Media Bukan Burung Onta yang Steril | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Media Bukan Burung Onta yang Steril

Ceknricek.com--Masih panas suasana Hari Pers Nasional (HPN) 2022 yang dipusatkan di Kendari, tiba-tiba jagat whatsapp PWI diramaikan oleh rilis Ketua Umum PWI Pusat Atal S.Depari tentang tragedi Desa Wadas di Jawa Tengah. Dia mengatakan agar wartawan membuat berita fakta dan berimbang. Permintaan tersebut dinilai Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat Periode 2008 – 2018 Marah Sakti Siregar sangat normatif dan terkesan komplain dari pihak tertentu. Seharusnya juga mengingatkan pemerintah agar memberikan informasi yang faktual dan benar.

“Isinya bagus mengingatkan secara normatif agar wartawan bekerja sesuai koridor KEJ. Sayangnya, keterangan Ketum PWI tersebut agak miring ke pemerintah yang memang dalam posisi tersudut karena sejumlah pernyataan protes,” demikian lanjutan berita yang dirilis KABAR18.COM tersebut.

Berita itu melanjutkan, “Pernyataan PWI tidak menyebut apalagi memprotes langkah polisi yang represif terhadap rakyat yang sedang berjuang membela hak mereka”.

Rilis tersebut selain sangat normatif dan terkesan menyalurkan pesan sponsor, di lain pihak kita lalai memaknai kehadiran media sosial ketika warga mengambil alih sebagian peran pers, menyampaikan informasi kepada publik. Walaupun media sosial tidak dapat ditelan bulat-bulat sebagai muatan pers arus utama, tetapi dalam banyak pengalaman yang terjadi, konten media sosial menjadi bahan awal pemberitaan yang menarik. Lihatlah betapa sering media TV menggunakan video amatir yang dijadikan sebagai berita utama yang tentu saja setelah ditindaklanjuti dengan peliputan sesuai KEJ.

Kita tidak dapat menyalahkan warga yang merekam tindakan represif aparat, yang puluhan tahun selama pemerintahan Orde Baru merupakan hal yang tabu. Mestinya,aparat harus menahan diri dan menempuh tindakan preventif yang lebih persuasif.

Membaca rilis Ketua PWI Pusat yang menekankan kepada para wartawan agar memberitakan sesuatu yang akurat dan berimbang sesuai KEJ, saya tiba-tiba teringat dengan Teun Adrianus van Dijk, seorang politisi, jurnalis, penulis, dan cendekiawan kelahiran Belanda. Dia sangat berjasa dalam mengkaji masalah teks yang dikenal di dalam “critical discourse analisys” (CDA) – analisis wacana kritis. Dia menilai reproduksi wacana di dalam berita sering dikatakannya sebagai “elite simbolis” dalam studi berita.

Salah satu teorinya yang kebetulan berkaitan dengan rilis Ketua PWI Pusat itu adalah melihat struktur mikro yang berkaitan dengan aspek semantik dari teks berita. Teks berita yang diproduksi oleh Ketua PWI Pusat dapat dianalisis dengan menggunakan pisau analisis salah satu dari tiga variabel teori Van Dijk ini. Teori yang dimaksud adalah variabel maksud yang menempatkan produser teks akan berbicara sesuatu yang menguntungkan dirinya, termasuk karena pengaruh atau motivasi yang lain. Praktik ini akan memosisikan seseorang yang memproduksi teks menyembunyikan atau menghindari untuk mengemukakan sesuatu yang seharusnya diungkapkan sebagai penyeimbang. Penyeimbang yang saya maksudkan di sini adalah mengimbau kepada aparat keamanan agar tidak bertindak represif terhadap warga. Pemerintah pun harus menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya kepada publik, mengingat mereka lebih mudah dan cepat mempercayai apa yang tersebar di media sosial yang kecepatannya bagaikan sama dengan mata berkedip.

Dalam situasi dan kondisi, saat masyarakat lebih mudah mengakses informasi melalui media sosial, para penentu kebijakan, termasuk organisasi wartawan harus membaca kondisi ini. Jauh lebih banyak publik yang memegang dan membuka gawai dibandingkan yang menonton TV dan membaca koran. James C.Foust, salah seorang penulis mengatakan, karakter media sosial adalah memungkinkan terjadinya penyampaian informasi secara cepat dan langsung kepada audiens serta keleluasaan menyimpan informasi tersebut dalam waktu yang cukup lama. Juga memungkinkan terjadinya peningkatan partisipasi yang diberikan oleh pembaca melalui berbagai fasilitas media sosial yang tersedia. Apalagi media sosial itu mampu mengombinasikan sejumlah media untuk suatu informasi yang serupa.

Membaca rilis tersebut saya merasa kita ini sedang diajak untuk kembali ke masa lalu, Orde Baru dengan praktik mengimbau dan meminta dan sebagainya terhadap media pers, sementara pemerintah sendiri tidak pernah diminta untuk melakukan apa-apa terhadap sesuatu. Kecuali, menindaki pers yang nakal dan bandel.

Pers pada masa lalu adalah pers yang cenderung “partisan”. Noam Chomsky, mahaguru ilmu linguistik Institut Teknologi Massachusetts sendiri pernah menyebutkan bahwa media selalu memiliki bias-bias tertentu di dalam dirinya. Media tidak pernah bisa memosisikan dirinya seperti layaknya burung onta yang steril. Media pasti berpihak. Sialnya lagi, media berpihak dan loyal pertama-tama bukan pada warga – seperti yang ditekankan Tom Rosentiel dalam Sembilan Elemen Jurnalisme-nya – melainkan pada para saudagar, pengusaha, atau pemilik modal/media tersebut.

Secara yuridis formal berdasarkan KEJ tersebut menuntut setiap wartawan hendaknya menyajikan berita secara akurat dan berimbang, yakni dengan meliput kedua belah pihak yang terkait dengan suatu berita. Akan tetapi, .River (2003) menegaskan bahwa tidak ada netralitas media alias tidak ada media/jurnalistik yang netral. Jurnalistik atau media ‘’selalu’’ berpihak, yaitu kepada pemiliknya.

Dalam dunia jurnalistik yang dikenal adalah media yang independen dan bebas. Media yang netral dan bebas ini di belahan bumi mana pun tidak akan pernah ditemukan. Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara liberal dan kerap menjadi ‘’kiblat’’ kebebasan pers di jagat ini, justru dalam praktiknya dan tersirat menempatkan diri sebagai negara yang bukan menjadi lahan yang subur bagi media bebas.

Sebuah catatan Kristina Borjesson (2006), editor buku ‘’Mesin Penindas Pers, membongkar Kebebasan Pers di Amerika’’ yang berisi kesaksian sejumlah wartawan top Amerika peraih penghargaan korban pemberangusan sistematis mungkin menarik disimak.

’’Saya kira pers dicotok hidungnya dan saya kira pers mencotok hidungnya sendiri.. Maaf, harus saya katakan begitu, tetapi tentu televisi – dan mungkin pada tingkat tertentu termasuk televisi saya -- diintimidasi pemerintah dan para serdadunya di FOX News. Dan, nyatanya itu menghadirkan iklim ketakutan dan swasensor dalam hal siaran yang kami lakukan…Semua sikap politik dalam pandangan saya – apakah itu pemerintah, intelijen, wartawan, siapa pun – tidak menanyakan pertanyaan-pertanyaan keras, misalnya tentang senjata pemusnah massal. Maksud saya, sepertinya ini adalah disinformasi pada tingkat yang paling tinggi.      (Christine Amampour dari CNN dan CBS pada acara Topik yang diasuh Tina Brown di CNBC pada 10 September 2003).

Lalu, bagaimana dengan kita di negeri ini? Wassalam! (*).


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait