Menyimak Mahfud MD (1) | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Menyimak Mahfud MD (1)

Ceknricek.com -- Jumat (11/12/20) pagi, sahabat saya mengirim pesan. Berisi pernyataannya tentang Islam, ulama, dan Indonesia sebagai satu kesatuan. Katanya, tiga serangkai itu tak terpisahkan. Namun jika terpaksa -- atau dipaksa -- dia memilih Islam dan ulama.

Saya jawab ringkas.

Indonesia adalah yang pertama dan utama. Karena seluruh umat manusia di muka bumi ini, sejatinya mempunyai hak yang sama. Tak pandang bulu soal sukunya, agamanya, rasnya, maupun golongannya. Karena agama adalah budaya yang kita (manusia) ciptakan untuk mengamalkan hal-hal itu.

Lebih lanjut saya sampaikan pula, bahwa di samping hak, kita pun memiliki kewajiban universal. Yakni memelihara kehidupan berdampingan dengan yang lain. Secara rukun dan damai. Artinya, tak mendahulukan segala hal yang bersifat pribadi, di atas prinsip-prinsip kesetaraan. Sebab kita adalah makhluk sosial yang tak bisa hidup sendiri. 

Setelah mengemukakan pandangan masing-masing, kami pun bersepakat. Bahwa satu dengan lainnya tak saling setuju. 

+++

Apakah dialog seperti pagi tadi, baru berlangsung kali ini?

Tidak.

Justru berulang kali. Malah tergolong sering. Apalagi jika kebetulan saya mempertanyakan atau menyampaikan kritik yang terkait dengan langkah maupun kebijakan penguasa.

Memang dalam situasi seperti itulah, persoalan terbesar yang sedang kita hadapi hari ini. Kritik dan pendapat berbeda, kerap diterjemahkan sebagai ketidak-sukaan, ingin menjatuhkan, bahkan kebencian. Kerap saya menerima komentar sinis. Bahkan kadang bersifat sangat personal. 

Di tengah teknologi yang menyebabkan informasi mampu dihadirkan hampir seketika saat ini (lihat 'Hummingbird Project', 6 Desember 2020), sesungguhnya kita terjebak semakin jauh dalam kecenderungan malas -- atau tak sempat -- berfikir. Sementara inovasi dan kreativitas manusia untuk memberdayakan peluangnya, justru berkembang begitu pesat. Mula-mula melahirkan disrupsi yang dikenal sebagai media sosial. Hal yang kemudian juga menyuburkan pasar pendengung, hoax atau kabar bohong, penggiringan opini, dan seterusnya.

Di satu sisi, keberlimpah-ruahan tersebut,  semestinya menjadi berkah yang luar biasa. Sebab informasi tak lagi dimiliki segelintir kalangan. Melainkan semakin terbuka sekaligus terjangkau bagi siapa saja. Tapi persoalannya justru pada kemauan dan kemampuan mengelola hingga mengolahnya.

+++

Semua capaian itu memang tak serta merta memeratakan kecerdasan dan kearifan. Di satu sisi banyak yang larut atau dilarutkan dalam kemalasan, kemiskinan, kebodohan, dan ketidak berdayaannya. Di sisi lain ada yang justru dengan sengaja merayakan dan memanfaatkannya untuk berbagai bentuk kepentingan sempit. Pada akhirnya, seperti yang kita saksikan hari ini, capaian dan kemajuan manusia dalam ilmu pengetahuan maupun teknologi tersebut, hanya melahirkan keterbelahan nyata di tengah masyarakat kontemporer Indonesia. 

Sebelum Reformasi 1998 berhasil menyingkirkan kekuasaan Suharto dan Orde Barunya, akar persoalan yang sempat mengancam bangsa ini terbelah adalah, korupsi-kolusi-nepotisme. Tapi kita pun sulit menyangkal, jika hingga hari ini, masalah mendasar tersebut sesungguhnya tak kunjung tertangani dengan layak. Sejumlah fakta yang terbentang di hadapan kita, justru mengindikasikan bahwa perilaku tersebut, malah berkembang semakin runyam. Sedemikian rupa pula, telah menghantarkan kita pada keterbelahan yang semakin absurd. Seperti yang berlangsung sekarang. Justru bergeser menjadi antar kelompok yang berkecenderungan kuat merayakan KKN (korupsi-kolusi-nepotisme) yang semakin dianggap niscaya. Karena sudah bergeser jauh  ke arah fanatisme kelompok (agama). 

Pesan sahabat yang saya singgung di awal tulisan ini, mengindikasikannya secara gamblang. Sebab urusan bernegara yang mestinya majemuk, telah dicampur adukkan dengan agama yang berlandaskan ekslusivitas keimanan sebagian masyarakatnya. Terlepas seberapa mayoritasnya mereka.

Apa yang berkembang sekarang, lebih mengarah pada pelampiasan dendam. Semakin jauh dari cerminan semangat ke bhinekaan yang justru ingin kita agungkan. Karena cenderung untuk saling meniadakan dan menyingkirkan yang lain. Bahkan secara mutlak dan permanen. 

+++ 

Di sanalah sesungguhnya kenegarawanan Mahfud MD yang saya maksud kemarin (lihat 'Mahfud MD, 10 Desember 2020). 

Kita maklum, Mahfud tak menggubris kegelisahan sebagian kalangan saat meletakkan dirinya secara terbuka sebagai pendukung Prabowo Subianto saat mencalonkan diri sebagai Presiden 2014-2019. Beliau yang dikenal dekat dan menjadi salah satu menteri, saat almarhum Gus Dur menjadi Presiden RI 1999-2001 dan sempat berwacana membubarkan Golkar tersebut, tentu sangat memahami sosok dan sepak terjang mantan menantu Suharto itu. Kini kita dapat memahami. Jika keputusan dan sikapnya berpihak pada Prabowo pada pemilihan presiden 2014 tersebut, sesungguhnya didasari pertimbangan yang jauh lebih besar. 

Bayangkanlah apa yang terjadi jika Prabowo saat itu terpilih, sementara beliau tak termasuk dalam lingkaran kekuasaannya.

Langkah politiknya yang terukur dan penuh pertimbangan matang tersebut, terbaca ketika kubu Prabowo tak menerima kekalahan dan ingin berupaya menempuh jalur hukum melalui Mahkamah Konstitusi. Saat itu beliau secara tegas tak mendukungnya.

Mantan Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman dsn HAM RI di era kepemimpinan Abdurrahman Wahid itu, kemudian tak lagi berada dalam barisan pendukung Prabowo saat pemilihan tahun lalu (2019).

Kemudian kita pun maklum, setelah resmi terpilih untuk kedua kalinya, Joko Widodo mengangkatnya sebagai Menko Polhukam yang salah satunya justru membawahi Prabowo Subianto. Calon presiden yang setelah dikalahkan Jokowi untuk kedua kalinya kemarin, sempat melakukan perlawanan keras. Termasuk pengerahan massa untuk berdemonstrasi. Lalu berakhir ricuh hingga mengakibatkan sejumlah korban.

Sekali lagi kita menyaksikan kenegarawanan beliau. Ketika menerima tawaran posisi menteri koordinator itu. Meski sebelumnya sempat digadang sebagai calon wakil yang justru akan mendampingi Joko Widodo pada periode kedua ini. Hal yang kemudian dibatalkan begitu saja. Hanya beberapa menit sebelum Jokowi resmi mengumumkan Ma'ruf Amin, sebagai Wakil Presiden yang akan mendampinginnya pada pemilihan kemarin. Meski Mahfud telah bersiap tak jauh dari tempat yang dipilih Jokowi untuk mengumumkannya bersama ketua-ketua partai pendukungnya. 

+++ 

Seorang Mahfud MD yang sejak mula sudah berada di tengah hiruk-pikuk politik Indonesia pasca Reformasi 1998, tentu juga menyimak berbagai perkembangan yang menyertai Indonesia selama ini. Termasuk pergeseran bahkan penyimpangan dari sejumlah agenda besar yang menjadi tuntutan masyarakat saat itu. 

Beliau bahkan menyaksikannya dari jarak yang begitu dekat. Terutama ketika diamanahkan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Lembaga 'Perwakilan Tuhan' yang menjaga dan memastikan segala sesuatu di negeri ini berlangsung konstitusional.

Baca juga: Prof Mahfud, Riwayatnya Kini

Baca juga: Mahfud MD Komentari Penangkapan Menteri KKP Edhy Prabowo



Berita Terkait