Ceknricek.com - EMPAT tahun lalu, pria besorban asal Papua itu dikenal sebagai juru kampanye pasangan Capres Prabowo/Hatta. Kala itu, Ali Mochtar Ngabelin, nama lengkapnya, mengebu-gebu menjagokan capres yang didukungnya. Pintar ngomong, jago meledek dan bersilat lidah, doktor lulusan Universitas Negeri Jakarta itu, bahkan sempat diadukan ke polisi. Itu karena ledekannya saat kampanye. Ia dituduh telah melecehkan dan menghina Capres Jokowi.
Tapi itulah. Tak ada musuh abadi dalam politik. Adagium klasik itu terbukti kini dipertontonkan oleh Presiden Jokowi dan juga Ali Mochtar Ngabalin. Terhitung 1 Mei 2018, menurut rilis Kepala Staf Presiden Muldoko, Rabu, 23/5, politisi, mubaligh, dan dosen kelahiran Fak-Fak, Papua Barat, 49 tahun lalu itu, resmi diangkat menjadi staf di lingkungan presiden. “Saya sekarang tenaga Ahli Utama KSP (Kantor Staf Presiden),” ujar Mochtar Ngabalin.
Suara ayah lima anak itu terdengar riang ketika mengabarkan pengangkatan dirinya. Mantan ketua DPP PBB di bawah Prof Yusril Ihza Mahendra itu, bisa jadi sudah melupakan masa kampanye seru yang dijalaninya bersama massa pendukung Prabowo tahun 2014.
Kini, ia tampak amat siap mendukung capres yang dulu diledeknya: “kurus kerempeng”. Ngabalin pun tangkas menghindar ketika disinggung masa pilpres 2014. “Ah, sudahlah politik itu kan dinamis,” katanya, seraya tertawa lebar. Dia seperti berharap ihwal penyeberangannnya ke kubu presiden petahana, dimaklumi.
Apa yang yang diharapkan Presiden Jokowi atau KSP dari Ustad Papua itu?
"Dia adalah politikus senior yang punya banyak pengalaman dan jaringan,” kata Jenderal Pur. Muldoko, Kepala Staf Presiden. Dalam siaran pers yang dikirim ke redaksi media, Muldoko mengklarifikasikan bahwa Mochtar bukan juru bicara presiden. Ngabalin, jelasnya, adalah tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden. Bukan sebagai Juru Bicara Presiden."
Mochtar Ngabalin sendiri menambahkan, dia sebenarnya sudah sejak setahun lalu diajak bergabung memperkuat kubu Presiden Jokowi. “Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara) yang menyampaikan keinginan presiden. Waktu kami bertemu, beliau mengajak agar saya bisa ikut membantu Bapak Pesiden. Tapi, baru kemarin SK-nya keluar,” tutur Mochtar Ngabalin.
Saat ini, ia diminta untuk mem-back up kinerja bidang komunikasi KSP. ”Terutama untuk menjelaskan kepada rakyat dan ummat banyak pencapaian yang sudah dihasilkan Presiden Jokowi.”
Umat atau massa Islam. Itulah memang target bidikan Presiden Jokowi pada pilpres 2019. Terutama setelah banyak massa Islam di pelbagai daerah menggelar aksi memakai kaus bertagar #2019 Ganti Presiden. Di Istana Bogor, ketika bertemu dengn para relawan pendukungnya, Presiden Jokowi sempat pidato agak emosional mencela gerakan kaus.” Masak dengan kaus mau ganti presiden.” katanya.
Apa pun, gerakan memakai kaus menolak dirinya itu boleh jadi memang muncul dari mayoritas umat Islam. Dalam kaitan itulah, orang menafsirkan, Presiden Jokowi mulai aktif melakukan manuver merangkul ummat. Di antaranya, pada Minggu 24 April 2018, presiden secara diam-diam sempat bertemu dengan para ulama yang bergabung dalam Tim Sebelas Persaudaraan Alumni 212 di Istana Bogor.
Dalam pertemuan yang kemudian dibocorkan ke media sosial itu, terungkap dialog dan pesan para tetamu, yang meminta Presiden Jokowi menghentikan tindakan “kriminalisasi ” yang setahun terakhir ini gencar dilakukan polisi terhadap ulama. Secara khusus para ulama itu meminta agar “sangkaan” polisi terhadap Habib Rizieq Shihab (HRS) yang mereka nilai penuh rekayasa, bisa segera dicabut. Dengan pencabutan status tersangka, HRS yang kini buron dan bermukim di Mekah, dapat segera kembali ke tanah air.
Lihat: Bocornya Pertemuan Tertutup Presiden Jokowi—Tokoh Alumni 212
Islah dengan tokoh ulama penggerak Aksi Bela Islam 212 itu belum sepenuhnya berhasil. Dan mungkin terus akan berproses.
Kini, manuver baru tampak dilakukan Kantor Staf Presiden dengan merangkul Ali Mochtar Ngabalin. Kebetulan politisi berbasis Islam ini, berteman cukup dekat dengan Habieb Rizieq Shihab, imam besar Front Pembela Islam (FPI) dan tokoh kuat di belakang Persaudaraan Alumni 212. Suara umat di belakang Gerakan 212 itu, agaknya memang layak dihitung Presiden Jokowi.