Misteri di Balik Hari Jadi Kota Jakarta  | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber Ilustrasi : Wartakota

Misteri di Balik Hari Jadi Kota Jakarta 

Ceknricek.com -- Hari ini, Sabtu 22 Juni 2019, Kota Jakarta genap berusia 492 tahun. Banyak acara dihadirkan di berbagai wilayah kota Jakarta. Sementara puncak perayaan dipusatkan di Bundaran HoteI Indonesia, Jakarta Pusat.

Ulang Tahun Jakarta di Bunderan HI (Foto : Detik)

Penetapan tanggal 22 Juni merujuk pada hari ketika pasukan gabungan Demak-Cirebon yang dipimpin Fatahillah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, 22 Juni 1527. Sejak saat itu, nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta.

Penetapan hari jadi Jakarta dikeluarkan pertama kali oleh Sudiro, Wali Kota Jakarta periode 1953-1958.

Sudiro, menyadari perlunya peringatan ulang tahun untuk Jakarta berbeda dengan peringatan berdirinya Batavia. Ia kemudian memanggil sejumlah ahli sejarah, seperti Mr. Mohamad Yamin, Mr. Dr. Sukanto, dan wartawan senior Sudarjo Tjokrosiswoyo untuk meneliti kapan Jakarta didirikan oleh Fatahillah.

Walikota Sudiro (Sumber : Suara.com)

Kala itu, Sudiro berkeyakinan bahwa tahunnya pasti, yaitu 1527. yang menjadi pertanyaan adalah hari, tanggal, dan bulan lahirnya Kota Jakarta.

Mr. Dr. Sukanto menyerahkan naskah berjudul Dari Jayakarta ke Jakarta. Dia menduga bahwa 22 Juni 1527 adalah hari yang paling dekat dengan  kenyataan dibangunnya Kota Jayakarta oleh Fatahillah.

Naskah tersebut kemudian diserahkan Sudiro kepada Dewan Perwakilan Kota Sementara untuk dibahas dalam persidangan. Dewan kemudian memutuskan bahwa 22 Juni 1527 sebagai berdirinya Kota Jakarta.

Pada 22 Juni 1956, Wali Kota Sudiro mengajukannya secara resmi pada sidang pleno, dan usulnya diterima dengan suara bulat. Sejak saat itu, setiap 22 Juni diadakan sidang istimewa DPRD Kota Jakarta sebagai tradisi memperingati berdirinya Kota Jakarta.

Masa Kolonial

Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (Sumber : Wikipedia)

Pada masa kolonial, pemerintahan Belanda memperingati hari jadi Kota Batavia setiap akhir Mei. Mereka beralasan bahwa pada akhir Mei 1619, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen menaklukkan Jayakarta.

Untuk memperingati 250 tahun usia Batavia, pada 1869 dibangun monument J. P. Coen (saat ini halaman Departemen Keuangan, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat).

Di atas fondasi beton yang kokoh, berdiri Coen yang dengan angkuhnya menunjuk kearah bawah (menggambarkan dia berhasil menaklukkan Jayakarta). Patung yang menjadi simbol dimulainya penjajahan Belanda itu dihancurkan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945).

Kontroversi Penetapan Tanggal

Menurut sejarawan Adolf Heyken SJ, hari jadi Jakarta hanyalah sebuah dongeng. Menurut dia, tak ada dokumen yang menyebutkan nama Jayakarta. Bahkan 50 tahun sesudahnya (saat VOC berkuasa), tetap disebut Sunda Kelapa.

Fatahillah adalah orang Arab. Jelaslah tidak mungkin seorang Arab memberi nama sesuatu dengan bahasa Sanskerta. Jayakarta adalah nama dari bahasa Sanskerta. Jadi, itu semua dongeng supaya Jakarta memiliki hari ulang tahun.

Sumber : Sejarah Cirebon

Sedangkan menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, seperti dikutip Tirto, pada 22 Juni pasukan gabungan Kesultanan Demak dan Cirebon tidak hanya memerangi bangsa Portugis, tetapi juga membantai penduduk asli Sunda Kelapa, yakni orang-orang Betawi.

Atas dasar itu, Ridwan tidak rela kalau tanggal 22 Juni 1527 ditetapkan sebagai hari lahir Jakarta. "Masa sih ketika orang Betawi dibantai malah diperingati dengan meriah?," katanya.

Dalam diskusi “Kontroversi HUT Jakarta” pada 22 Juni 2011, Ridwan juga menyebut bahwa pasukan Fatahillah telah membumihanguskan Sunda Kelapa dan mengusir penduduk Betawi asli yang sudah sejak lama menetap di situ. "Mereka membakar rumah kami, mengusir kami sehingga kami harus menyingkir ke balik-balik bukit, kok malah dijadikan hari jadi kota?" ujar Ridwan.

Penulis buku Profil Orang Betawi: Asal-Muasal, Kebudayaan, dan Adat-Istiadatnya yang diterbitkan tahun 1997 ini juga menentang klaim Fatahillah yang selama ini dipercaya sebagai orang yang mencetuskan nama Jayakarta untuk menggantikan Sunda Kelapa.

Sunda Kelapa (Sumber : Indonesia Tempo Doeloe)

"Nama Jayakarta sudah ada sejak lama. Ada desa di Karawang yang namanya Jayakerta yang merupakan wilayah budaya Betawi. Itu sudah ada sejak zaman Siliwangi," ungkap Ridwan Saidi.

Jayakerta, menurut Ridwan Saidi, merupakan tempat pengasingan salah satu istri Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja, penguasa Kerajaan Sunda Galuh yang bertakhta pada 1482-1521. 

Selir sang raja yang sedang mengandung itu kemudian melahirkan bayi laki-laki. Sayang, bayi tersebut meninggal dunia tak lama setelah dilahirkan.

Untuk mengenang dan memperingati kematian jabang bayi, sang selir menyebut lokasi itu dengan istilah Jayakerta yang berarti “kemenangan yang jaya”. Sedangkan Muhadjir (2000: 41) dalam buku Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya menafsirkan Jayakerta dengan arti “kemenangan besar”. 

Ridwan Saidi sangat yakin, bukan Fatahillah yang merumuskan nama Jayakarta atau Jayakerta untuk menyebut bekas wilayah Sunda Kelapa. Jadi, nama Jayakerta bukan diberikan oleh Fatahillah. "Itu nama yang sudah ada sebagai sebutan lain Sunda Kalapa (Kelapa)," tegas Ridwan Saidi.

Siapakah Fatahillah?

Fattahillah (Sumber : Istimewa)

Banyak versi tentang identitas dan asal-usul Fatahillah. Ahmad-Noor A. Noor dalam buku From Majapahit to Putrajaya: Searching for Another Malaysia (2005: 103) menyebut, Fatahillah atau Faletehan adalah seorang muslim keturunan Arab yang berasal dari Gujarat (India) yang kemudian diangkat menantu oleh penguasa Demak, Sultan Trenggono (1505-1518).

Ada juga yang meyakini, Fatahillah seorang pedagang sekaligus guru agama dari Aceh. Ia meninggalkan Samudera Pasai ketika kerajaan Islam pertama di Nusantara itu dikuasai oleh Portugis pada 1521 dan merantau sampai ke Demak. Disebutkan pula, Fatahillah pernah bermukim di Mekkah untuk memperdalam ajaran Islam (Ibrahim Alfian, Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta, 2002: 314). 

Masih ada beberapa versi lain terkait sosok Fatahillah. Termasuk yang menyatakan, ia adalah pangeran dari Arab, putra pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina, atau orang asli Samarkand (Uzbekistan) yang sempat belajar ke Baghdad (Irak), lalu mengabdikan dirinya ke Kesultanan Turki sebelum bergabung dengan Kerajaan Demak di Jawa. Dan sesudah itu ia menjadi panglima perang Kerajaan Demak yang diutus Sultan Trenggono untuk merebut Sunda Kelapa dari Portugis pada 1527. 

Bahkan, ada sumber yang menyebut Fatahillah adalah orang yang sama dengan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), seperti dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara karya Slamet Muljana (2005: 230). Muljana meyakini bahwa Fatahillah pernah menjadi penguasa Banten dan Cirebon.

Benarkah penaklukkan Sunda Kelapa pada 1527 itu juga menjadi ajang pembantaian yang dilakukan pasukan Fatahillah terhadap orang-orang Betawi?

Ridwan Saidi menyebut pertempuran ini dengan istilah Perang Betawi.

Belum ditemukan referensi yang kuat terkait itu. Yahya Andi Saputra dalam buku "Upacara Daur Hidup Adat Betawi" menyertakan pengakuan Ridwan Saidi yang meyakini bahwa cukup banyak jiwa yang menjadi korban serangan Fatahillah ke Sunda Kelapa--atau Nusa Kalapa menurut istilah Ridwan Saidi.

Namun, Ridwan menyimpulkan kemungkinan tersebut berdasarkan folklor atau cerita rakyat yang disebutnya masih hidup dan berkembang di kalangan penduduk Bogor asli (Saputra, 2008: 147).

Bogor pada masa itu adalah pusat pemerintahan Kerajaan (Pakuan) Pajajaran yang menguasai Sunda Kelapa sebelum direbut Fatahillah.

Setelah Sunda Kelapa diambilalih oleh Fatahillah dan menjadi wilayah taklukan Demak, syiar Islam berlangsung masif di kawasan strategis ini. Di sisi lain, peperangan antara kubu Islam (Demak, Cirebon, dan Banten) melawan Pajajaran yang mayoritas rakyatnya menganut Hindu, Buddha, atau kepercayaan lokal, terus berlangsung pada masa itu.

Terlepas dari kesimpang-siuran terkait jati diri Fatahillah, namun catatan sejarah menetapkan lahirnya kota Jakarta adalah 22 Juni.



Berita Terkait