Ceknricek.com -- Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) keenam digelar di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta dari Selasa (12/11) hingga Sabtu (16/11). Acara ini merupakan inisiasi Bank Indonesia atau BI, digelar sejak 2014. Para pemegang kepentingan terkait pengembangan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia turut terlibat dalam acara tersebut.
Kini, BI berkomitmen meningkatkan cakupan kegiatan ISEF ke level internasional. Menariknya, ISEF ini kali digelar di tengah ketidakpastian ekonomi global. Sejumlah negara tengah mencari keseimbangan baru akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Di sisi lain, Indonesia menghadapi masalah serius defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).
Jangankan negeri yang lemah, negeri yang sehat saja pada saat ini bisa ikut sakit. Tekanan ekonomi tidak hanya terjadi pada negara-negara dengan fundamental ekonomi yang buruk, tetapi juga di negara-negara dengan fundamental yang masih relatif sehat seperti Indonesia.
Foto: Istimewa
Kondisi itu membuat produksi di Indonesia menurun. Karena itu, butuh solusi baru untuk menciptakan tatanan ekonomi dunia yang lebih adil dan tumbuh proporsional. Caranya bisa dengan meningkatkan produktivitas, distribusi pendapatan yang lebih inklusif, dan transaksi keuangan berdasarkan aktivitas ekonomi yang nyata. Semua ini mengandung prinsip-prinsip ekonomi, bisnis, dan keuangan Islam.
Baca Juga: BI: Ekonomi Syariah Arus Baru Menuju Indonesia Maju
Jika dalam waktu dekat sistem ekonomi yang berjalan masih sama seperti sebelumnya, maka ketidakmerataan ekonomi global pasti akan semakin meningkat dan semakin besar. Sehingga perlu ada solusi, yakni tatanan ekonomi dunia perlu diarahkan agar lebih adil.
Ke depan, kegiatan ekonomi harus lebih produktif, distribusi pendapatan harus lebih inklusif. Selanjutnya, transaksi keuangan harus didasarkan pada kegiatan ekonomi riil.
Sumber Ekonomi Baru
Nah, dalam kondisi inilah ekonomi syariah menjadi harapan. Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo, menganggap pengembangan ekonomi syariah bisa menjadi ‘obat’ untuk mengatasi persoalan tersebut.
Menurutnya, ekonomi syariah terbukti menjadi sumber perekonomian baru di beberapa negara, baik mayoritas muslim maupun yang bukan. “Juga untuk memperbaiki struktur neraca transaksi berjalan,” katanya, Selasa (12/11).
Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo. Sumber: Liputan6
Apa yang dibilang Dody tak mengada-ada. Industri jasa keuangan syariah tumbuh signifikan selama dekade terakhir, meskipun ada beragam ketidakpastian ekonomi global. Kinerja industri ini terlihat dari dana kelolaan yang mencapai lebih dari US$1,7 triliun.
Ini menjadi salah satu bukti bahwa ekonomi syariah cukup kokoh dalam menghadapi ketidakpastian perekonomian global.
Keuangan berbasis syariah bisa berkontribusi dalam mempromosikan gagasan terkait pembagian risiko. Sebab, skema ini menganut bagi hasil, bukan bunga. Hal ini diyakini dapat meningkatkan ketahanan dan stabilitas pasar.
Di Indonesia, industri keuangan syariah mencapai 80% terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang sebesar Rp1.016 triliun. Meski begitu, ada beberapa tantangan terkait ekonomi syariah di Tanah Air.
Baca Juga: Langit Cerah Bank Syariah
Tantangan pertama, Indonesia menjadi negara konsumen produk halal, bukan produsen. Kedua, perlu optimalisasi sektor sosial--zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf--untuk mendukung pengembangan. Terakhir, terbatasnya peran sektor keuangan syariah dalam pembiayaan pengembangan.
Mendunia
Ekonomi syariah Indonesia masih relatif tertinggal dibanding negara lain. Ekonomi syariah Malaysia, misalnya, terutama di sektor keuangan, lebih unggul ketimbang Indonesia. "Kalau dari sisi Malaysia, punya keunggulan keuangan syariah komersial, perbankan syariah," kata Dody.
Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo. Sumber: Liputan6
Indonesia masih memerlukan banyak ruang untuk meningkatkan keuangan syariah komersial, yaitu sistem perbankan. Namun, ada sejumlah aspek yang membuat potensi Indonesia lebih besar. Zakat, infak, sedekah, wakaf, masyarakat Indonesia jauh lebih besar. Sekarang bagaimana ini menjadi sumber selain menggunakan perbankan.
Kini, banyak negara dengan penduduk mayoritas Muslim giat membangun ekonomi syariah. Lembaga pemeringkat rating global Moody's mengungkap perkembangan keuangan syariah di Asia Tengah diperkirakan akan tumbuh signifikan lima tahun ke depan. Analis Moody's, Svetlana Pavlona, menyebut Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan dan Uzbekistan adalah pemimpin dari ekspansi bank syariah.
Baca Juga: Angka-angka Menggiurkan Ekonomi Syariah
Penduduknya yang mayoritas Muslim diperkirakan akan mampu menggenjot pertumbuhan. Selain itu, komitmen pemerintah juga menjadi hal signifikan. "Terutama dalam membangun payung hukum yang lebih baik dan infrastruktur aturan keuangan syariah," ujar Pavlona sebagaimana dilansir Gulf News, Agustus lalu.
Dari semua negara tersebut pertumbuhan paling besar diperkirakan akan berada di Kazakhstan dan Kirgistan. Kazakhstan misalnya, tengah berupaya meningkatkan aset bank syariahnya hingga 3% pada 2025, dari posisi sekarang 0,2%.
Sementara di Kirgistan, aset bank syariah akan coba digenjot hingga 5% pada 2021. Saat ini pasar bank syariah baru sebesar 1,4%.
Namun menurut Moody's, kesadaran publik akan keuangan syariah adalah tantangan terbesar pertumbuhan. Selain itu, standar dalam keuangan syariah sendiri masih perlu dimatangkan pemerintah agar mudah diterima masyarakat.
Sumber: Livemint.com
Moody's menambahkan berpartisipasinya sebagian negara Asia Tengah ini ke dalam mega proyek Belt and Road Initiative (BRI) China juga akan berdampak pada peningkatan pasar keuangan syariah. Pasalnya sejumlah proyek infrastruktur diprediksi akan menggunakan akad syariah.
Menggeliatnya ekonomi syariah juga ditandai dengan kian bertumbuhnya penerbitan sukuk di sejumlah negara. Sukuk adalah obligasi yang berdasarkan prinsip syariah. Moody's Investors Service menyebut penerbitan sukuk dunia diprediksi masih akan tumbuh menjadi US$130 miliar (setara Rp1.854 triliun) tahun ini, di rentang atas dari prediksi awal tahun US$120 miliar-US$130 miliar yang ditetapkan.
Meskipun masih naik 6% dari penerbitan tahun lalu US$123 miliar (setara Rp1.754 triliun), tetapi pertumbuhan 2019 melambat dibandingkan dengan pertumbuhan 2018 yang mencapai 8%.
Prediksi Moody's juga menyatakan tetangga terdekat Indonesia yaitu Malaysia serta negara anggota Dewan Kerjasama Teluk (the Gulf Cooperation Council/GCC) terutama Arab Saudi akan melanjutkan penerbitan sukuk pemerintah maupun korporasi secara rutin.
BACA JUGA: Cek BREAKING NEWS, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini
Editor: Farid R Iskandar