Ceknricek.com -- Ramadan ini segera berakhir. Ramadan yang berlangsung di saat kita menghadapi hal yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Ramadan yang untuk kedua kalinya harus kita lalui dengan perasaan was-was. Terhadap sesuatu yang tak terlihat, tak tercium, tak terdengar, tak terasa, dan tak teraba.
Horor yang muncul sekonyong-konyong. Di tengah-tengah alam semesta yang selama ini selalu menjadi obyek hasrat pemaknaan kita untuk menaklukkannya.
Makhluk tak kasat mata tapi sangat menakutkan itu, telah datang dan _(ingin)_ mengambil alih segalanya. Memporak-porandakan setiap tatanan. Meluluh lantakkan berbagai keangkuhan yang selalu mengira diri paling istimewa. Hanya gara-gara mampu memberdayakan kecerdasannya berkelindan di tengah lautan nafsu yang primitif. Sehingga saling menyingkirkan, meniadakan, hingga memusnahkan satu dengan yang lain. Meski selalu di atas namakan pada keluhuran bagi peradaban dan adat istiadatnya di muka bumi ini.
Selama ini, kita telah melakoni Ramadan yang paradoksial. Jika ditilik dari esensi kesucian yang ingin diraih. Yakni menempa diri sebagai pemenang pergulatan segala nafsu duniawi.
Sebab merayakan _(anggapan)_ keberhasilan yang telah melalui cobaannya selama sebulan penuh, justru dianggap semakin lebih penting. Dibanding niat suci dibalik pelatihan massal itu sendiri.
Kekeliruan itu tak hanya sekedar menjadikan kita lupa pada hakekat Ramadan. Tapi malah semakin sengaja untuk mengabaikannya.
Bukankah pengorbanan yang harus kita pertangggungkan bersama, untuk merayakan keberhasilan semu itu, dari masa ke masa terus semakin membesar saja?
Kita nyatanya tak kunjung mampu membaca pertanda semesta. Bahwa pandemi yang kini berlangsung, sejatinya adalah esensi utama dari pelatihan demi pelatihan Ramadan yang selama ini kita lakoni. Dalam rangka menghadapi, mengatasi, mengelola, dan mengalahkan nafsu yang selalu ingin menaklukkan apa saja. Demi segala kemudahan dan kesenangan. Walau pun telah jauh melampai batas-batas wajar suatu kecukupan.
Sejak pertama kali merebak di Wuhan, Cina, akhir tahun 2019 lalu, umat manusia di seluruh dunia sesungguhnya telah dipaksa semesta raya untuk berpuasa panjang. Bukan lagi untuk berlatih menghadapi, mengatasi, mengelola, dan mengalahkan nafsunya. Tapi harus langsung melakoninya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.
Mikro organisme yang karena bermahkota protein menakutkan, telah menyebabkan dirinya disebut virus corona itu, tak pernah menjanjikan Hari Raya. Sehingga tak perlu persidangan isbat untuk menghantarkan kita masing-masing kembali pada fitrahnya.
Kini pilihan ada pada diri kita sendiri. Untuk menemukan kembali fitrah kemanusiaan yang menjadi bagian semesta raya dan ikhlas berdampingan dengan lainnya. Termasuk dengan mereka yang tak terlihat, tercium,terdengar, terasa, dan teraba.