Politik Citra | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Harian Analisa

Politik Citra

Oleh: Ariful Hakim

 

Sarung dan teklek (sandal kayu), dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU), sering digambarkan sebagai simbol kesederhanaan. Para kyai besar di Jawa Timur, pemilik pondok pesantren masyhur, kerap menjadikan dua benda itu sebagai  “makanan” sehari-hari. Namun bukan berarti mereka miskin. Cerita tentang kekayaan kyai, walau itu bukan sesuatu yang biasa dibicarakan secara terbuka, kerap hanya terlihat dari luas dan besarnya pondok. Atau jumlah santri.

Belakangan, mobil dan segala pernak pernik kehidupan modern, memang sudah tak tabu lagi. Gamis yang licin mengkilat juga tak dihindari, meski sarung dan sandal selop –sebagai pengganti teklek- masih setia menempel di badan. Tapi segala yang dipakai, bahkan saat harus menggunakan mobil Mercedez Bens, menurut budayawan NU Muhammad Sobari, justru sebagai simbol mereka telah “lepas” dari hal-hal keduniawian,dan menjadikan barang itu sebagai sarana menuju takwa kepada Allah.

Soal kesederhanaan kyai NU,memang selalu menarik untuk diulik. Sobari sering membahasakan mereka dengan “Kyai Bejo”, lantaran doanya mudah dikabulkan oleh Tuhan. Tapi jika kita membayangkan “Kyai Bejo” dengan gamis dan serban berkibar, atau tangan tak lepas dari biji tasbih, itu keliru. Mereka muncul dengan celana dan kemeja biasa, tak banyak cakap, kadang-kadang hilang begitu saja. Jarang pula orang mengenali, kecuali orang-orang yang punya indra keenam hasil olah batin selama bertahun-tahun.

Kesederhanaan dalam konteks kultural NU, lebih dimaknai sebagai wujud dari kerendahatian yang tak butuh pujian dan penilaian. Apalagi  untuk tujuan survei politik. Semua genuine. Asli tanpa dibuat-buat. Sikap askestis semacam itu, didorong oleh keasyikan mencerna kesejatian jiwa. Kebutuhan raga hanya dilengkapi yang perlu. Meski kadang-kadang, life style seperti itu secara tidak langsung menjadi role model para santri.

Saya berfikir, nilai-nilai yang hidup dan dianut para kyai itu tak melulu berkembang di kalangan para penganut ahlussunah waljamaah. Mantan Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, yang penganut syiah,tak kalah ekstrim “menolak” kenikmatan dunia. Pilihan Mahmoud lebih didasari oleh pengejawantahan nilai-nilai spiritual yang diwariskan seniornya, Ayatullah Khomeini, dan jauh dari urusan citra sebagai politisi.

Sama seperti Almarhum Khomeini, gaji Mahmoud sebagai presiden disumbangkan ke baitul mal. Mobil yang dimilikinya sebuah sedan tua tahun 70-an. Namun Iran dibawah kepemimpinannya adalah Iran yang berkarakter, karena Mahmoud adalah simbol dari pribadi yang independen, sederhana tanpa dibuat-buat, keras dan tegas. Lepas dari ideologi yang dianutnya, citra Mahmoud terbentuk lantaran kekuatan kepribadian dan bukan karena hal-hal yang bersifat artifisial.

Di tengah hiruk pikuk pesta demokrasi sekarang ini, kenyataan menarik itu pantas diangkat,sebagai refleksi diri dan rakyat pemilih, untuk menilai para calon pemimpin. Sebab terlalu lama negeri ini terbelenggu oleh pencitraan dan politik simbol. Terlalu lama pula rakyat diajari untuk menipu diri, demi meluncaskan syahwat politik. Punya pesawat pribadi, tapi pergi ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) naik sepeda onthel. Sehari-hari naik mobil dan punya kekayaan 27 milyar,tapi saat disorot kamera memaksakan diri  naik bajaj.

Belum lama kita melihat iklan ketua umum partai, yang berpeluh-peluh digambarkan jadi kenek bus kota. Kita seperti sudah kehilangan imaji, hingga harus ikut-ikutan bersinetron, meski itu menghina akal sehat. Ironisnya, sosok-sosok yang dulu begitu nyinyir menyebut Presiden SBY sebagai biangnya pencitraan,kini diam membisu dan malah ikut gerbong salah satu capres. Kue kekuasaan menjadi godaan, yang membuat mereka ikut-ikutan menipu diri. Inilah inkonsistensi telanjang bulat, yang berpotensi mengoyak sendi-sendi kejujuran masyarakat.

Bagaimanapun, budaya paternalistik masih kental mewarnai kehidupan bangsa. Di sini berlaku politik patron dan klien. Dalam kondisi ini, kelas menengah masih rapuh, dan yang memainkan peran adalah lapis teratas (patron)  dan terbawah (klien). Yang atas berbicara, yang bawah mendengarkan. Yang atas berinisiatif, yang bawah submisif. Yang atas menipu diri, yang bawah bakal menipu orang lain, karena sudah miskin dan tak lagi bisa pura-pura menyamar jadi orang miskin.

Politik citra berpotensi menghasilkan politisi-politisi gelembung sabun.  Besar karena tiupan media, dan menjadikan kekuasaan sebagai kemegahan. Dengan sekuat daya selalu berakting tanpa cela, hingga energi habis untuk menutup lubang-lubang keotentikan. Belum lama publik merekam, bagaimana seorang tim sukses capres menganjurkan anggotanya untuk sesaat bergaya hidup sederhana. Soal usai perhelatan pilpres kembali memakai jam tangan Rolex seharga Rp 150 juta, itu lain masalah. Sebuah konstruksi berfikir, yang membuat kita semakin kehilangan ‘roh’ kemanusiaan, dan sulit membedakan mana politisi,mana artis figuran.



Berpolitik pada akhirnya bukan soal kalah dan menang. Ada nilai yang mesti diperjuangkan. Nilai inilah yang menjadi kompas yang paten, jika kekuasaan sudah direngkuh. Namun jikapun gagal, nilai itu akan jadi catatan di hati masyarakat, lebih-lebih di mata Tuhan. Seperti Kyai Bejo, Mahmoud Ahmadinejad atau Lech Walesa,bekas Presiden Polandia yang kembali bekerja di tempat lamanya di galangan kapal, usai mengakhiri jabatannya. Sejak Zaman Orde Lama kita sudah terbelenggu dalam politik citra. Mungkin sudah saatnya kita tampil dan bicara apa adanya.Kita sebagai rakyat. Lebih-lebih yang ingin maju sebagai pemimpin, walau hanya ingin jadi ketua RT.

 

Tulisan dan makna dalam kolom di luar tanggung jawab redaksi ceknricek.com.



Berita Terkait