Pemilu Era Jokowi Lebih Buruk dari Pemilu Masa Orde Baru? | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Ilustrasi : Ceknricek.com

Pemilu Era Jokowi Lebih Buruk dari Pemilu Masa Orde Baru?

Ceknricek.com -- Apakah Pemilu 2019 sebagai pemilu paling brutal, panas dan jauh dari jurdil alias curang? Biarkan rakyat yang menilai. Persoalannya, apa yang bisa diharapkan hasil dari pemilu yang seperti itu?.

Akhir pekan ini, Sabtu (20/4), Hashim Djojohadikusumo muncul di Media Center Prabowo-Sandi, Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta, dengan segepok data tentang kecurangan pemilu. Direktur Media dan Komunikasi BPN itu melansir ada 1.200 laporan tindakan kecurangan dalam Pemilu 2019. Laporan tersebut didapat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi dari seluruh wilayah Indonesia.

Laporan kecurangan tersebut sekitar pelanggaran di tempat pemungutan suara atau TPS yang sudah sampai ke tangan adik kandung Prabowo Subianto, calon presiden 02 itu. Direktur Relawan Badan Pemenangan, Ferry Mursyidan Baldan, bahkan punya data tambahan. Ia mengungkap, timnya baru saja menerima puluhan lagi yang berjumlah 61 laporan. “Jadi jika ditotal semuanya, BPN menerima 1.261 laporan kecurangan,” tambah Ferry.

Hashim berencana membawa data-data kecurangan itu ke KPU dan Bawaslu. “BPN berharap ada tindakan tegas yang dilakukan oleh KPU maupun Bawaslu,” harapnya.

Ferry menjabarkan tindakan-tindakan curang pemilu yang paling sering terjadi saat pencoblosan di TPS. ”Ada orang berpindah pemilih, berpindah tempat pilihan tanpa diikuti oleh surat A5, kemudian TPS yang terlambat, surat suara dobel," ungkapnya.

Bukan hanya itu, Direktur Materi dan Debat BPN, Sudirman Said, menambahkan, BPN mencurigai peran Babinsa hingga peran polisi saat mengawal kotak suara di berbagai wilayah. BPN menduga pihak-pihak tersebut ikut melakukan tindakan curang saat mengamankan kotak suara.

"Babinsa jadi konsen kita. Selama ini dua institusi ini jadi partner baik, saling dukung, menunjang dan cek-cek. Tapi beredar cerita, Babinsa ditarik di berbagai tempat, diikuti cerita polisi bawa kotak suara ke gudang yang bukan tempat otoritatif," tambah Sudirman.

Di berbagai daerah ada Babinsa yang biasa menjaga daerah itu namun ditarik dan digantikan oleh polisi untuk menjaga jalannya pemilu. Kejadian itu disebutnya terjadi di dua wilayah.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sendiri mengakui pemilu ini kali sangat banyak kecurangan. Laporan yang masuk dari 121.993 TPS, Bawaslu mendapati petugas KPPS di 4.589 tidak netral. Padahal total jumlah TPS sebanyak 809 ribu.

Sosiolog yang Rektor Universitas Ibnu Chaldun, Musni Umar, juga punya catatan khusus sejumlah kecurangan jauh sebelum pemilu digelar. 

Ada dana Program Keluarga Harapan atau PKH Kementerian Sosial RI tahun 2019 sebesar Rp32,65 triliun yang diluncurkan menjelang Pemilu kepada keluarga sangat miskin. Dana itu menjadi alat kampanye karena mereka yang mendapat bantuan dana diwajibkan memilih 01 dalam Pemilu. Belum lagi, adanya penyalahgunaan anggaran bansos di kementerian. Juga penggunaan dana-dana di BUMN untuk money politics.

Dia juga menduga dana desa dan dana kelurahan tidak luput dijadikan alat kampanye untuk memenangkan petahana. Bahkan para kepala desa dari berbagai daerah didatangkan ke Jakarta dengan modus Bimbingan Teknis Dana Desa, tetapi dijadikan sarana penggalangan untuk menyukseskan petahana.

Pada saat pencoblosan di berbagai daerah marak kecurangan. Sebagai contoh, pembakaran 13 kotak suara di desa Koto Padang, Sumatera Barat. Contoh lain, di Balikpapan, Kalimantan Timur, kotak suara dibawa secara diam-diam ke hotel. Video peristiwa ini lumayan viral. Di Sampang, Madura, Jawa Timur, dua orang lelaki membawa kabur kotak suara. Untung saja mereka berhasil dibekuk polisi.

Proses yang Curang

Sudah sejak jauh-jauh hari para pengamat asing menengarai rezim Joko Widodo menggunakan cara-cara otoriter dan antidemokrasi untuk memenangkan pilpres.

Mari kita tengok bulan-bulan mendekati pemilu. Publik disuguhi kriminalisasi para ulama dan tokoh oposisi. Hukum berat sebelah dan berpihak. Publik juga merasakan kooptasi dan tekanan terhadap media massa. Belum lagi, adanya pengerahan aparat keamanan untuk menekan dan menggiring pemilih. 


Mendekati pilpres jurus kecurangan kian kencang. Di Malaysia surat-surat suara sudah tercoblos atas nama paslon 01. Salah seorang komisioner KPU menganggap itu hanya sampah.

Di seluruh Indonesia kecurangan serupa banyak ditemukan. Banyak pemilih yang diidentifikasi sebagai pendukung paslon 02 tidak mendapat undangan. Yang lebih ajaib, ada TPS yang tiba-tiba menghilang.

Konsultan media dan politik, Hersubeno Arief,  mencatat fenomena hilangnya TPS ini tidak pernah kita temukan sepanjang sejarah pemilu di Indonesia, bahkan pada masa Orde Baru sekalipun yang sering disebut-sebut penuh kecurangan. Yang hilang atau dilarikan paling-paling hanya kotak suara. Level kecurangan rezim Orde Baru masih kalah jauh bila dibandingkan dengan rezim Jokowi.

Ferry juga merasakan selama proses pemilu ini ada berbagai bentuk dugaan kecurangan terjadi dan seolah-olah dibiarkan. Mulai dari capres inkumben yang tidak cuti saat berkampanye, kertas suara tercoblos untuk salah satu paslon di Malaysia, hingga proses pemungutan suara yang dilakukan oknum petugas KPPS.

Nah, lantaran itu, Ferry menyerukan penyelenggara pemilu segera menindaklanjuti laporan dugaan kecurangan pemilu yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia itu. Pembiaran terhadap dugaan kecurangan bisa mempengaruhi kualitas pemilu.

BPN berharap adanya perhitungan suara ulang bahkan hingga pemungutan suara ulang jika hal itu diperlukan. Jika perhitungan suara dilakukan ulang, ia berharap petugas yang menghitung diganti dengan petugas yang baru untuk meminimalisir potensi kecurangan lagi.

"Sanggupkah kita tegak sebagai bangsa ketika hasil pemilu didapatkan dengan cara tidak benar dan itu dibiarkan," demikian Ferry Mursidan Baldan.


Berita Terkait