Napak Tilas Dekrit Presiden 5 Juli 1959 | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: konfrontasi.com

Napak Tilas Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Ceknricek.com -- Pasca kemerdekaan, medio 1950-an Indonesia mengalami badai pergolakan. Tidak hanya pergolakan fisik, namun juga konflik internal di dalam tubuh parlemen yang seringkali berakibat pada pergantian kabinet dan perdana menterinya.

Lain dari itu, Badan Konstituante hasil pemilu 1955 yang ditugasi membuat Undang-Undang Dasar (UUD) hingga tahun 1956  belum juga berhasil merumuskan UUD baru, hingga pecah dan meletusnya PRRI-Permesta pada 1958.

Karena alasan-alasan itulah pada 22 April 1959 presiden Sukarno mengusulkan kepada Konstituante untuk kembali ke UUD 1945. Lebih dari satu bulan kemudian, pada 30 Mei 1959, voting pun dilakukan oleh lembaga tersebut, apakah ingin kembali ke UUD 1945 atau tidak.

Sebanyak 269 suara pun setuju untuk kembali kepada UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Karena voting tidak memenuhi kuorum (jumlah minimum anggota sidang), maka pemungutan suara ulang pun dilakukan. Namun, pemungutan suara ulang itu tetap gagal. 

Pemungutan Suara Menuju Kembalinya UUD 1945. Sumber: pekerjamuseum.blogspot.co.id

Sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut, tepat pada tanggal hari ini, 5 Juli 1959, muncullah dekrit presiden yang menyatakan bahwa Sukarno selaku presiden menyebut, “ kami Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menetapkan pembubaran konstituante.”

Kembali ke UUD 1945

Hal penting lain dari dekrit presiden tersebut tentu saja kembalinya UUD 1945 dan tidak berlakunya Undang-undang Dasar Sementara. 

“Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekret ini dan tidak berlakunja lagi Undang-Undang Dasar Sementara.”

Dalam dekrit presiden ini terdapat butir lain, yakni pembubaran Konstituante, pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta ditambah utusan golongan dan daerah. Juga agar dibentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Sumber: Informazone

Sejarah mencatat, dengan mulai diselenggaraknnya isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Pemerintahan Liberal dan Kabinet Parlementer dinyatakan berakhir. Sistem pemerintahan diganti dengan sistem Pemerintahan Terpimpin dan kabinet digantikan dengan Kabinet Presidensial. Kabinet ini dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno yang menandai munculnya kekuasaan ke arah otoritarian.

Pengumuman Dekrit presiden 5 Juli 1959. Sumber: id.wikipedia.org

Sukarno kian Otoriter

Setelah munculnya dekrit presiden pada kenyataanya semua kekuasaan pemerintah berada di tangan presiden. Masa inilah yang kemudian dikenal dengan istilah demokrasi terpimpin. 

Bung Hatta, yang kala itu sempat kecewa akan sikap dan perbedaan politik dengan Bung Besar (Sukarno) pernah mengecam bentuk kediktatoran Sukarno dalam demokrasi terpimpinnya lewat bukunya Demokrasi Kita (1966).

“Sejarah Indonesia sejak 10 tahun yang akhir ini banyak memperlihatkan pertentangan antara Idealisme dan Realita. Idealisme yang menciptakan suatu pemerintahan yang adil yang akan melaksanakan demokrasi yang sebaik-baiknya dan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Realitas dari pada pemerintahan, yang dalam perkembangannya kelihatan makin jauh dari demokrasi yang sebenarnya,” tulis Hatta dalam Demokrasi Kita, yang ditulisnya untuk mengkritisi Demokrasi Terpimpin yang dianggapnya otoriter. 

Puncak dari kawah pergolakan tersebut ketika di tahun-tahun berikutnya, Sukarno diangkat menjadi presiden seumur hidup oleh Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS). 

“Pada tanggal 18 Mei 1963, melalui sidang MPRS, ditetapkan Sukarno sebagai Presiden Seumur Hidup, suatu keputusan yang bertentangan UUD 1945. Ketetapan ini ditandatangani oleh ketua dan wakil-wakil MPRS, yaitu Chaerul Saleh (Murba), Ali Sastroamidjojo (PNI), Idham Chalid (NU), DN Aidit (PKI), dan Walujo Puspoyudo (Tentara),” tulis Ahmad Syafii Maarif dalam Islam dan Politik (1996: 107). 

Sidang Konstituante. Sumber: pendidikanzone.blogspot.com

Sukarno pada saat itu malah bangga sekali dengan kebijakan yang sangat tidak demokratis itu, karena pada dasarnya tidak ada aturan tentang jabatan presiden seumur hidup. Menurut pasal 7 UUD 1945 (sebelum diamandemen), presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya boleh dipilih kembali.

Dari beberapa penyimpangan yang dilakukan Bung Besar lewat demokrasi terpimpinnya itu, membuat pemerintahannya dianggap otoriter oleh orang-orang yang dulu mendukungnya. Pada tahun 1965-1966, Orde Baru muncul dengan nuansa yang sama seperti demokrasi-demokrasi sebelumnya.



Berita Terkait