Ceknricek.com -- SAYA kembali membaca buku karya wartawan hebat, BM Diah. Judulnya, “Mahkota Bagi Seorang Wartawan”. Pak Diah -- begitu kami menyebutnya--adalah pemimpin redaksi kami di Harian Merdeka, yang juga miliknya di Jl AM Sangaji, Jakarta Pusat. Saya banyak belajar dari Pak Diah, selama tujuh tahun jadi guru jurnalistik saya, terutama soal arah politik surat kabar.
“Mahkota Bagi Seorang Wartawan” berisikan wawancara Pak BM Diah dengan Mikhail Gorbachev, pemimpin Uni Soviet, negara superpower dunia, selain Amerika Serikat. Wawancara di Kremlin pada 21 Juli 1987 tentang pengurangan nuklir, glasnost-perestroika, dan Perang Dingin dengan Blok Barat.
Hasil wawancara, beberapa jam kemudian, dirilis Kantor Berita Soviet, Tass, dan menjadi berita utama surat kabar seluruh dunia. Reaksi datang dari pemimpin AS, Prancis, Jepang, Inggris, India, dan lainnya. Para pemimpin dunia itu mendorong Soviet dan Amerika menyepakati pengurangan nuklir jarak pendek dan menengah.
Sumber: Dok.Ceknricek.com
Hasil wawancara, tidak saja dimuat di Harian Merdeka, tapi Pak Diah (1917-1996) juga membuat bukunya berjudul “Mahkota Bagi Seorang Wartawan”. Sebagai wartawan, Pak Diah -- yang juga murid Eduard Douwes Dekker (Setia Budi) -- adalah penulis buku sejarah gerakan Revolusi 1945.
Baca Juga: Surat-surat Wasiat Mendiang Nana
Sumber: Istimewa
Buku Angkatan Baru 45 mencatat proses penandatanganan Teks Proklamasi yang digerakkan pemuda, antara lain Adam Malik, Sayuti Melik, dan Pak Diah, yang berlanjut dengan "penculikan" Bung Karno ke Rengasdengklok. Dalam buku tersebut dijelaskan pertentangan antara kelompok tua yang ragu dengan kelompok anak-anak muda yang progresif. Pak Diah juga satu-satunya yang menyimpan teks asli Proklamasi hasil ketikan Sayuti Melik. Teks itu telah diserahkan ke negara.
Sumber: Dok.Ceknricek.com
Penulisan buku wawancara dengan Mikhail Gorbachev, bagi Pak Diah -- diplomat, menteri penerangan, dan ketua umum PWI --merupakan mahkota sebagai wartawan.
**
BEBERAPA BULAN lalu saya berbincang dengan Bang Ilham Bintang tentang buku yang sedang dibuatnya. Buku kumpulan reportase jurnalistik itu berjudul "Surat-Surat Wasiat Mendiang Nana". Buku ini akan diluncurkan di Jakarta, 2 Februari 2020, sekaligus menyongsong Hari Pers Nasional (HPN) di Banjarmasin, 9 Fabruari.
Tahun lalu, Bang Ilham -- biasa kami panggil Bang IB -- juga menerbitkan buku : “Jalan-Jalan Ala Ilham Bintang," Tidak banyak wartawan seperti Bang IB, yang produktif menulis buku -- setidaknya, hingga kini sudah tujuh bukunya diterbitkan, di antaranya “Tantangan Media Menegakkan Kode Etik Jurnalistik” ; “Mengamati “Daun-daun Kecil Kehidupan”, (Gramedia, 2007); “Salam dari Meruya”; “Indolumpulle - Ibunda”; dan “Madang”.
Buku Jalan-jalan Ala Ilham Bintang diterbitkan tahun lalu. Saya menyukai bahasa buku ini yang mengalir, renyah, dan detail. Bang IB tidak saja melaporkan apa yang dilihatnya -- lazimnya laporan jurnalistik -- tapi juga diperkaya dengan data, suasana, dan perenungan. Sejarah kariernya sebagai wartawan sejak 1976, menjadikan buku tersebut "bukan laporan jurnalistik yang biasa."
Sumber: Dok.Ceknricek.com
Ketika berbincang dengan Bang IB beberapa bulan lalu tentang rencana penerbitan buku ini, saya terkenang Pak BM Diah, yang menuliskan berbagai pengalamannya dalam buku, meski tulisan-tulisan tersebut sudah dimuat di surat kabar. Wartawan besar, di antaranya Pak Adam Malik, Pak Muchtar Lubis, termasuk penulis buku hebat.
Saya selalu percaya, mahkota bagi wartawan adalah buku. Seorang wartawan dapat menulis berita dengan sangat baik dan menghebohkan, namun ibarat harta, tulisan itu berserakan dan bahkan bisa saja dilupakan.
Wartawan yang menulis buku, ibarat mengumpulkan harta yang berserakan di satu tempat, kemudian membaginya kepada publik sebagai warisan yang tidak akan pernah habis.
Saya kini menunggu “Surat-Surat Wasiat Mendiang Nana”.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini
Editor: Farid R Iskandar