Ceknricek.com--Aku di Antara Santri. Judul ini cukup unik dan membuatku bersemangat mengambil waktu untuk membaca catatan kehidupan Prof. Nurhayati Rahman, seorang pengajar di Universitas Hasanuddin. Meski tampilan luar buku tersebut tak begitu seronok -- karena terkesan agak suram -- tapi isi buku ini, yang merupakan sejarah kehidupan dan perjuangan dari perempuan ahli La Galigo, membuatku tak bisa beranjak menghentikan tangan membuka lembar demi lembar. Alasannya karena buku ini penuh kejutan.
Soal nama diri, misalnya, Kak Nur -- demikian aku biasa memanggil Prof. Nurhayati Rahman -- ternyata memiliki tiga bahkan empat nama. Dimulai dari saat ia lahir. Semua kakaknya wafat saat kecil. Maka ketika Nurhayati lahir, ia diberi nama I Tuo, yang dalam bahasa Bugis artinya "Sang Kehidupan" -- disimbolkan dengan matahari. Itu adalah doa dari orang tua agar sang anak mendapat umur panjang.
Dengan indahnya, Kak Nur menuliskan makna penamaan dirinya itu berikut ini:
"Menurut kisah-kisah epik La Galigo, kehadiran matahari saat fajar mulai menyingsing disebut dettia mammula cabbeng matahari yang mulai muncul di timur memancarkan cahayanya. Pada saat dini seperti itu dikisahkan para keturunan dewa-dewi berkumpul di beranda sao raja — istana untuk bermusyawarah dan bersenda gurau. Alam menyambutku, tak ubahnya dettia mammula cabbeng — pemberi cahaya kehidupan bagi orang di sekitarku. Semoga kelak aku bisa memberi cahaya kehidupan pada orang sekitarku, sesedikit apa pun itu. Begitulah doa-doa yang dilantunkan oleh kedua orang tuaku ketika meng-adzani kedua telingaku."
Saat berusia balita, Kak Nur pernah terseret air bandang saat bermain di sungai. Ia diselamatkan oleh seorang nelayan. Sesudahnya ia sakit parah hingga kritis selama beberapa hari. Kak Nur mampu bertahan hidup, tapi kemudian rambutnya rontok parah. Maka ia pun dipanggil I Condong. Artinya "si rambut jarang". Meski semula merasa bingung, Kak Nur mengakui ia menoleh saja saat kawan-kawan masa kecilnya memanggil dengan sebutan itu. Berarti, ia tak berkeberatan dengan panggilan tersebut.
Sewaktu masuk sekolah dasar (SD), Kak Nur menolak masuk sekolah jika namanya tetap I Tuo. Maka oleh sang ayah namanya diubah menjadi Hayati. Artinya tetap sama: kehidupan. Menjelang tamat SD, nama depan ditambahkannya "Nur" sehingga namanya menjadi Nurhayati, yang bermakna "Cahaya Kehidupan". Lalu, karena menggeluti mahakarya La Galigo selama puluhan tahun, kini Kak Nur juga kerap dipanggil Sitti Galigo oleh koleganya. Meski, ada beberapa nama yang menempel di dirinya, kejatian diri Kak Nur tetap tak berubah.
Kejatian diri perempuan cerdas ini juga terbentuk dari latar belakang keluarga. Kak Nur, yang dilahirkan di Bone, memiliki seorang ibu dari keluarga bangsawan, Hajjah Andi Zubaidah atau Puang Bajo. Menilik bagan silsilah keluarga terlihat bagaimana kuatnya darah bangsawan mengalir dalam dirinya. Dari pihak ibu, kakeknya yang kelima secara vertikal adalah La Rumpang Mégga Petta Karaéngngé Matinroé ri Bola Sadana (Datu Tanete merangkap Datu Lamuru dan Datu Mario Soppeng). Ia memiliki istri bernama I Manédara. I Manédara melahirkan seorang putri bernama Datu Tinusu. Diketahui, Datu Tinusu bersaudara lain ibu dengan Colliq Pujié Arung Pancana Toa, perempuan penyalin La Galigo di era kolonialisme Belanda dulu. Memahami hal tersebut, setiap membuka naskah-naskah La Galigo di Perpustakaan Leiden, Belanda, yang merupakan salinan tangan Colliq Pujié, Kak Nur selalu membaca Al Fatihah untuk mendoakan para leluhurnya.
Ayah Kak Nur bernama A.G. K.H. Abd. Rahman Matammeng. Lelaki bangsawan ini merupakan Jaksa Tinggi dari suatu kelompok "separatis": Darul Islam - Tentara Islam Indonesia (DI-TI) di wilayah Sulawesi Selatan. Maka mengalir pulalah cerita-cerita unik tentang masa balita Kak Nur di lokasi persembunyian DI-TII di Sulawesi Selatan, tepatnya di sekitar Kabupaten Bone. Bagaimana ia mendengar suara tembakan, menolak digendong seorang bertangan buntung (yang dihukum potong tangan karena mencuri) dan sebagainya. Meski hidup dalam persembunyian, masa kecil Kak Nur tetap mengandung kisah-kisah bocah yang indah.
Kehidupan yang dinamis dan naik turunnya kehidupan ekonomi orang tua tak pernah membuat Kak Nur menyerah kalah. Saat anak-anak, ia mendapatkan kehidupan yang dekat dengan alam. Mencari ikan dengan bubu dan mencari jambu biji dengan muka berbalur bedak dingin adalah memori tak terlupakan.
Kehidupan yang berbeda karena perpindahan orang tua dari Bone ke Makassar juga menjadikan Kak Nur belajar beradaptasi dengan berbagai pola kehidupan dan berbaur dengan orang dari berbagai latar belakang budaya. Namun akhirnya ia tetap memiliki jati diri yang kukuh dengan prinsip-prinsip hidup yang kuat, seperti kejujuran, kerja keras dan harga diri.
Masih banyak lagi hal menarik dan inspiratif dari memoar Kak Nur ini. Dan sangat pantas kiranya jika catatan kehidupan tersebut dibukukan oleh Yayasan Obor Indonesia, yang terkenal sebagai penerbit buku-buku bermutu di Indonesia. Maka membaca buku ini adalah membaca pembentukan kedirian seorang Nurhayati Rahman. Kukuh dan teguh, gigih tanpa pamrih.
Untuk menutup catatan ini, simaklah puisi Kak Nur yang dimuat dalam buku tersebut:
Sang Gembala (2014)
Gonrio rio ri gonré régong-régong
Begitulah senandungmu lembut mengalun
dari bibir mungilmu
pada bait-bait absurd yg tak kumengerti
Suara selingan sulingmu melengking tinggi
mendayu sampai ke langit tujuh lapis
pada senja yang asyik bercumbu
menanti malam yang berbinar
Sungguh aku tak paham
seribu kunang berkelebat di awan
mengerumuni seluruh mimpimu
pada petala bumi yg ranggas
Engkau sang gembala,
adakah kau masih di situ
membawa pesan rinduku yg menggelora
di tujuh ngarai dan lembah yg sepi
Tidak lagi, katamu
dunia semakin edan
kerbau-kerbau itu
Kini jadi liar dan menakutkan
Editor: Ariful Hakim