Ceknricek.com--Saat seorang ibu hamil datang ke RS periksa ke dokter Spesialis Kebidanan, dia percaya penuh bahwa si dokter akan melakukan yang terbaik berdasarkan perkembangan ilmu yang terkini untuk menjaga kehamilan sampai persalinannya kelak. Dalam bidang penyakit apapun, pasien atau masyarakat penerima layanan kesehatan bisa yakin dan percaya penuh pada keputusan dokter, dalam menuliskan resep obat sampai melakukan tindakan terbaik dalam ikhtiar mengatasi masalah kesehatannya, karena pasien yakin atas Kompetensi dokternya.
Seorang dokter bisa dinyatakan kompeten untuk melakukan sebuah tindakan medis, mulai dari memilih obat untuk diresepkan, menolong persalinan, sampai melakukan operasi bedah mikro yang komplek, setelah melalui proses pendidikan untuk mencapai kompetensi, sampai kemudian dinyatakan lulus uji kompetensi. Sejak terbentuknya lembaga kolegium pada pelbagai disiplin ilmu spesialis, selama lebih dari 40 tahun, lembaga kolegium inilah yang telah bekerja tanpa lelah menyusun semua standar terkait kompetensi, proses pencapaian kompetensi, standar dosen, standar RS Pendidikan, bahkan sampai pada standar praktek profesi.
Selain ujud dari kewajiban konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kolegium dari setiap disiplin ilmu spesialis tersebut secara mandiri, tunduk hanya pada kebenaran ilmu (Evidence Based Medicine), serta bebas dari Conflict of Interest, berperan sebagai sebuah academic body yang melindungi masyarakat dari praktek dokter abal-abal, praktek dokter yang seolah menolong tapi sebenarnya hanya mencari cuan dari ketidak-tahuan pasien, serta dari tindakan pengobatan yang belum terbukti bermanfaat, masih coba-coba dan hanya berbasis testimoni pejabat belaka ala Klinik Tong Fang atau Dukun Ponari.
Sekali lagi, kompetensi telah disalah-artikan oleh banyak petinggi kesehatan di kemenkes sebagai sekedar bisa melakukan, pernah melakukan atau bahkan berpengalaman melakukan sebuah tindakan medis. Andai tukang parkir di RS saya ajak jadi asisten operasi perdarahan otak tiga kali seminggu selama 6 bulan, maka bisa dipastikan dia akan bisa dan trampil melakukan operasi perdarahan otak, tapi apakah ketrampilan itu bisa disebut sebagai kompetensi? Bahkan untuk kompeten menuliskan resep obat saja, dokter harus tahu indikasi (kondisi yang perlu obat tsb.), kontra-indikasi (kondisi yang tidak boleh diberikan obat tsb.), komplikasi/ efek samping obat tsb., serta bagaimana mencegah dan mengatasi bila terjadi komplikasi. Semua itulah yang disebut sebagai Body of Knowledge terkait setiap kompetensi apapun.
Kompetensi Dokter Bukan Cuma Ketrampilan yang Bisa diberikan via Pelatihan model BLK
Penguasaan Body of Knowledge menjadi syarat mutlak setiap kompetensi medis, termasuk menuliskan resep obat, demi Keselamatan Pasien penerima layanan kesehatan. Syarat ini tentu tidak diperlukan untuk keahlian vokasi semacam montir mobil, bahkan untuk seorang Bankir, dan tentu saja tidak mungkin dimiliki oleh si tukang parkir meskipun ia secara vokasi trampil melakukan operasi. Ketrampilan vokasi seorang montir atau tukang reparasi TV atau Mesin Cuci tersebut cukup dilatih di BLK 3-6 bulan. Jelas beda dengan kompetensi untuk setiap tindakan medis serta bagaimana proses pencapaian kompetensi dalam setiap disiplin ilmu seperti Spesialis Jantung, Spesialis Bedah Saraf, serta Spesialis Kebidanan yang telah terstandarisasi secara nasional, regional, bahkan global, oleh masing-masing Kolegium Disiplin Ilmu yang ada di setiap Perhimpunan Dokter Spesialis.
Standar-standar ini, oleh para petinggi kemenkes dianggap tidak sesuai bahkan dibilang menghambat proses pemenuhan kebutuhan SDM dokter untuk operasionalisasi berbagai alat kesehatan yang sudah terlanjur dibeli atau dalam proses distribusi ke banyak Faskes daerah di seluruh Indonesia. Sebanyak 10 ribu alat USG telah didistribusikan ke berbagai faskes primer/ puskesmas selama 2022-2023 (https://kemkes.go.id/cegah-kematian-ibu-dan-stunting-melakukan-deteksi-kelainan-secara-dini), tanpa perencanaan yang baik terkait kebutuhan SDM nya. Akibatnya banyak alat yang mangkrak sebagaimana pengadaan alat inkubator bayi yang terjadi lebih dari 10 tahun lalu, yang kini sebagian besar jadi fossil karena tidak pernah terpakai.
Kolegium Obstetri dan Ginekologi (OBGIN) telah menyusun Modul USG Dasar Terbatas untuk PPDS dan dokter umum. Terkait dengan operasionalisasi alat USG yang sudah terdistribusi tanpa dukungan SDM yang memadai, kemenkes memang sudah melakukan pelatihan, yang tujuannya menghindari proyek ini menjadi temuan KPK karena alat mangkrak dan terjadi pemborosan anggaran. Tetapi fakta yang ada membuktikan pelatihan yang dilakukan oleh kemenkes tidak memadai karena karena dibebani materi lain (Antenatal Care) yang mengambil alokasi 75% waktu pelatihan. Selain itu bimbingan praktek (hands on) juga tidak memadai karena tenaga pengajarnya seharusnya sudah mengikuti TOT yang disenggarakan POGI. Hal ini penting sekali terkait dengan standarisasi, karena pelatihan oleh siapapun harus berbasis kompetensi dan bukti sesuai standar Kolegium OBGIN sebagai Pengampu Keilmuan (Academic Body).
Akibat dari pelatihan yang substandar ini, wajar bila dilaporkan oleh POGI di satu propinsi, bahwa tingkat kesalahan pada hasil pemeriksaan USG tersebut mencapai 60%. Meskipun ini bukan kesalahan dokter umum yang memeriksa dengan USG tersebut, tapi ini adalah bukti kelalaian menkes dan kemenkes yang salah memaknai arti sebuah kompetensi, dan korbannya adalah ibu hamil dan masyarakat luas penerima layanan kesehatan.
Demikian pula pengadaan Cath Lab, mestinya didasarkan pada analisis kebutuhan (need assesment) yang tepat. Analisis mesti mencakup studi epidemiologis yang adekuat tentang cost-effectiveness dan cost-benefit-nya. Evaluasi kebutuhan ini harus didasarkan pada data akurat tentang prevalensi penyakit jantung akut yang memerlukan tindakan kateterisasi, bukan sekedar berdasarkan asumsi yang tidak terverifikasi. Berdasar atas Perpres 12/2021, pada setiap proses pengadaan barang diwajibkan perencanaan matang, berbasis kebutuhan, dan barang yang dibeli sesuai spesifikasi teknis yang ditetapkan.
Pengadaan Cath-Lab tanpa didasari Studi Epidemiologi dan Perencanaan SDM yang Akurat
Berdasarkan sumber yang akurat, kemenkes telah melakukan pengadaan 14 Unit Cath Lab dengan Dana Alokasi Khusus sebesar 252 M, dan sedang merencanakan pengadaan 419 Unit Cath Lab lagi dengan dana 7,5 T pinjaman dari World Bank dan Asian Infrastructure Investment Bank. Terkait dengan proyek ini, muncul sejumlah fakta bahwa ini bukan proyek strategis, tidak tercantum dalam RPJMN Bidang Kesehatan tahun 2019-2024, dan tidak didasarkan pada perencanaan yang tepat.
Salah satu hambatan serius pengoperasian Cath Lab di berbagai daerah di Indonesia adalah kurangnya kardiolog intervensi yang terdistribusi secara merata. Menurut data dari Perhimpunan Intervensi Kardiologi Indonesia (PIKI), jumlah kardiolog intervensi di Indonesia masih sangat terbatas, yaitu kurang dari 300 orang. Sebagian besar mereka telah bekerja sebagai intervensionis di kota-kota besar. Sejumlah RS yang telah menerima Cath Lab ini ternyata tidak memiliki Kardiolog Intervensi, akibatnya alat tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk penanganan pasien. Diperlukan waktu setidaknya 3-5 tahun untuk terpenuhinya SDM Kardiolog Intervensi di beberapa RS yang Cath Lab-nya telah terpasang, lalu bagaimana dengan 419 Cath Lab lain yang saat ini dalam proses pengadaan?
Sebuah tindakan operasi di kamar bedah, selain spesialis anestesi dan spesialis bedah, perlu setidaknya 4 orang perawat trampil (2 orang dalam posisi steril dan 2 orang lagi sebagai perawat sirkuler yang tidak steril). Hal serupa berlaku pula untuk setiap unit Cath Lab, setiap 1 Unit Cath Lab untuk bisa efisien, setidaknya perlu 2 tim intervensi, yang masing-masing terdiri atas 1 dokter kardiolog intervensi dan 4 perawat trampil yang terlatih sebagai perawat intervensi. Jadi untuk operasionalisasi Cath Lab di 514 RS kabupaten/kota, diperlukan setidaknya 1034 kardiolog intervensi dan 4000 lebih perawat yang kompeten dan memerlukan pelatihan secara berkelanjutan. Tanpa kehadiran perawat intervensi yang kompeten, tindakan memasukkan katheter ke pembuluh darah jantung berpotensi menimbulkan komplikasi serius yang memperburuk dan membahayakan jiwa pasien dan bisa berakibat munculnya dampak hukum yang merugikan Dokter dan RS.
Situasi tidak adanya dokter spesialis jantung (Sp JP, atau Sp PD-KKV) dengan kompetensi kardiologi intervensi ini tidak mungkin bisa dipenuhi dalam waktu singkat. Kolegium Jantung jelas menolak pola pikir sesat (logical fallacy) menkes, yang menganggap tindakan pasang ring jantung setara dengan ketrampilan vokasi seorang montir, sehingga bisa diajarkan pada dokter umum dengan pelatihan selama 6 bulan, bak pelatihan montir mobil di BLK. Betapa berbahayanya bagi masyarakat penerima layanan kesehatan, bila pola pikir sesat seperti ini kelak dijadikan landasan kebijakan dengan menguasai seluruh Kolegium Disiplin Ilmu sesuai Permenkes 12/2024. Kolegium tidak lagi mandiri sebagai Academic Body, bahkan perannya berubah menjadi sekedar para pesuruh yang tunduk di bawah ketiak menkes.
Upaya menkes Menguasai dan Mengacak-acak Kompetensi Medis Harus Segera Dihentikan
Bagi menkes, semua kegiatan pelatihan terkait USG (dan juga Cath Lab) semata hanya bertujuan agar alat kesehatan yang sudah dibagikan tidak mangkrak (dan tidak jadi temuan KPK). Soal penguasaan dan pemenuhan standar kompetensi itu ada di urutan terakhir, sebagaimana hasil pemeriksaan USG yang 60% salah bukan lagi tanggung-jawab menkes, bila masyarakat tidak puas silahkan menuntut dokternya via Majlis Disiplin Profesi (yang dipimpin oleh Bukan Dokter dan samasekali tidak tahu beda antara etika profesi dan disiplin profesi).
Rusaknya standar kompetensi setiap tindakan medis jelas akan menurunkan kualitas layanan kesehatan bagi rakyat banyak, dan masyarakat luas akan jadi korban dari praktek kedokteran yang substandar, sebagaimana telah terjadi dan terbukti terkait kompetensi pemeriksaan dengan USG. Layanan kesehatan oleh Dokter dan Nakes dengan kompetensi yang substandar akan berujung pada rusaknya kepercayaan masyarakat kepada dokter Indonesia, dan situasi ini bisa jadi sebuah skenario yang disengaja demi memuluskan upaya menghadirkan dokter dan Nakes asing sebagai bagian dari bisnis Industri layanan kesehatan oleh para Pemilik Modal.
Dengan UU 17/2023, PP 28/2024, dan PMK 12/2024, menkes merusak, mengacak-acak, sampai mengangkangi seluruh aspek tatakelola dokter dan nakes, mulai dari produksi sampai distribusi dokter dan nakes. Bagi menkes, kesehatan rakyat adalah obyek bisnis mencari keuntungan, bagian dari liberalisasi dan industrialisasi layanan kesehatan. RS Vertikal dijadikan BUMN Kesehatan untuk menghasilkan revenue sebesar-besarnya, bukan lagi sarana untuk memenuhi kewajiban konstitusi untuk memenuhi hak rakyat untuk hidup sehat. Semua lembaga kontrol dan penjaminan mutu terkait kompetensi dokter-pun sepenuhnya dikangkangi dan dijadikan alat legitimasi bagi semua kebijakan yang berorientasi bisnis dengan orang sakit sebagai obyeknya.
Oleh karena itu, kami Dokter Indonesia mengajak seluruh komponen Civil Society (LBH, YLKI, Ecosoc, Elsam, ICW, Lapor Covid, CISDI, Transparency International, Komnas HAM, Komnas PT, Komnas Anak, PBHI, MHKI, dll. serta Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia) yang peduli akan kualitas layanan kesehatan bagi rakyat, untuk bersinergi dan bergerak dalam sebuah platform yang sama, mendukung Presiden Prabowo Subianto untuk segera mengembalikan posisi kesehatan dan kesejahteraan rakyat sebagai kewajiban konstitusi negara kepada rakyatnya, dengan menghentikan upaya dan kebijakan menkes menguasai Kolegium Spesialis melalui PMK 12/2023 yang selanjutnya akan mendegradasi makna kompetensi medis dan membahayakan kualitas layanan kesehatan bagi rakyat banyak, dan menjadikan orang sakit sebagi obyek bisnis mencari untung semata.
#Zainal Muttaqin: Pengampu Pendidikan Dokter Spesialis, Aktivis Dokter Indonesia Bersatu
Editor: Ariful Hakim