Ceknricek.com -- Dunia hiburan Indonesia tahun 70-an pernah memiliki idola seorang artis serba bisa. Ia bisa menyanyi, bermain sandiwara, bahkan film. Namanya Tan Tjeng Bok, alias “Si Item”. Pada era keemasan tonil ia bahkan dikenal dengan nama “Douglas Fairbanks van Java”.
Mengawali karier sebagai seorang kacung dalam sebuah rombongan sandiwara di Bandung, hingga melakukan pekerjaan menyapu dan membersihkan alat musik, Tan Tjeng Bok lahir tepat pada tanggal hari ini, 30 April 1899. Legenda seniman tiga zaman ini memiliki kisah perjalanan hidup yang layak dijadikan bahan renungan.
Masa Kecil
Tan Tjeng Bok lahir di Jakarta dari seorang keturunan Tionghoa. Ia putra pasangan Tan Soen Tjiang dengan wanita Betawi asal Jembatan Lima, Jakarta, bernama Darsih. Mahligai rumah tangga orangtuanya hanya bertahan satu tahunan mereka karena tidak memperoleh izin orang tua.
Umur 2 bulan, Tan Tjeng Bok kecil diambil anak oleh adik ibunya yang tidak memiliki keturunan. Perempuan yang ia panggil ibu itu memiliki anak tiri yang tinggal serumah dari almarhum suaminya, sebelum kemudian menikah lagi.
Ketika Tan Tjeng Bok berumur 8 tahun, keluarganya pindah ke Bandung. Ayah pungutnya (paman) kemudian memasukannya ke sekolah THHK (Tiong Hoa Hwe Koan) Bandung, setahun kemudian memindahkan saya ke HCS (Hollandsch-Chineesche School).
Di HCS pun Tan Tjeng Bok tidak sampai tamat. Kegagalan ini ditengarai karena perangainya yang nakal dan kepala batu atau biasa disebut “Banpwee”, hingga sang ayah memutuskan untuk memberhentikannya sekolah. Meskipun begitu, ia merupakan anak yang paling disayang ibunya.
Ketika masih sekolah, Tan memang menggemari musik keroncong. Ia tidak begitu memperhatikan mata pelajaran yang lain, bahkan sering menyanyi di dalam kelas. Kekagumannya atas musik tersebut dimulai ketika ia mendengar suara biduan Oey Beng Oen dari perkumpulan keroncong ‘De Goudvissen’ di dekat tempat tinggalnya.
Dikutip dari Star Weekly, 1955; Suka Duka Seorang Seniman, Tan Tjeng Bok bercerita. “Banpwee (kebengalan) saya memuncak saya berumur kira-kira 12 tahun dan duduk dalam kelas 2 HCS. Waktu itu, kira-kira dalam tahun 1913, saya diusir ayah karena tidak bisa dikendalikan lagi. Sebabnya ialah saya, gila keroncong!,” ungkap Tan.
Setelah diusir dari rumah, ia akhirnya diterima dalam perkumpulan keroncong di bawah pimpinan Tan Beng Goan, meskipun hanya ditugaskan membersihkan alat-alat musik dan menjadi pelayan. Tan, misalnya, membeli rokok dan mengambil air minum untuk anggota-anggota orkes, namun Tan tetap gembira karena cita-citanya yang ingin jadi penyanyi.
Debut Si Item
Suatu hari, di Bandung diadakanlah keroncong konkurs. Waktu itu seorang yang berwajah hitam, bertubuh tinggi besar, dan bersuara keras tampil menyanyi tanpa mikrofon, namun suaranya terdengar sampai jauh. Bahkan ketika ia selesai menyanyi, suara tepuk tangan terus bergemuruh memberikan penghormatan.

TanTjengBok. Sumber : detik
Penyanyi itu adalah Tan Tjeng Bok, ia menggantikan Beng Oen karena sebuah alasan tidak bisa tampil dalam konkurs tersebut. Sebelumnya, Beng Goan memang sempat mengajarinya menyanyi, hingga akhirnya ia dipaksa untuk tampil menggantikan Beng Oen. Di hari Itulah debut pertama Tan sebagai penyanyi dimulai. Semenjak itu, nama “Si Item” penyanyi dengan suara santar-keras terkenal di antara para peminat keroncong di Bandung.
Sebenarnya ketika tampil Tan sangat takut akan kena marah ayahnya. Karena itulah sehabis ia selesai menyanyi dia buru-buru kabur dan sembunyi di perkumpulan karena khawatir ayahnya akan datang melabraknya. Namun yang datang ternyata bukan sang ayah melainkan Beng Goan, yang memberitahunya bahwa perkumpulan mereka memperoleh juara pertama dengan Tan Tjeng Bok penyanyinya.
"Ben Goan memberitahukan saya bahwa perkumpulan kami, dengan saya sebagai penyanyi, memperoleh hadiah ke satu. Uang kontak dua ratus lima puluh rupiah dan sebuah medali emas (atau sepuh emas). Dari uang itu saya dibelikannya sepasang sepatu putih, yang memenuhkan dada saya dengan perasaan begitu bangga, sehingga tidak pernah saya melepaskannya, baik siang maupun malam!,” kata Tan Tjeng Bok seperti dikutip Star Weekly.
Hidup untuk Berkesenian
Setelah malang melintang berkesenian di Bandung, Tan Tjeng Bok pindah ke Jakarta. Perhatiannya pun mulai beralih dari keroncong ke pertunjukan wayang China, semacam stamboel atau komedi bangsawan. Dia pun sempat menjadi kacung rombongan Sui Ban Lian, yang bermain tetap di Sirene Park di Jalan Hayam Wuruk.
Karena merasa kurang cocok, dia sempat pindah kerja sebagai tukang putar proyektor di sebuah bioskop keliling. Tan bahkan sempat kembali ke Bandung setelah sang ayah menjemput dan membujuknya. Namun, bagi Tan, kesenian seperti takdir yang tak dapat diingkarinya.
Tan tidak pernah kapok pernah dihajar sang ayah, hingga pada suatu malam Imlek, Tan bergabung dengan grup lenong Si Ronda pimpinan Ladur. Rombongan tersebut berencana keliling ke daerah perkebunan-perkebunan di Jawa Barat, sehabis Imlek. Sang ayah kali ini tak dapat lagi menoleransi perilaku anaknya. Tan kembali lagi diusir.

Sumber : Seputar teater
Tjeng jalan terus. Enam bulan pentas keliling bersama grup Si Ronda, sekembalinya ke kota Bandung, Tan bergabung dengan Stambul Indra Bangsawan. Awalnya sebagai tukang membenahi panggung, tapi kemudian pemimpin pentas (toneel director) Djaffar Toerki menariknya sebagai pemain pembantu. Karena tak kerasan, dia kemudian beralih ke orkes Hoetfischer pimpinan Gobang, kembali menyusur karier sebagai biduan.
Bergabung Dengan Dardanella
Ketika berpentas keliling Jawa, saat di Bangil, Jawa Timur, pada suatu kesempatan dia bertemu dengan Pyotr Litmonov atau Pedro, seorang keturunan Rusia yang memimpin grup tonil atau opera Dardanella. Dardanella adalah grup tonil (sandiwara) terkemuka saat itu yang mendapat pengakuan internasional. Mereka pernah pentas di empat benua.
Menurut Yunus Yahya dalam Peranakan Idealis, di Dardanella inilah Tan merengkuh puncak karier. Grup ini memang luar biasa. Bermain di setiap kota berbulan-bulan. Ceritanya hebat-hebat, seringkali karya Shakespeare macam Hamlet dan Romeo and Juliet.
“Di Dardanella saya menemui idam-idaman saya: saya tidak saja mendapatkan kesempatan untuk memperkembang-pandaikan menyanyi saya, tapi juga kepandaian beraksi," ungkap Tan Tjeng Bok.
Dalam periode ini, Tan juga hidup bagaikan dalam dongeng. Dia bahkan mendapat julukan “Douglas Fairbanks van Java”--Fairbanks adalah bintang Hollywood ternama. Dia juga memperoleh bayaran paling tinggi, seimbang dengan kualitas permainannya. Tak heran jika dia hidup bergelimang harta. Dia punya mobil Rolls-Royce dan kerap gonta-ganti istri. Selama hidupnya, Tan mengaku kawin-cerai hingga 100 kali.
Main Film Sampai Mati
Seperti tonil yang dia mainkan, sebuah babak pasti ada akhirnya. Dardanella tutup layar awal 1940-an. Tan Tjeng Book harus gonta-ganti grup; dari sandiwara keliling Orpheus pimpinan Manoch hingga Star pimpinan Afiat.

Sumber : Wikipedia
Dalam The Komedie Stambul karya Matthew Isaac Cohen, Tan sempat berujar kalau berpindah-pindah grup bagi artis stambul adalah hal biasa. “Untuk cerita-cerita yang dimainkan, antara grup stambul satu dan yang lainnya di masa lalu semua sama. Perbedaan di antara mereka hanya terletak pada pemain dan technical effect,” kata Tan.
Menjelang pendudukan Jepang, di Jakarta berdiri perusahaan Java Industri Film (JIF) milik The Theng Tjoen. Bersama JIF inilah, Tan masuk babak baru. Pada 1941, dia membintang film layar lebar pertamanya Srigala Hitam garapan Tan Tjoei Hock, pemilik Studio Hajam Woeroek. Pada tahun yang sama dia membintangi film Si Gomar, Singa Laoet, dan Tengkorak Hidoep.
Sempat terhenti ketika Jepang masuk, dunia film Indonesia kembali menggeliat pada 1950-an. Pada masa inilah Tan mulai menancapkan hegemoninya di layar lebar. Dia membintangi sepuluh judul film. Puncaknya, 1970 sampai 1980, tak kurang dia membintangi 25 film. Antara lain Melarat Tapi Sehat (1954), Judi (1955), Peristiwa Surabaya Gubeng (1956), Badai Selatan (1960), dan Bengawan Solo (1971). Selain bermain di layar lebar, Item kerap tampil di cerita sandiwara televisi.

Tardjo Mulio, Tan Tjeng Bok, and Marlia Hardy in Melarat tetapi Sehat. Sumber : alamy
Sayang, kesuksesan membuatnya lupa daratan. Tan Tjeng Bok gemar berfoya-foya. Gaya hidupnya yang boros membuat dia menjalani masa senja dalam keadaan melarat, sehingga pernah melakoni hidup sebagai kenek oplet dan tukang obat. Dari 100 perempuan, tinggal Sarmini--perempuan asal Bojonegoro yang dinikahinya pada 1947--menemani hingga akhir hayatnya. Dari Sarmini, Tjeng Bok beroleh dua anak, Nawangsih dan Sri Anami.
Pada 15 Februari 1985, seniman tiga zaman ini meninggal dunia pada dalam 85 tahun karena sakit jantung. Delapan belas tahun kemudian, pemerintah mengakui jasa-jasanya dengan menganugerahkan tanda jasa Bintang Budaya Paramadharma.