Oktober 1928) barangkali belum sempat hadir, namun tetap berkenalan dengan apa yang dikumandangkan oleh para “pemoeda” waktu itu:

                                                SOEMPAH PEMOEDA

Pertama  : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE  BERTOEMPAH DARAH YANG SATOE, TANAH INDOENESIA.

KEDOEA  : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA YANG SATOE BANGSA INDOENESIA.

KETIGA      : KAMI POETRA DAN POETRI INDOENESIA MENJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN BAHASA INDOENESIA.     

Semoga!


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait