Ceknricek.com -- Kesulitan yang membelit Bank Muamalat bisa jadi membuat publik bertanya-tanya, bagaimana kondisi perbankan syariah pada umumnya? Jawaban atas pertanyaan itu sejatinya cukup sederhana, bahwa dalam tiga tahun terakhir ini, perbankan syariah justru menunjukkan kinerja yang lumayan ciamik.
Jika dilihat dari sudut laba yang berhasil dikantongi bank syariah, maka lumayan besar. Secara keseluruhan industri perbankan syariah mencatatkan perolehan laba bersih senilai Rp5,1 triliun pada 2018. Angka itu melesat 65,98% dibandingkan dengan capaian pada tahun sebelumnya yang sebesar Rp3 triliun.

Sumber : Sindo
Data Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, perolehan laba bersih perbankan syariah ditopang oleh naiknya pendapatan operasional setelah distribusi bagi hasil sebesar 11,37% menjadi Rp23,4 triliun.

Sumber : Industry.co.id
Lalu, mari kita menengok kinerja anak usaha syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) bank BUMN yang juga terus meningkat. PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BNI) lewat BNI Syariah sukses menjadi laba sebesar Rp416 miliar pada akhir 2018 lalu.
Angka tersebut naik 35,67% dibandingkan capaian pada tahun 2017 lalu yang sebesar Rp307 miliar. Kenaikan laba ini ditopang oleh ekspansi pembiayaan, peningkatan fee based serta optimalisasi rasio dana murah.
Dari sisi pembiayaan, tumbuh sebesar 19,39% secara year on year (yoy) menjadi Rp28,3 triliun. Mayoritas peningkatan ini ditopang oleh segmen konsumer yang mencatat realisasi Rp13,92 triliun atau 49,71% dari total pembiayaan.
Sedangkan fee based income yang berhasil diraup mencapai Rp141 miliar pada tahun lalu. Mayoritas komisi ini ditopang oleh transaksi digital, hasanah card (kartu pembiayaan), cash management, dan bisnis remitansi.
Sedangkan segmen komersial menyumbang 24,74% atau Rp7 triliun. Diikuti bisnis kecil dan menengah sebesar Rp5,97 triliun. Adapun pembiayaan segmen mikro Rp1,08 triliun dan kartu pembiayaan atau hasanah card Rp 332,69 miliar.
Tingkat rasio pembiayaan bermasalah atau Non Performing Financing (NPF) BNI Syariah pada tahun lalu tercatat naik dari 2,89% menjadi 2,93%. Adapun, himpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh 20,82% pada tahun 2018 lalu menjadi Rp35,5 triliun.
Berkat kinerja yang ciamik itu aset BNI Syariah pun melompat menjadi Rp41,05 triliun atau naik 17,88% dari pencapaian di tahun sebelumnya Rp34,82 triliun.
Tahun ini, BNI Syariah menargetkan pertumbuhan pembiayaan sebesar 16% dan aset diproyeksikan naik 15%-19%. Sedangkan NPF dijaga maksimal di level 2,75%.

Sumber : Finansial Bisnis
Selanjutnya, PT Bank Mandiri Tbk.--lewat Mandiri Syariah atau BSM--juga mencatatkan rapor biru. Bank syariah terbesar di Tanah Air ini sukses mengantongi laba setelah pajak Rp547,4 miliar atau tumbuh 49,82% yoy.
Tahun lalu BSM membukukan total pembiayaan sebesar Rp66,53 triliun atau tumbuh 9,61% secara yoy. Di sisi lain, total DPK tercatat naik 5,56% yoy menjadi Rp82,23 triliun. Sedangkan total aset sudah menembus Rp93,14 triliun, yang bermakna tumbuh 5,91% yoy. BSM memang tengah serius membersihkan pembiayaan bermasalah pada akhir taun lalu. Hasilnya, NPF turun drastis dari 4,5% pada tahun 2017 menjadi 3,5% pada akhir 2018.

Sumber : Media Indonesia
PT Bank Tabungan Negara Tbk. lewat BTN Syariah juga tak ketinggalan. Total aset BTN Syariah per 2018 mencapai Rp28,5 triliun. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sekitar 21,84% dibandingkan pencapaian pada periode tahun 2017 sebesar Rp23,39 triliun.
"Jumlah ini sekitar 10% dari total aset BTN. Sementara pembiayaan syariah sekitar Rp 19 triliun akhir 2018," ujar Kepala Divisi Syariah Bank BTN Joni Prasetyanto. Kontribusi pembiayaan tersebut utamanya didorong dari kredit konsumer terutama KPR yang memakan porsi 80% dari total kredit. Sementara sisanya masuk ke segmen komersial.
Sementara dari sisi NPF, UUS BTN per akhir 2018 lalu membukan pembiayaan bermasalah 2,45% secara gros. Nah, bila dibandingkan dengan periode Desember 2017 jumlah ini melompat tinggi dari 0,95% atau naik 150 basis poin (bps).
Pada tahun ini, BTN Syariah hanya menargetkan pembiayaan meningkat 8% sampai 9%. Target ini lebih rendah dari peningkatan pada 2018 yang dipatok naik 19%. BTN Syariah ingin lebih menjaga kualitas pembiayaan.
Sulit Diulang
Melesatnya laba bersih rata-rata bank syariah dapat disebabkan oleh perbaikan kinerja bank yang sempat memburuk pada 2017. Menurut Sharia Banking Director Bank CIMB Niaga Pandji P. Djajanegara, ada tiga hal yang harus diperhatikan dari kinerja perbankan syariah pada tahun lalu.
Pertama, naiknya biaya dana akibat likuiditas perbankan syariah yang mengetat. Pertumbuhan laba bersih yang sangat baik pada 2018 sulit diulang apabila perebutan dana kian brutal.
Kedua, pertumbuhan laba bersih yang cukup signifikan kemungkinan ditopang oleh pendapatan provisi dari pencadangan pembiayaan bermasalah, alih-alih bersumber dari pendapatan bisnis intermediasi.
Pada 2016-2017 silam, aset perbankan syariah memburuk akibat banyaknya debitur bermasalah. Dengan kata lain, pertumbuhan laba bersih ditopang oleh keuntungan perbaikan pembiayaan bermasalah. Kalau revenue turun atau sama itu berbahaya. Jangan-jangan, menurut Pandji, pertumbuhan laba bersih bisa 200% tapi revenue-nya sama karena NIM (Net Interest Margin/margin bunga bersih) turun dan biaya dana lebih mahal.
Ketiga, penurunan NIM demi penyesuaian biaya dana untuk menyerap dana pihak ketiga. Pandji mengatakan pengetatan likuiditas berimbas pada naiknya bunga simpanan pada bank-bank kecil dan bank-bank syariah. Jika persaingan penghimpuan dana tetap sama pada tahun ini, pertumbuhan laba bersih tersebut sulit untuk diteruskan pada tahun ini.
Potensi Besar
Perbankan syariah memiliki potensi yang sangat besar karena mayoritas penduduk di sini muslim. Dari 250 juta penduduk Indonesia, sekitar 80% adalah pemeluk agama Islam. Saat ini, aspek-aspek kehidupan kaum muslim juga berkembang, seperti industri makanan, fesyen, dan wisata syar’i. Seharusnya semua transaksi yang berkaitan dengan itu bisa terkoneksi melalui perbankan syariah.
Besarnya potensi perbankan syariah juga tak lepas dari dana Badan Pengelolaan Keuangan Haji yang setiap tahunnya bertambah Rp10 triliun. Menurut undang-undang, dana itu harus ditaruh di perbankan syariah. Di sisi lain, pertambahan bank syariah masih di situ-situ juga. “Jadi, sebetulnya lebih gampang jika kita membuat proyeksi industri perbankan syariah karena kita tahu setiap tahun akan ada tambahan Rp10 triliun,” ujar Adiwarman Karim, pengamat ekonomi syariah suatu ketika.

Sumber : Merdeka
Sayangnya, perbankan syariah tak bisa berbuat banyak untuk menggaet potensi pasar yang besar itu. Banyak faktor yang mengondisikan seperti demikian. Pertama, pemahaman masyarakat terhadap perbankan syariah masih minim. Banyak yang menganggap bahwa tak ada yang berbeda antara perbankan syariah dengan konvensional. “Memang edukasi masyarakat masih agak pelan,” kata Agus Eko Nugroho, Kepala Pusat Penelitian Ekonomi LIPI.
Namun demikian, pengamat ekonomi, Telisa Aulia Falianti, berpandangan bahwa masalah yang terjadi pada bank syariah itu bersumber pada banknya sendiri. Sebab, tidak semua nasabah menggunakan bank dengan kedekatan emosional atau agama. Ada juga nasabah rasional yang hanya menginginkan pelayanan sempurna, fleksibel, dan menguntungkan. “Nasabah rasional biasanya hitung-hitung. Kalau lebih mahal, kenapa ikut syariah?” katanya.
Agar perbankan syariah bisa menggarap potensi pasar yang ada, tentunya mereka harus berbenah. Mereka harus meningkatkan kinerja sendiri karena agar punya kemampuan dan kapasitas dari segi SDM dan teknologi. Alhasil, bank syariah bisa bergaul di level yang lebih luas untuk menjaring nasabah yang tidak sekadar skeptis dari umat Islam.
Sikap pemerintah yang lebih berpihak kepada perbankan syariah juga perlu diperbesar. Setelah mewajibkan dana haji hanya boleh ditempatkan di perbankan syariah, ada peran dari pemerintah yang masih ditunggu untuk memperbesar pertumbuhan industri ini, yaitu penggabungan perbankan syariah milik negara. Ada manfaat yang bisa diambil jika merger bank syariah BUMN terwujud.
Merger akan membuat skala usaha atau pembiayaan meningkat sehingga tercipta efisiensi dan ruang ekspansi. Dengan begitu, kapasitas modal akan membesar dan memberikan leverage untuk menghimpun DPK lebih besar sehingga skala pembiayaan juga lebih besar. Dampak efisiensi akan membuat biaya operasional menjadi lebih murah.
Di lain pihak, OJK sebagai regulator juga terus meminta komitmen kepada induk bank untuk mendorong atau menyiapkan program agar bisa mencapai target 10% aset perbankan syariah. Selain itu, mereka perlu meningkatkan platform sharing antara induk dan anak dalam pemasaran produk syariah. Sebagai contoh, ada bank yang menawarkan produk syariah dahulu sebelum menawarkan produk konvensional.