Ceknricek.com -- Lembaga Sensor Film (LSF) ajak masyarakat untuk melakukan gerakan sensor mandiri atau memilah tontonon sesuai klasifikasi usia dalam menonton berbagai jenis film.
Hal itu disampaikan ketua LSF Rommy Fibry dalam webinar bertema “Sensor Mandiri dan Literasi Media Pemuda untuk Indonesia Maju” yang diselenggarakan secara virtual, Selasa (25/8/20).
“Di harapkan masyarakat mampu memilah dan memilih tontonan yang sesuai dengan klasifikasi umur melalui berbagai sosialisasi yang digelar oleh LSF," kata Rommy.
Dia berharap, gerakan sensor mandiri yang sedang dikembangkan LSF ini tidak dipahami sebagai aksi “lempar body”.
“Dengan gempuran yang semakin menjadi, semua film dengan mudah ditemukan di platform digital di masa sekarang, kalau masyarakat mengerti tentang sensor mandiri, ini akan menjadi rem bagi mereka semua ketika akan menonton film,” ujar Rommy.
“Karena itu tidak mungkin LSF bekerja sendirian, tentu harus berkerja sama dengan parlemen, kementerian atau lembaga negara lain, organisasi kemasyarakatan, berbagai komunitas, para sineas dan sebagainya untuk mempromosikan sensor mandiri kepada masyarakat,” sambungnya.

Sumber: Istimewa
Rommy juga berpesan kepada para sineas bahwa sensor mandiri sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengekang kreativitas.
“Sensor mandiri tidak bermaksud untuk menyensor karya sineas, tetapi sineas diajak untuk mengkampanyekan sensor mandiri,” ujarnya.
Romy menjelaskan saat ini LSF memiliki paradigma baru dalam melakukan sensor. Sensor tidak dilakukan dengan memotong dan menggunting pita film seperti di masa lalu.
Dalam melakukan sensor, LSF akan melihat dan mencatat time code film dari awal sampai akhir. Kemudian time code untuk adegan yang dianggap melanggar regulasi akan dicatat dan disampaikan kepada pemilik film.
“Pemilik film boleh mempertanyakan, dan memprotes pun tidak ada masalah. Silakan datang ke LSF untuk mendiskusikan catatan yang diberikan tadi,” kata Rommy.
Konsekuensi Konvergensi
Ketua Umum JMSI Teguh Santosa dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa sensor mandiri adalah konsekuensi dari konvergensi media yang tengah terjadi.
Teguh mengutip buku karya Yasraf Amir Piliang yang berjudul “Sebuah Dunia yang Dilipat” yang ditulis tahun 1998. Di dalam buku itu antara lain diilustrasikan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang membuat dunia dapat dilipat seperti kertas dan disimpan di dalam saku.
“Dengan demikian, ia (sensor mandiri) menjadi semacam software yang harus dimiliki setiap individu yang berinteraksi dengan dunia digital,” ujar Teguh.
“Sehingga setiap tontonan yang kita saksikan berdampak positif dan konstruktif, tidak destruktif, apalagi bagi bangsa yang sangat beragam ini,” sambungnya.
LSF, sambungnya, dapat melakukan sensor untuk film-film yang ditayangkan di bioskop. Tetapi “gunting sensor” LSF tidak dapat menjangkau tayangan-tayangan yang disebarkan dengan menggunakan platform digital, seperti oleh Netflix atau Youtube.
Sumber: Istimewa
Sementara itu, sineas Lola Amaria mengatakan, proses pembuatan film memakan waktu yang cukup lama. Dalam proses pembuatan, film maker sangat berhati-hati. Sineas juga memiliki kesadaran untuk melakukan sensor mandiri atas karya-karya film yang diproduksi.
“Saya sebagai pembuat film sangat sadar bahwa film yang saya buat ini masuk akal dan penuh dengan pertimbangan yang ukurannya bukan lagi (memenuhi kriteria) sensor oleh LSF, tetapi disensor oleh diri sendiri karena tanggung jawabnya ke masyarakat. Sebagai sineas saya menjaga agar efek yang sampai ke masyarakat positif,” urai Lola Amaria.
BACA JUGA: Cek Berita SELEBRITI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.