NFT Ghozali dan Humanisme Metaverse | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

NFT Ghozali dan Humanisme Metaverse

RNI-Rangkaian Ngopi Imajiner bareng Gus Dur

Ceknricek.com--‘’Mas, andai dulu kita sudah kenal metaverse dan NFT, token saya pasti laris manis dan tak hanya menjadi milyarder seperti si Ghozali Everyday tetapi nembus jadi triliuner tuh saya hehehe..’’ celutuk Gus Dur tiba-tiba pagi itu saat saya baru saja mencium tangan beliau takzim. Rupanya beliau memantau juga perihal Ghozali yang lagi trending gegara meraup lebih satu milyar dengan cara membuat token NFT koleksi swafotonya selama lima tahun terakhir dan dijualnya di market place.

‘’Kita tentu ikutan senang sekaligus bersyukur atas rejeki si Ghozali..tetapi ada sedikitnya dua ‘keanehan’ yang masih kurang bisa diterima akal sehat ini’’ kata Gus Dur sembari menunjuk jidat beliau yang rajin berkopiah hitam itu. ‘’Pertama, pola pikir dan sikap mental untuk mengikuti jejak keberhasilan adalah positif tentu bila didasari logika berpikir yang jernih dan tidak asal mengikuti jejak keberhasilan itu sendiri. Ramai membuat swafoto KTP yang amat rentan disalah-gunakan dalam dunia cyber security saat ini tentulah dapat dijadikan salah satu indikator betapa mentalitas ATM amati tiru modifikasi telah banyak diimplementasikan secara salah kaprah untuk tak mengatakan terbatas pada aras ikut arus dan aji mumpung.

Kemudian, bagi para pembeli atau pemain NFT, tentulah melakukan koleksi berbagai NFT berharap beroleh cuan di masa mendatang, tetapi perlu dengan jeli kita cermati: adakah NFT tersebut dapat diperjual-belikan? Bila tidak, maka mesti kita gali lebih menyeluruh perihal kemanfaatannya, jangan-jangan kita semua hanya terjebak dalam euforia sesaat yang sejatinya kurang kita pahami benar seluk-beluk fenomena ini. Tentu, langkah-langkah edukasi publik amat dibutuhkan agar tak terjerumus lebih dalam nan masif sebagaimana layaknya beragamam fenomena investasi bodong yang kian marak akhir-akhir ini,” demikian paparan Gus Dur penuh semangat tanpa memberi jeda untuk menimpali.

‘’Nah, berikutnya bila kita telisik lebih jauh dalam perspektif filosofis, maka saya teringat akan apa yang didaraskan oleh Erich Fromm bahwa aneka perkembangan teknologi tersebut berpotensi mengabaikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam tradisi humanis, bahwa “sesuatu harus dikerjakan karena dibutuhkan manusia, bagi pertumbuhannya, kebahagiaan dan akal budinya. Dalam konteks abad 20 lalu, Fromm mengkritisi bahwa aneka perbuatan dan akibat-akibatnya telah menjadi tuan yang ditaati, dan yang barangkali disembah oleh manusia. Fromm melihat keterasingan yang dialami manusia kala itu hampir total, menyangkut hubungan orang dengan pekerjaannya, dengan benda yang ia konsumsi, dengan negara, dengan sesama manusia, dan dengan diri sendiri. (Fromm, 1965]. Problem yang sesungguhnya cukup klasik dan telah ditengarai oleh sang filsuf sejak dulu, kiranya kini sejarah umat manusia terulang dalam skala yang masif dan susah terelakkan karena kita dibuat makin tergantung akan teknologi digital terlebih didorong oleh meruyaknya pandemi Covid-19 yang telah memasuki usia dua tahun ini.

Artinya, tidak semua kreasi dan ciptaan manusia yang berkolaborasi dengan teknologi adalah sungguh dibutuhkan dan diperuntukkan bagi kebahagiaan sejati manusia. Antusiasme berbalut keserakahan dan aji mumpung dalam rimba metaverse beserta segala derivasinya mulai dari mata uang kripto hingga NFT dan entah apalagi kelak, tampaknya lebih mengarah pada pemenuhan akan ‘to have’ alias nafsu memiliki bernafaskan FOMO (fear of missing out, takut ketinggalan trend, takut kehabisan persediaan) tinimbang bermuara pada peningkatan harkat kemanusiaan itu sendiri, ‘to be’, yang kian terpinggirkan.

Syahrini telah menjual NFT-nya lalu diikuti grup usaha digital Anang Hermansyah yang saat pre-sale diklaim sudah ludes dalam kurun semenit saja, tentu kisah-kisah kesuksesan yang viral ini terasa begitu menggiurkan terutama bagi kaum milenial atau para zenial yang begitu silau akan instant success. Keterpaduan antara berbagai ragam godaan yang dangkal sebagaimana dipaparkan di atas amatlah rentan menggelincirkan kita kian menjauh dari harkat-martabat manusia itu sendiri selaku subyek, selaku ciptaan Yang Maha Kuasa dengan derajat tertinggi. Tak berlebihanlah bila kita nyatakan telah muncul suatu problem besar di dalam masyarakat, masalah-masalah yang timbul karena adanya perkembangan dalam bidang teknologi digital yang tidak hanya meringankan pekerjaan manusia, namun justru teknologi itu tidak lagi menjadikan manusia menjadi dirinya sendiri, melainkah telah bergeser menjadi objektivasi dan proses dehumanisasi oleh teknologi ciptaannya sendiri sebagaimana dikhawatirkan Erich Fromm puluhan tahun lalu.

Lalu, apa yang seyogyanya kita sikapi? Saya tidak bermaksud menggurui kita semua, tetapi kesadaran utuh yang berakar dalam hati dan benak tiap insan Nusantara hendaknya dibangun secara konsisten guna merubah pola dasar konsumsi ke arah konsumsi yang meningkatkan keaktifan nan kreatif tidak sekedar meniru, serta mengurangi “kepasifan” sekedar menjadi penikmat belaka. Memang, tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi bukanlah tak mungkin. Ini tanggung-jawab kita bersama..gitu aja koq repot..’’

*) Greg Teguh Santoso, versatilist, pemikir bebas, pengajar di beberapa universitas, sedang menyelesaikan S3.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait