Ceknricek.com -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Jokowi untuk mengevaluasi kepolisian RI secara menyeluruh. Permintaan itu merespons temuan Kontras yang menerima 1.900 dokumentasi foto dan video dalam kanal partisipasi publik saat dilakukannya aksi penolakan Omnibus law dan aksi lain.
Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti mengatakan Kontras menemukan praktik kekerasan oleh aparat kepolisian yang mengintimidasi dan merepresi massa aksi dengan memaki, menyemprotkan water cannon, menembakkan gas air mata, memukul hingga menendang.
Berbagai tindakan tidak manusiawi lainnya secara berulang-ulang yang dilakukan polisi kepada berbagai elemen masyarakat seperti mahasiswa, buruh, aktivis, jurnalis, hingga warga ini didokumentasikan dalam video yang ditayangkan di akun YouTube dan media sosial Kontras serta dipersoalakan Polri.
“Kami menilai penggunaan kekuatan oleh Polri bukan lagi sebagai upaya penegakan hukum ataupun menjaga keamanan, melainkan sebagai bentuk relasi kuasa antara negara dengan warga negara dalam bentuk penghukuman tidak manusiawi kepada massa aksi dalam rangka memberangus kebebasan berekspresi, berkumpul, dan menyampaikan pendapat,” dalam keterangan tertulis, Sabtu (14/11/20).
Foto: Ashar/Ceknricek.com
Fatia menyebut hasil dokumentasi dari publik semakin menunjukkan bahwa Kepolisian Republik Indonesia menjadikan pendekatan represif, penggunaan kekuatan berlebihan menjadi prosedur tetap dalam melakukan penanganan terhadap aksi massa.
Dia juga memberikan beberapa contoh aksi yang ditangani kepolisian dengan menggunakan pola yang sama, yakni kekuatan secara eksesif, penghukuman tidak manusiawi dan tidak adanya pengusutan proses hukum yang serius terhadap aparat kepolisian sebagai bentuk koreksi kinerja mereka, seperti dalam aksi May Day di Bandung hingga Bawaslu pada 2019.
Pola lain yang ditemukan di berbagai daerah ialah sulitnya mengakses informasi mengenai keberadaan para peserta aksi yang ditangkap dan ditahan, serta adanya upaya penghalangan akses bantuan hukum oleh kepolisian yang melanggar hak untuk mendapatkan bantuan hukum.
“Tindakan ini juga mengindikasikan adanya berbagai pelanggaran prosedur yang membuat aparat kepolisian menutup-nutupi proses hukum yang dilakukan dari publik pada umumnya dan pendamping hukum pada khususnya,” imbuh Fatia.
Keberulangan peristiwa ini menurut Fatia ditunjang oleh ketiadaan mekanisme akuntabilitas negara yang efektif dan mampu memberikan keadilan kepada korban ketika mencoba menguji ruang-ruang akuntabilitas internal dan eksternal dari praktik pembubaran paksa terhadap kebebasan berkumpul pada beberapa kasus.
“Melalui pemantauan publik serta rekam jejak penanganan kasus yang selama ini didampingi oleh KontraS maka perbaikan menyeluruh di tubuh Korps Bhayangkara harus segera dilakukan. Hal ini mengingat peristiwa kekerasan dalam penanganan aksi massa terus berulang dan tidak mendapat perhatian yang tegas dari presiden,” tandas Fatia.
Baca juga: Aksi Massa Omnibus Law, MUI Minta Jokowi Kendalikan Aparat