Pendidikan Hak Fundamental Warga Negara | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Sumber: Istimewa

Pendidikan Hak Fundamental Warga Negara

Ceknricek.com--Pendidikan nasional yang diselenggarakan, menurut Pasal 31 ayat (3) UUD NRI 1945, tidak lain adalah pendidikan yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka "mencerdaskan kehidupan bangsa". Artinya, kecerdasan manusia Indonesia pertama-tama harus beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia, sehingga tujuan untuk mengembangkan / menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi seimbang dengan penghayatan, pemahaman, dan pengamalan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Menggarisbawahi penegasan konstitusi tersebut, sebagai manifestasi terpenting bagi kehidupan manusia yang telah dijamin oleh konstitusi adalah masalah pendidikan. Oleh karena itu, membicarakan penduduk tak hanya membahas jumlahnya. Tak ada artinya penduduk melimpah, tetapi lebih dari separuhnya memiliki tingkat pendidikan rendah, serta bersekolah dengan durasi di bawah standar, akhirnya kualitas pencapaian pendidikan dipertanyakan.

Padahal, di tengah kompetisi SDM yang begitu ketat akhir-akhir ini, maka SDM yang berkualitas (mumpuni) sangat diharapkan. Sebab, kekayaan sumber daya alam (SDA) akan sia - sia jika tidak dikelola dengan sumber daya manusia (SDM) yang handal (berpendidikan).

Jika kondisi demikian dibiarkan, dalam artian negara "lalai' memperbaiki tingkat pendidikan warganya. Maka, akibatnya produktivitas rakyat rendah dan skill serta inovasi juga demikian. Dengan demikian, konsekuensinya tentu saja negara pada akhirnya makin terpuruk menjadi negara miskin atau negara gagal.

Fakta tersebut, telah menimbulkan keresahan karena munculnya pengelolaan pendidikan di berbagai lini dinilai mengalami "disorientasi" yang mendesak secepatnya dikoreksi ke arah yang benar. Apalagi dengan kebijakan UKT dan komersialisasi pendidikan yang melanda dunia pendidikan sekarang.

Kondisi diametral itu, direspon sebagai "kapitalisasi pendidikan". Sebab, secara filosofis dan sosiologis tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan tinggi menyangkut hajat hidup / kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Karena itu, negara bertanggung jawab penuh untuk menyediakan layanan pendidikan tinggi agar setiap warga negara mendapat kesempatan sama (equal) dan tidak diskriminatif pada semua dimensi pendidikan.

Lantas hal-hal tersebut memunculkan pertanyaan: bagaimana dengan nasib rakyat menengah ke bawah ? Apakah mereka tak berhak mengenyam pendidikan yang baik ? Bukankah pendidikan ini merupakan hak dasar (fundamental) bagi setiap warga negara ?Bahkan, pertanyaan kritis pun muncul ke permukaan: siapa yang memperoleh manfaat paling besar dari kondisi pendidikan tinggi yang tak menunjukkan pemihakan kepada rakyat miskin?

Perspektif konstitusi

Untuk menjawab sejumlah pertanyaan itu, perlu kita berkaca pada konstitusi negara. Dalam amandemen, telah memberikan arah pendidikan yang harus dipenuhi oleh negara kepada warga negaranya. Isi dari Pasal 31 tentang pendidikan adalah: Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Sampai pada Pasal 31 ayat (5) sebagai penambahan ayat dalam amandemen, yang sangat jelas tidak memberi "jalan masuk" komersialisasi pendidikan.

Jadi, segala bentuk kebijakan atau regulasi yang berupaya memasukkan pendidikan ke dalam bidang usaha yang dimaksudkan untuk mencari keuntungan bertentangan dengan konstitusi (UUD NRI 1945) bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara, dan negara wajib membiayainya. Atau dengan kata lain, negara harus hadir untuk mengurus soal pendidikan sebagai hak dasar warga negara.

Bahkan, seyogyanya negara membuat kebijakan atau terobosan pendidikan nasional yang tidak membuat jarak (terisolasi) dari perannya sebagai instrumen pemerataan pendidikan (the great equaliser) yang dapat membebaskan masyarakat miskin dari belenggu kemelaratannya.

Sebab bagaimanapun, telah menempatkan pendidikan sebagai ranah publik yang menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi, memajukan, melindungi, dan menegakkan hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dan merata tanpa diskriminasi.

Karena itu, kemiskinan, pengangguran, kemelaratan, dan kesenjangan sosial yang amat ekstrem yang terjadi di negeri ini. Sesungguhnya, harus diakui menjadi "masalah sistemik" yang berpangkal pada kegagalan pengelolaan pendidikan. Pendidikan  terbelah, menghasilkan "kesenjangan pengetahuan" yang semakin besar antara kelompok kaya dan miskin ( desa dan kota ).

Dan, kesenjangan ini tentu sangat berbahaya karena mengingkari  amanat pembukaan UUD 1945 yang menjadi inspirasi para the founding fathers bangsa, yaitu "mencerdaskan kehidupan bangsa".

Maka dari itulah,  tanggapan dan kritikan bermunculan termasuk berbagai komentar dari DPR RI anggota komisi X yang membidangi pendidikan ketika mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis kepada Menteri Nadiem Makarim, yang punya kebijakan menaikkan biaya UKT (uang kuliah tunggal) sehingga banyak mahasiswa yang tak mampu (miskin) harus mengundurkan diri alias tak jadi melanjutkan pendidikan.

Realitas itu, merupakan dampak langsung ketika pendidikan digeser dari makna keterbukaan primer ke ranah makna pengertian tersier. Atau dengan kata lain, pengertian pendidikan dari kebutuhan pokok setiap manusia menjadi sesuatu yang tergolong "mewah". Jika demikian, pendidikan tinggi terkesan hanya diperuntukkan bersaing bagi orang-orang yang berduit (kapitalis). Dan kompetisinya bukan hal - hal bersifat keilmuan, tapi pada nilai kemampuan finansial (materiil). Jadi, parameternya sangat subjektif.

Padahal, pendidikan menjadi aspek penting kehidupan manusia. Bahkan, tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan tinggi menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh masyarakat. Karena itu, negara bertanggung jawab penuh untuk menyediakan layanan pendidikan tinggi agar setiap warga negara mendapat kesempatan sama (non excludability) dan tidak berkompetisi saling mengalahkan (non-rivalry) dalam mengaksesnya.

Oleh sebab itu, tak heran jika berbagai sorotan dari komponen masyarakat menyikapi "skeptis" ide UKT itu dan memberi legitimasi sebagai wujud komersialisasi pendidikan. Yang seharusnya di era sekarang, memberikan peluang kepada masyarakat untuk dapat mengakses pendidikan lebih berkualitas dengan biaya yang terjangkau.

Pada akhirnya, dalam kaitan pendidikan yang menjadi basic need kehidupan, maka sudah waktunya meletakkan pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia bukan hanya sekedar sesuatu yang mutlak atau sangat vital, melainkan juga persoalan hidup matinya suatu bangsa. Dalam konteks ini, perlu direnungkan bahwa sesungguhnya negara ini didesain oleh the founding fathers sebagai negara kesejahteraan (welfare state). Karena itu, pemerintah berkewajiban memajukan  ilmu pengetahuan dan percaturan bangsa untuk kemajuan peradaban dengan memberikan pendidikan memadai (optimal) sebagai penghargaan hak fundamental warga negara Indonesia. 

Jakarta, 26 Mei 2024

@Abustan, pengajar ilmu hukum pasca sarjana Universitas Islam Jakarta


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait