Oleh Agustinus Edy Kristianto
09/06/2022, 9:57 WIB
Ceknricek.com--Pak Jokowi, kebijakan menaikkan harga BBM berikut narasi yang mengikutinya telah mengorbankan rakyat banyak. Anda tidak jujur mengakui apa yang sebetulnya terjadi, yakni persoalan tata kelola, transparansi, dan Good Governance di tubuh pemerintahan dan BUMN.
Alasan yang diulang-ulang tentang kenaikan harga minyak dunia lebih banyak 'penyesatannya'. Harga minyak dunia terbentuk dari future market (kontrak berjangka) di bursa energi dunia dan itu dikendalikan 70%-nya oleh para spekulan dan hedge fund global untuk kepentingan profit jangka pendek. Dua bulan terakhir mereka sedang bertaruh bullish untuk produk refinery dan bearish untuk crude.
100 hari terakhir WTI (Nymex) turun 7,71%, Brent Crude (ICE)---dipublikasikan Platt's yang menjadi dasar perhitungan MOPS yang diacu pemerintah untuk ICP---turun 5,58%, lantas kenapa Anda naikkan harga BBM jika itu acuannya?
Lagipula Pertalite adalah JBKP yang tidak ada kaitannya dengan fluktuasi harga minyak dunia. Sementara Pertamax dsb adalah JBU yang tidak disubsidi maupun dikompensasi, sehingga tak ada alasan untuk dikatakan pemerintah mensubsidi pemakai Pertamax dsb itu.
Anda setujui Kompensasi untuk BBM sebesar Rp 252,5 triliun? Lalu Anda menjadi pahlawan yang seolah mengalihkan subsidi Rp 24 triliun untuk orang miskin terdampak?
Zaman sudah berubah, tidak gampang mengelabui masyarakat. Sudah banyak yang mencium dugaan kuat adanya 'ruang gelap' yang berpotensi menjadi arena transaksi kekuasaan dalam penentuan kebijakan subsidi/kompensasi BBM. Tidak mempan sepenuhnya berdalih dengan alasan klasik kenaikan harga minyak dunia dan pengalihan subsidi. Masyarakat semakin paham masalahnya adalah tata kelola BUMN yang 100% sahamnya dikuasai pemerintah, yakni Pertamina.
Harus diungkapkan juga kondisi keuangan Pertamina yang tidak baik-baik akibat pemerintah belum membayar utang sebesar US$2,57 miliar (lancar) dan US$3,96 miliar (tidak lancar). Totalnya US$6,53 miliar alias Rp94,7 triliun (kurs 14.500). Itulah akumulasi utang yang merupakan pendapatan Pertamina dari selisih harga jual eceran JBT solar dan JBKP sejak 2017-2021. Sekarang saja bahasanya kompensasi. Kan, ada juga bagian Rp5,57 triliun dari utang itu yang harus dibayarkan ke AKR Corporindo Tbk sebagai kompensasi tahun 2020.
Selama ini, masyarakat tidak pernah tahu bagaimana selisih itu diperhitungkan sehingga menjadi triliunan rupiah begitu. Harga pokok/dasarnya tidak pernah diungkapkan, hasil pemeriksaan dari auditornya tidak dipublikasikan, bagaimana klaim biayanya yang tahu cuma di antara segelintir pelaku dst.
Terbaca arahnya, duit Rp252,5 triliun kemungkinan akan dipakai untuk bayar sebagian utang itu. Apalagi pada 2 April 2022 sudah disetujui angka pembayaran Rp67,43 triliun; dan Rp15,97 triliun sudah dikonfirmasi sebagai utang kompensasi periode 2019 dan 2020. Sisanya bisa dicadangkan untuk subsidi dan kompensasi tahun ini---jika mau naik dibandingkan tahun 2021, hitungannya bagaimana, harus dijelaskan.
Pak, berapa angka subsidi yang sebenarnya? Jangan putar-putar bikin bingung masyarakat dengan istilah harga keekonomian---yang nyatanya berbeda antara Menkeu dan Menteri ESDM. Menurut Laporan Keuangan Pertamina 2021, subsidi solar Rp 500/liter.
Berapa sebenarnya selisih kompensasi yang dibayarkan?
Boleh, dong, ambil perkiraan tahun 2021. Kompensasi JBT solar (nonsubsidi) Rp42,64 triliun dengan volume 15,8 juta kiloliter. Berarti kompensasinya Rp2.698/liter. Jika harga solar ditetapkan Rp5.150 (harga lama) maka harga tidak ditetapkan adalah Rp7.848/liter.
Kompensasi JBKP tahun 2021 sebesar Rp24,7 triliun dengan volume Pertalite 23,2 juta kiloliter. Berarti kompensasi per liternya Rp1.064. Jika harga ditetapkan Rp7.650 maka harga tidak ditetapkan Rp8.714. Mungkin itulah kenapa Vivo berani jual Rp8.900, masih ada margin sedikit.
Makanya masyarakat curiga jika diulang-ulang terus tentang harga keekonomian yang berbelas-belas ribu per liternya itu. Karena itu wilayah gelap. Tergantung siapa yang diorder untuk bicara.
Bagaimana dengan utang obligasi Pertamina yang besarnya US$16,4 miliar alias Rp237 triliun (kurs Rp14.500)? Ketimbang menakut-nakuti dengan wacana subsidi bengkak dsb, lebih baik telusuri duit itu dipakai apa saja; bayar kupon dan pokoknya bagaimana? Jangan sampai default sehingga bikin hancur muka negara ini mengingat 100% saham Pertamina adalah milik Negara.
Jadi, jangan mudah termakan analisis-analisis ribet ekonomi, finansial, politik global untuk menjustifikasi kenaikan harga BBM. Masalah intinya justru tidak terjamah, betapa pengelolaan negara dan badan usahanya 'ugal-ugalan' betul caranya.
Yang kena getah siapa? Masyarakat umum! Yang miskin semakin miskin.
Buruk rupa pemerintah, masyarakat yang dibelah-belah.
Selamat berdemonstrasi teman-teman.
Salam
#Tulisan diambil dari akun fb Agustinus Edy Kristianto
Editor: Ariful Hakim