Ceknricek.com -- Kembali menggema. Dan berulang menggema setiap bangsa sedang dalam masalah. Kembali ke Undang Undang Dasar ‘45 secara murni dan konsekuen. Sejumlah tokoh kembali menandatangani petisi ini. Kalau ini terjadi maka ada sejumlah lembaga tinggi yang harus dibubarkan seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial (KY), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan perubahan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Belum lagi dampak turunan Undang Undang yang mengacu pada Undang Undang Dasar hasil amandemen. Jadi cukup kompleks konsekuensi gerakan ini kalau menjadi kenyataan.
Kesadaran gerakan kembali ke Undang Undang Dasar ‘45 ini pernah menggelitik pemikiran Forum Pemred (Forum Pemimpin Redaksi – Forum tempat berhimpunnya para pemimpin redaksi media nasional - lima belas tahun lalu. Kesadaran itu diwujudkan dengan menyelenggarakan sebuah kongres yang disebut Kongres Kebangsaan. Kongres Kebangsaan ini dibuka langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dihadiri oleh berbagai tokoh dan intelektual dari seluruh Indonesia. Dan tampil sebagai pembicara semua Ketua Lembaga Tinggi Negara dan para ketua Partai Politik yang ada di Parlemen.
Sebelum diadakan Kongres Kebangsaan ini Penitia melakukan diskusi terpumpun (FGD) yang dipimpin oleh seorang intelektual muda waktu itu yaitu DR Yudi Latif. FGD ini melibatkan beberapa orang ahli hukum Tata Negara dan pekar politik seperti Jimly Asshiddiqie, Irman Putra Sidin, Yusril Ihza Mahendra, Riyaas Rasyid dll. Dari FGD inilah dihasilkan sejumlah pokok pikiran tentang konsekuensi kalau dasar Negara Kembali ke Undang Undang Dasar ’45 secara murni dan konsekuen. Pokok-pokok pikiran inilah yang disodorkan dan dibahas dalam kongres Kebangsaan.
Kongres Kebangsaan ini membahas beberapa pokok pikiran utama. Apakah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat),seperti sekarang hanya lembaga tinggi bukan lembaga tertinggi negara lagi seperti di UUD ’45, sudah cocok dengan demokrasi Pancasila. Apakah fungsi DPD seperti saat ini sudah final. Betulkah kita tidak memerlukan Garis Besar Haluan Negara atau GBHN. Mengapa otonomi daerah di daerah tingkat dua tidak di daerah tingkat satu. Apakah pemilu presiden langsung seperti sekarang ini sudah sesuai dengan demokrasi Pancasila.
Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan UUD ‘45 merupakan lembaga tertinggi negara. MPR ini bertugas mengubah dan menetapkan Undang Undang Dasar, menetapkan Garis Besar Haluan Negara, serta memilih, melantik maupun memberhentikan presiden dan wakil presiden.
Sedangkan posisi MPR berdasarkan UUD hasil amandemen setingkat dengan lembaga tinggi negara yang lain. Memang anggota MPR adalah anggota DPR plus anggota DPD. Tetapi fungsinya hanya sekedar cap saja untuk melantik presiden hasil pemilihan langsung. Dan fungsi memakzulkan presiden harus melalui Mahkamah Konstitusi dulu. Jadi posisi presiden, dalam UUD hasil amandemen, sangat kuat. Tidak bisa dijatuhkan oleh MPR begitu saja. Dan tidak ada lagi fungsi MPR yang menetapkan Garis Besar Haluan Negara karena program presiden berdasarkan janji kampanyenya.
Dalam Kongres Kebangsaan juga dibahas fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mandul. Tidak memiliki kewenangan khusus, yang otoritatif, dalam menetapkan kebijakan negara. Padahal, mestinya, fungsi DPD ini sangat strategis untuk membawakan aspirasi kedaerahan. Dimana fungsi DPD ini, sekali lagi mestinya, bisa menjadi penyeimbang kepentingan partai politik. Makanya jumlah anggota DPD setiap provinsi disamakan.
Fungsi DPD seperti ini bersumber pada UUD hasil amandemen. Dimana dalam UUD itu fungsi DPD tidak ditetapkan langsung. Dalam UUD ini dikatakan bahwa fungsi DPD ditetapkan dengan undang undang. Artinya fungsi DPD tergantung DPR alias partai politik. Dan celakanya DPR tidak mau berbagi kekuasaan. Dalam kongres ini dibahas bagimana agar DPR memberi kewenangan yang lebih otoritatif kepada DPD. Dan bisa ditebak DPR alias partai politik tidak mau berbagi kekuasaan.
Berbeda dengan fungsi senator di negeri Paman Sam. Di negara biangnya demokrasi fungsi senat ikut bersama menetapkan undang undang. Karena anggota Senat sama-sama menjadi anggota Kongres. Sedang di negeri tercinta ini fungsi DPD hanya mengawasi pelaksanaan undang undang otonomi daerah, pemekaran daerah baru, hubungan pusat daerah, pengelolaan sumber alam, APBN, pajak, Pendidikan dan agama. Dan tidak jelas kemana muara hasil pengawasannya ini. Jadi tidak ikut membuat dan menetapkan undang undang. Apa bedanya fungsi pengawasan DPD ini dengan Badan Pengawas Keuangan alias BPK. Mungkin perlu amanademen Undang Undang Dasar lagi demi memfungsikan DPD ini. Sampai dalam Kongres Kebangsaan itu ada guyonan: “Apa tidak malu terhadap generasi penerus kita membiarkan lembaga yang tidak ada gunanya ini”.
Dalam Kongres Kebangsaan ini juga dibahas tentang perlu tidaknya Garis Besar Haluan Negara atau GBHN yang ditetapkan oleh MPR. Pertanyaannya apakah janji-janji presiden terpilih tidak perlu dirumuskan atau ditetapkan oleh MPR sehingga bisa menjadi GBHN dalam lima tahun kedepan. Jadi kita bisa dengan mudah menilai keberhasilan seorang presiden terpilih selama lima tahun karena ada blueprintnya berupa GBHN atau apapun namanya. Apalagi menyangkut kebijakan multi dekade, seperti pemindahan ibukota, mestinya sudah ada dalam GBHN itu.
Terakhir yang dibahas dalam kongres itu adalah tentang otonomi daerah. Mengapa otonomi Daerah itu di Daerah Tingkat Dua tidak di Tingkat satu. Akibatnya kesenjangan terjadi antara kebupaten/kota di dalam propinsi itu sendiri. Yang lebih parahnya lagi Para Kepala Daerah Tingkat dua kurang menghargai Kepala Daerah Tingkat satu. Apalagi kalau beda partai. Saya sering mendengar keluhan ini dari beberapa gubernur yang merasa kurang dihargai oleh bupatinya. Banyak bupati/walikota yang tidak pernah menghadiri undangan gubernurnya. Mereka merasa sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat. Toh dana dari pusat pun langsung ke daerah Tingkat dua tanpa ada tangan Gubernur. Dalam kongres itu ada seloroh, dengan otonomi yang diperluas, bukankah ini Negara Federasi di Tingkat II.
Dalam FGD kongres ini ditelurusi tentang otonomi daerah ini kepada pelaku sejarahnya. Mengapa otonomi daerah di Tingkat II. Ternyata suasana penyusunan UUD pada waktu itu, menurut beberapa tokoh yang terlibat, alasannya Cuma satu. Dan alasan itu tidak terlalu ilmiah. Lebih karena kekuatiran masing-masing propinsi akan memerdekaan diri mengingat pemerintahan pusat yang belum kuat pascareformasi. Padahal pada saat itu kecenderungannya otonomi di Daerah Tingkat I. Diskusi utamanya agar yang dipilih langsung itu Gubernur saja. Bupati atau walikota ditunjuk saja oleh DPRD Tingkat II sehingga harganya akan lebih murah.
Jadi ketika wacana kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen maka Forum Femred pernah miliki concern dan membahasnya. Dan kesimpulan akhirnya adalah Bangsa ini perlu kembali duduk bersama membahas kembali tatanan bernegara kita di masa tenang. Tidak dalam keadaan krisis akibat pantulan reformasi sehingga bandul kekuasaan terlalu ke legislatif. Tetapi ketika legislatifnya ditaklukan oleh eksekutif, melalui partai-partai, maka check and balance kekuasaan tidak terjadi. Diperparah lagi ketika kekuatan yudikatifnya juga ikut dipreteli oleh eksekutif. Jadilah bentuk negara mengarah pada, seperti disebut oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dalam sebuah dialog, neo-otoritarian.
Inilah pekerjaan rumah terbesar Pemerintahan Prabowo jika menginginkan legacy monumental. Pekerjaan ini akan dikenang sejajar peristiwa reformasi yang sekarang sudah kehilangan nilainya. Atau mungkin bisa disebut Reformasi Jilid Dua. Wallahu’alam.
#Nurjaman Mochtar, Dewan Pakar PWI Pusat
Editor: Ariful Hakim